BAB I
PENDAHULUAN
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama
dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai
belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada
tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,
as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah
penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko
serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli
dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang
dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan
waktu penyerahan barang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jual Beli Murabahah
1.
Pengertian Jual Beli Murabahah
Kata murabahah
berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah
berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah
pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak
yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau
keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau
angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian
dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap
suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini
merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah
ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.[1]
Murabahah
merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi
kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas
(harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin
dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk
memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan
interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini
menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya
proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari
biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.[2]
Murabahah
merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang
ditentukan dengan dasar fixed mark up profit. Harga mark up ini bukan
dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai
mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap
sama. Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana
berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam
upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli
komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A
dengan murabahah.[3]
Murabahah
berbeda dengan jual beli biasa (musawamah) dimana dalam jual beli musawamah
terdapat proses tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli untuk
menentukan harga jual, dimana penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan
keuntungan yang diinginkan. Sedangkan murabahah, harga beli dan margin yang
diinginkan harus dijelaskan kepada pembeli.[4]
2.
Syarat dan Rukun Murabahah
Akad jual beli
murabahah akan sah apabila memenuhi beberapa syarat berikut :
a.
Mengetahui harga pokok (harga beli),
disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli kedua, karena hal itu
merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli murabahah. Jika harga beli
tidak dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah meninggalkan majlis, maka
jual beli dinyatakan rusak dan akadnya batal.
b.
Adanya kejelasan margin (keuntungan) yang
diinginkan penjual kedua, keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada pembeli
kedua atau dengan menyebutkan presentase dari harga beli.
c.
Modal yang digunakan untuk membeli objek
transaksi harus merupakan barang mitsli, yaitu terdapat padanannya di pasaran,
alangkah baiknya jika menggunakan uang. Jika modal yang dipakai merupakan
barang qimi/ghair mitsli, misalnya pakaian dan marginnya uang, maka
diperbolehkan.
d.
Akad jual beli pertama harus sah adanya, artinya
transaksi yang dilakukan penjual pertama dan pembeli pertama harus sah, jika
tidak maka transaksi yang dilakukan oleh penjual kedua (pembeli
pertama) dengan pembeli kedua hukumnya fasid/rusak dan akadnya batal.[5]
3.
Dasar Hukum Jual Beli Murabahah
Murabahah
merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di
antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli
murabahah adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
a.
“Hai orang yang beriman, janganlah kalian
saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS. An Nisa
: 29). Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara
transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba)
sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah,
dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin.
Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus
berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu
perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan
kewajiiban masing-masing.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
b.
“...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275). Dalam ayat ini, Allah memertegas
legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang
konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat
pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam
praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual beli dan
tidak mengandung unsur ribawi.
c.
Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah
bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. Hadits
ini yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas
keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad
jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak
ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli
murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme
pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak
nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.[6]
4.
Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan
Syariah
Cara operasi
bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya
dalam masalah bunga dan praktik lainnya yang menurut syariat islam tidak
dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank
konvensional lainnya.[7]
Produk dalam
bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini
terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal
ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan
spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan.
Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama
diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman?
Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual uang dengan
benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah
menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya
modal kerja dan berjangka pendek.[8]
Murabahah
merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan
syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah
mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan
dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah
melunasi pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah
margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada
perjanjian murabahah yang telah disepakti sebelumnya antara nasabah dengan bank
syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik
dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.[9]
B.
Jual Beli Salam
1.
Pengertian Jual Beli Salam
Secara
terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas
dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudian hari.[10]
Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya
ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati,
ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp. 100.000,-
“. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp.
100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada.
Jadi, salam ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan
kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.[11]
2.
Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana
jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun
salam adalah sebagai berikut:
a.
Muslam atau pembeli
b.
Muslam ilaih atau penjual
c.
Modal atau uang
d.
Muslam fiihi atau barang
e.
Sighat atau ucapan[12]
Syarat-syarat
salam sebagai berikut:
a.
Uangnya dibayar di tempat akad, berarti
pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b.
Barangnya menjadi utang bagi penjual
c.
Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu
yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada.
Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada
musimnya tidak sah
d.
Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny,
takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
e.
Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam
barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan
antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada
barang tersebut dapat bebeda
f.
Disebutkan tempat menerimanya.[13]
3.
Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual
Beli Biasa
Semua
syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli
salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a.
Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode
pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b.
Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak
dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat
dijual.
c.
Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang
secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang
dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali
yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.
Dalam jual beli salam, pembayaran harus
dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat
ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal
pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan
pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.[14]
4.
Dasar Hukum Jual beli Salam
Landasan
syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
a.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan
ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan
transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya
bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat
tersebut.
b.
Al-Hadits
Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya
melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang diketahui.”
Dari hadits
lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)[15]
5.
Salam Paralel
Salam paralel
berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan
antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah
menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan
transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang
pertama. Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam
paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara
terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.[16]
6.
Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah
transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena
itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi
ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga
dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik
perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau
secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank
dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal
bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran.
Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan
barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk
kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum
pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a.
Pembelian hasil produksi harus diketahui
spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A dengan harga Rp.
5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b.
Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau
tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab
denagn cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau
mengganti barang yang sesuai pesanan.
c.
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang
dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi
bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti
BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut paralel salam.[17]
C.
Jual Beli Istishna’
1.
Pengertian Istishna’
Transaksi bai’
al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang
lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran
dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada
masa yang akan datang.
Menurut jumhur
fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.[18]
2.
Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat
ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai
berikut:
a.
Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing
pihak sepakat atas barang yang dipesan
b.
Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang
bisa dipesan
c.
Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan
deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
d.
Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada
waktu dan tempat yang disepakati
e.
Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak
satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
f.
Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan
spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk
melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun
istishna’ sebagai berikut:
a.
Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan
transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b.
Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan
aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
c.
Objek yang ditransaksikan, yaitu barang
produksi.[19]
3.
Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang
membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan
berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin
sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar
r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya
dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun
membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan
bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu
mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang
cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.”
Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir
menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani
dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’
sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah
mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.[20]
Sebagian fuqaha
kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas
dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan
mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi
perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan
pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang
tersebut.[21]
4.
Istishna’ Paralel
Dalam sebuah
kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan
subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat
dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak
pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa
konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya
sebagai berikut:
a.
Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama
tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap
tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung
jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal
dari kontrak paralel.
b.
Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’
paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan. Dia tidak
mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama
akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan
bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak
tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.
Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk
membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah
yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga menjadi dasar bahwa bank
boleh memungut keuntungan kalau ada.[22]
5.
Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk
istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank
syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[23] Bila
nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi,
bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank
melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak
(biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi
lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap,
sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank
meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan
pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi
tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung
jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai
menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah
diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah
dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang
selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank
tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera
dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih
bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank
juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank
tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah.
Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli
itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil
produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank
memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual
(murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).[24]
D.
al-Ijarah
Al-Ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas
barang itu sendiri.
Pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya
terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya
barang, pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Menurut
Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Hadis
Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda: “Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadis
riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w.
bersabda: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan-lah upahnya”.
1.
Rukun, Jenis dan Ketentuan Ijarah
Rukun
Ijarah
Menurut
ulama’ Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan
kalimat: al-Ijarah, al-Isti’jar, al-Ikra’ dan al-Iktira’. Akan tetapi menurut
jumhur ulama’ rukun Ijarah ada empat:
·
Orang yang berakad (Muajir atau
penyewa dan musta’jir atau yang menyewakan barang).
·
Sighat (ijab dan qabul)
·
Ujrah (ongkos sewa)
·
Manfa’ah (Manfaat)
a. Jenis
Ijarah Menurut Objeknya
Berdasarkan obyeknya, Ijarah
terdiri dari:
·
Ijarah dimana obyeknya manfaat
dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb.
·
Ijarah dimana obyeknya adalah
manfaat dari tenaga seorang seperti
Rukun dan Ketentuan Ijarah pada
Lembaga Keuangan Syariah
Dalam
Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Ijarah telah dijelaskan secara
rinci tentang Rukun dan Syarat Ijarah, Ketentuan Obyek Ijarah, dan Kewajiban
LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah.Adapun Rukun dan Syarat Ijarah menurut
Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tersebut adalah:
·
Pernyataan ijab dan qabul.
·
Pihak-pihak yang berakad
(berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS), dan
penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
·
Obyek kontrak: pembayaran (sewa)
dan manfaat dari penggunaan aset.
·
Manfaat dari penggunaan aset
dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang
harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
·
Sighat Ijarah adalah berupa
pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau
dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset
(LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Sedangkan ketentuan Obyek Ijarah
menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 antara lain:
a. Obyek
ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
b. Manfaat
barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak
c. Pemenuhan
manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
e. Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.
Spesifikasi manfaat harus
dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan
spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa
adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai
pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat
pula dijadikan sewa dalam Ijarah.
h. Pembayaran
sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek
kontrak.
i.
Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Berkaitan dengan kelenturan dalam
menentukan ujrah dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut:
a.
Ujrah dapat ditentukan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak. Misalnya, seorang mustakjir berkata kepada
Muajjir, ”Jika seseorang menyewa mobil saya bulan ini sewanya Rp 2.500,000
perbulan, jika bulan depan (masa lebaran), sewanya Rp 3.000.000,-“.
b.
Contoh lain, “Jika seseorang
menggunakan gedung ini untuk bank syariah, sewanya Rp 25 juta setahun, jika
anda gunakan untuk Baitul Mal wat Tamwil sewanya Rp 20 juta setahun”.
Sedangkan syarat Ujrah (fee,
bayaran sewa) sebagai berikut:
a. Harus
termasuk dari harta yang halal
b. Harus
diketahui jenis, macam dan satuannya
c. Tidak
boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari
kemiripan riba fadhl.
d. Kebanyakan
ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa
(manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya
matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
e. Pemilik
asset / manfaat dibolehkan meminta pembayaran di muka, baik sebagian maupun
seluruhnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda keseriusan penyewa dalam janjinya
untuk menggunakan asset / manfaat tersebut.
2. Penanggungan
Risiko Dalam Akad Ijarah
Dalam
akad Ijarah juga berlaku hak khiyar, dimana penyewa berhak menolak ijarah
karena cacat barang (khiyar ‘aib) dan Muajjir bertangung jawab untuk menjamin
(mengganti) barang/orang ijarah yang cacat. Hal ini dapat dicontohkan: (a) jika
ternyata mobil sewaan atau LCD sewaan rusak, maka muajjir harus menukar dengan
barang lain yang bagus; dan (b) Jika ternyata Yayasan X penyalur pembantu
mengirim pembantu yang ternyata tidak bisa mengerjakan tugas-tugas yang
dijanjikan, maka muajjir harus menggantinya dengan pembantu yang lain.
Konsekuensi
Hukum dan Pemeliharaan Asset dalam Akad Ijarah Terdapat beberapa konsekuensi
hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab pemeliharaan asset dalam akad
Ijarah:
a.
Konsekuensi hukum dan keuangan
yang timbul dari akad ijarah adalah timbulnya hak atas manfaat dari asset yang
disewa oleh penyewa (musta’jir) dan penerimaan fee/ujrah bagi pemilik asset
(muajjir).
b.
Pemberi sewa (mu’jir) wajib
menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa dengan cara menjaga agar
manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam batas yang normal. Apabila
terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib
memperbaikinya/menggantinya.
c.
Pada prinsipnya dalam kontrak
ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemeliharaan
asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan biaya
perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa
menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh
Dhaman La Yajtami’ani. Artinya: pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh
berhimpun dengan biaya perbaikan kerusakaan.
3. Perbedaan
Dokumen Leasing Konvensional
Pada
dasarnya perbedaan antara dokumen akad ijarah dengan leasing konvensional
terletak pada akad yang disebut dalam dokumen tersebut. Ada beberapa perbedaan
dan persamaan antara ijarah dan leasing. Terdapat beberapa aspek yang dapat
digunakan untuk melihat perbedaan dan persamaan antara ijarah dan leasing,
yaitu
a.
Pertama, dari sisi objek kontrak.
Jika melihat dari segi obyek penyewaan, leasing hanya berlaku untuk sewa
menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada manfaat
barang saja. Sedangkan dalam kontrak ijarah objek transaksinya bisa berupa
manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan
untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila untuk
mendapatkan manfaat tenaga kerja disebut upah-mengupah. Dengan demikian secara
cakupan objek, ijarah memiliki cakupan yang lebih luas.
b.
Kedua, perpindahan kepemilikan.
Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset baik di awal
maupun di akhir periode sewa. Dalam hal ini praktik ijarah sama dengan
operating lease, tidak ada perpindahan kepemilikan baik di awal maupun akhir
periode. Berikutnya dalam financial lease, sudah disepakati dari awal bahwa
penyewa akan membeli atau tidak membeli aset yang disewa tersebut. Sedangkan
varian lain dari akad Ijarah adalah akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT)
yang memiliki ketentuan bahwa pihak yang menyewakan berjanji diawal periode
kepada pihak penyewa apakah akan menjual barang tersebut atau menghibahkannya.
Dengan demikian ada dua jenis IMBT, yaitu: IMBT dengan janji menghibahkan
barang di akhir periode sewa dan IMBT dengan janji menjual barang pada akhir
periode sewa.
c.
Ketiga, lease-purchase
(sewa-beli). Hal ini merupakan variasi kontrak lainnya dari leasing, yakni
kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa-beli ini perpindahan
kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak ini
dibatalkan maka barang tersebut terbagi menjadi milik penyewa dan yang
menyewakan. Menurut syariah akad ini diharamkan karena adanya shafqatain fi
al-shafqah (two ini one). Hal ini menyebabkan gharar dalam akad, yakni ada
ketidakjelasan apakah akad sewa atau akad beli yang digunakan.
[3]
Iggi
H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003) hal 57
[10]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)hal 143
[12]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Gema Insani,2001)hal 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar