Jumat, 16 Desember 2016

PASAR MODAL SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini perkembangan sektor keuangan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Di antara indikator perkembangan tersebut adalah meningkatnya kebutuhan terhadap berbagai fasilitas instrumen-instrumen keuangan (Financial Instruments) baik melalui perbankan maupun lembaga keuangan non bank. Selain itu, pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah telah menjadi alternatif bagi para investor dan pelaku ekonomi yang menuntut institusi dan instrumen keuangan (Islamic Financial Institution) yang memenuhi ketentuan syariah (Syariah Compliance). Salah satu lembaga keuangan yang cukup strategis dalam lintas sistem keuangan hari ini adalah Pasar Modal yang menawarkan berbagai instrumen investasi keuangan. Di samping instrumen-instrumen keuangan konvensional, saat ini juga sudah ditawarkan sejumlah instrumen keuangan pasar modal yang memenuhi ketentuan syariah (Islamic Financial Instruments). Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemodal yang ingin berinvestasi berdasarkan kepada prinsip-prinsip syariah tersebut. Sejumlah bursa efek dunia telah menyusun indeks yang secara khusus terdiri dari komponen saham-saham yang tergolong kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Perkembangan instrumen syariah pada pasar modal di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997, diawali dengan lahirnya Reksa Dana Syariah yang diprakarsai Dana Reksa, selanjutnya, PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ) bersama dengan PT. Dana Reksa Invesment Management (DIM) meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) yang mencakup sekitar 30 jenis saham dari emiten-emiten yang kegiatan usahanya memenuhi ketentuan syariah. Penguatan pengaturan atas produk, lembaga dan profesi terkait pasar modal syariah merupakan hal penting yang menjadi landasan pengembangan pasar modal syariah. Kredibilitas industri ini sangat bergantung dari implementasi kongkret atas pengembangan tersebut yang mencakup antara lain program memperkuat kerangka hukum penerbitan dan transaksi efek syariah, peran lembaga dan profesi penunjang pasar modal serta pelaku pasar lainnya, relaksasi aturan, dan pemberian insentif. Peningkatan kepastian hukum tersebut sejalan dengan tekad dan upaya untuk membangun sekaligus meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri pasar modal syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pasar Modal Syariah
1.      Pengertian
Sebagaimana pasar konvensional pada umumnya, pasar modal adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli, karena definisi pasar (market) merupakan sarana yang mempertemukan aktivitas pembeli dan penjual untuk suatu komoditas atau jasa.[1] Yang diperjualbelikan di pasar modal adalah modal atau dana. Jadi, pasar modal mempertemukan penjual modal/dana dengan pembeli modal atau dana.[2]
Istilah dari pasar modal biasanya dipakai sebagai terjemahan dari capital market, yang berarti suatu tempat atau sistem bagaimana cara memenuhi kebutuhan dana dari suatu perusahaan.[3] Berdasarkan kegiatannya, istilah pasar modal sendiri setara dengan istilah bursa (bourse) efek dan ada pula yang menyetarakan dengan pasar saham (stock market atau stock exchange).
Pasar modal juga disebut sebagai bursa efek, yang dalam bahasa Inggris disebut securitas exchange atau stock market. Istilah ini seperti tampak berbeda, namun pada intinya sama yaitu merupakan tempat bertemunya penjual dana dan pembeli dana yang di pasar modal atau bursa tersebut diperantarai oleh para anggota bursa selaku pedagang perantara perdagangan efek untuk melakukaan transaksi jual beli.[4] Karena pada dasarnya, pasar modal (capital market) merupakan pasar berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk utang atau modal.[5]
Dalam arti sempit, pasar modal merupakan tempat dalam pengertian fisik yang teroganisasi dengan efek-efek yang diperdagangkan yang disebut bursa efek (stock exchange) yaitu suatu sistem yang teroganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.[6]
Pada dasarnya secara umum pasar modal merupakan jembatan yang menghubungkan antara pemilik dana dengan pengguna dana hingga dapat dikatakan pada akhirnya pasar modal merupakan wahana investasi dan wahana sumber dana bagi pengguna dana.[7] Sehingga secara sederhana, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar yang memperjualbelikan berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri yang diterbitkan oleh perusahaan swasta. Pasar modal (capital market) mempertemukan pemilik dana (supplier of fund) dengan pengguna dana (user of fund) dengan tujuan investasi jangka menengah (midle term investment) dan investasi jangka panjang (longe term investment). Kedua pihak melakukan jual beli modal yang berwujud efek. Pemilik dana menyerahkan sejumlah dana dan penerima dana (perusahaan terbuka) menyerahkan bukti kepemilikan berupa efek.[8]
Sementara itu, pasar modal yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah dapat disebut sebagai pasar modal syariah.[9] Pengertian ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Heri Sudarsono yang mendifinisikan pasar modal syariah sebagai pasar modal yang instrumen-instrumen di dalamnya berprinsipkan syariah.[10] Dengan mengacu pada pengertian tersebut, dapat dimengerti bahwa terdapat perbedaan antara kegiatan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional. Secara umum perbedaan tersebut dapat dilihat pada landasan akad yang digunakan dalam transaksi atau surat berharga yang diterbitkannya. Dalam pasar modal syariah, apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga, maka perusahaan yang bersangkutan sebelumnya harus memenuhi kriteria penerbitan efek syariah.[11]
2.      Dasar Hukum dan Prinsip-Prinsip Pasar Modal Syariah
Prinsip syariah merupakan kesesuaian dengan sistem syariah yang ada yang meliputi tidak diperkenankan bertransaksi barang dan jasa yang diharamkan, ribaa, maysir dan garar. Oleh karena itu, jika ada perusahaan atau bank umum yang membuat atau mendistribusikan barang atau jasa yang haram, maka tidak termasuk dalam (daftar) pasar modal syariah.[12] Prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syariah adalah:[13]
a.       Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram, sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Nisa’: 29 dan QS. al-Baqarah: 168 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
 (QS. an-Nisa’:29)
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)
b.      Tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Perbuatan z}alim dilarang karena kez}aliman diibaratkan Nabi SAW. sebagai kegelapan hari kiamat.
Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi saw. bersabda: “Kezaliman adalah kegelapan-kegelapan hari kiamat.” (HR. Imam Bukhari)
c.       Keadilan pendistribusian kemakmuran.
Jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. al-Hasyr: 7)
d.      Transaksi dilakukan atas dasar rida sama rida, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nisa’: 29 yang telah disebutkan di atas.
e.       Tidak ada unsur riba, maysir dan garar (ketidakjelasan).
“Orang-orang yang memakan riba  tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang mengulangi (mengambil riba, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. al-Baqarah: 275)
Allah memusnahkan riba@ dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (QS. al-Baqarah: 276)
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung.” (QS.Al-Maidah: 90)
Dalam pasar modal syariah, apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga, maka perusahaan yang bersangkutan sebelumnya harus memenuhi kriteria penerbitan efek syariah.[14] Sehingga, dapat dipahami bahwa kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum syariat yang berlaku. Adapun prinsip pasar modal syariah adalah:[15]
a.       Instrumen atau efek yang diperjualbelikan harus sejalan dengan prinsip syariah yang terbebas dari unsur riba dan garar (ketidakpastian).
b.      Emiten yang mengeluarkan efek syariah baik berupa saham ataupun sukuk harus mentaati semua aturan syariah.
c.       Semua efek harus berbasis pada harta atau transaksi riil, bukan mengharapkan keuntungan dari kontrak utang piutang.
d.      Semua transaksi tidak mengandung garar atau spekulasi.
           






Untuk mengetahui lebih jelas mengenai prinsip pasar modal syariah dapat dilihat dalam tabel berikut:
Penyebab Haramnya Transaksi
Implikasi di Pasar Modal
Li Zatihi

Efek yang diperjualbelikan harus merupakan representasi dari barang dan jasa yang halal
Li
Ghairihi
(karena
selain
dzatnya)
Tadlis
1. Keterbukaan atau transparasi informasi
2. Larangan terhadap informasi yang menyesatkan
Taqrῑr
Larangan terhadap transaksi yang mengandung ketidakjelasan obyek transaksi, baik dari sisi pembeli maupun sisi penjual
Ribā Faḍal
Larangan atas pertukaran efek sejenis dengan nilai nominal yang berbeda
Ribā Nasi'ah
Larangan atas perdagangan efek fiscal income yang bukan merupakan representasi ain
Ribā Jahiliyah
Larangan atas short selling yang merupakan bunga atas pinjaman
Bai' Najsy
Larangan melakukan rekayasa permintaan untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal dengan cara
menciptakan false demand
Ikhtikar
Larangan melakukan rekayasa penawaran untuk
mendapatkan keuntungan di atas laba normal dengan cara
mengurangi supply agar harga jual naik
Tidak
ada
akad





Rukun dan Syarat
Larangan atas semua investasi yang tidak dilakukan
secara spot
Ta'alluq
Transaksi yang settlementnya dikaitkan dengan transaksi
lainnya (menjual saham dengan syarat)
2 in 1
Dua transaksi dalam satu akad dengan syarat:
1. Obyek sama
2. Pelaku sama
3. Periode sama
Prinsip-Prinsip Pasar Modal Syariah[16]

Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syariah tidak boleh disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Pembelian saham pabrik minuman keras, pembangunan penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan syariah berarti diharamkan. Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang didzalimi atau mendzalimi. Tidak ada unsur riba, tidak bersifat spekulatif atau judi dan semua transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider trading.
3.      Instrumen Pasar Modal Syariah
Pasar modal adalah pasar untuk berbagi instrumen keuangan atas sekuritas jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik dalam bentuk uang maupun modal, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities maupun perusahaan swasta.[17] Instrumen yang diperdagangkan di pasar modal berbentuk surat-surat berharga yang dapat diperjualbelikan kembali oleh pemiliknya, baik yang bersifat kepemilikan atau bersifat hutang. Intrumen pasar modal yang bersifat kepemilikan diwujudkan dalam bentuk saham, sedangkan yang bersifat hutang diwujudkan dalam obligasi.[18]
Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah semua surat-surat berharga (efek) yang diperdagangkan di bursa, karena itu bentuknya beraneka ragam. Instrumen yang boleh diperjualbelikan dalam pasar modal syariah hanya apabila memenuhi kriteria syariah. Dan untuk memastikan bahwa instrumen tersebut benar-benar sesuai dengan prinsip syariah, maka perlu dilakukan konversi melalui proses screening terhadap kegiatan pasar modal. Adapun yang menjadi instrumen pasar modal syariah adalah:
a.      Saham Syariah
Saham (stock atau share)  dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut
Saham dibedakan menjadi dua, yaitu saham biasa dan saham preferen. Saham biasa (common stock) adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan. Saham biasa memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah:
1.      Pemilik saham biasa akan mendapatkan dividen sepanjang perusahaan memperoleh laba.
2.      Dalam rapat umum pemegang saham, pemilik saham biasa memiliki hak suara (satu saham satu suara )
3.      Disaat perusahaan dilikuidasi,  maka pemilik saham biasa memiliki hak terakhir (junior) dalam hal pembagian kekayaan perusahaan. 
4.      Pemilik saham biasa memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya.
5.      Pemilik saham biasa memiliki hak terlebih dahulu untuk memiliki saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan (preemtive right).
 Saham preferen (prefered stock) merupakan satu jenis sekuritas ekuitas yang berbeda dalam beberapa hal dengan saham biasa. Saham preferen (prefered stock) memiliki beberapa karakteristik, seperti berikut ini :  
1.      Pemilik saham preferen mempunyai hak untuk menerima terlebih dahulu dividen dibandingkan dengan pemegang saham biasa.
2.      Apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, maka pemilik saham preferen memiliki hak pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham lebih dahulu setelah kreditor.
3.      Pemegang saham preferen berkemungkinan dapat memperoleh tambahan dari pembagian laba perusahaan disamping penghasilan yang diterima secara tetap.
4.      Pemilik saham preferen memiliki hak memperoleh pembagian kekayaan perusahaan di atas pemegang saham biasa stelah semua kewajiban perusahaan dilunasi jika perusahaan dilikuidasi.
Saham merupakan instrumen penyertaan modal seseorang atau lembaga dalam suatu perusahaan. Modal ini terbagi dalam tiga tingkat status, yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.[19]
Secara sederhana, saham dapat didefinisikan ebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Saham merupakan surat berharga yang bersifat kepemilikan, artinya si pemilik saham merupakan pemilik perusahaan.[20] Semakin besar saham yang dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di perusahaan tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan deviden dan pembagiannya ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).[21]
Saham syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.[22] Saham syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam.
Karakteristik tersebut adalah:
a.       Tidak ada transaksi yang berbasis bunga.
b.      Tidak ada transaksi yang meragukan.
c.       Saham harus dari perusahaan yang halal aktivitas bisnisnya.
d.      Tidak ada transaksi yang tidak sesuai dengan etika dan tidak bermoral seperti manipulasi pasar, insider trading, dan lain-lain.[23]
Pada dasarnya tidak terdapat pembedaan antara saham yang syariah dengan yang non syariah. Namun saham sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan, dapat dibedakan menurut kegiatan usaha dan tujuan pembelian saham tersebut. Saham menjadi halal (sesuai syariah) jika saham tersebut dikeluarkan oleh perusahaan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang yang halal dan/atau dalam niat pembelian saham tersebut adalah untuk investasi, bukan untuk spekulasi. Untuk lebih amannya, saham yang di-listing dalam Jakarta Islamic Index (JII) merupakan saham-saham yang insya Allah sesuai syariah. Dikatakan demikian, karena emiten yang terdaftar dalam Jakarta Islamic Index akan selalu mengalami proses penyaringan (screening) berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.[24]
b.      Obligasi Syariah (Sukuk)
Instrumen pasar modal selain diwujudkan dalam bentuk saham, juga dapat diwujudkan dalam bentuk obligasi. Menurut bahasa, obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu obligate, kemudian dibakukan ke dalam bahasa Indonesia menjadi obligasi berarti ‘kontrak’.[25] Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap di atas 10 (sepuluh) tahun.[26]
Pengertian obligasi di pasar modal syariah, tidak identik dengan surat pengakuan utang sebagaimana dikenal di pasar modal konvensional selama ini. Pengertian obligasi (sukuk) dalam pasar modal syariah memiliki makna lebih luas, yaitu meliputi beberapa akad yang dapat digunakan.[27]
Dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Kata sukuk bentuk jamak dari sukk merupakan istilah Arab yang dapat diartikan sertifikat. Sukuk ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional.
Pada praktiknya sukuk secara umum diidentikkan sebagai ‘obligasi’ yang penerapannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut Fatwa DSN-MUI No: 32/DSN-MUI/IX/2002, pengertian obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa obligasi syariah merupakan surat pengakuan kerjasama yang memiliki ruang lingkup yang lebih beragam dibandingkan hanya sekedar surat pengakuan utang. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai akad yang telah digunakan. Seperti akad mudharabah, murabahah, salam, istisna’ dan ijarah.[28]
c.       Reksa Dana Syariah
Reksa dana berasal dari kosa kata ‘reksa’ yang berarti jaga atau pelihara dan ‘dana’ yang berarti uang, sehingga reksa dana dapat diartikan sebagai kumpulan uang yang dipelihara bersama suatu kepentingan.[29]
Reksa dana di Inggris dikenal dengan sebutan unit trust yang berarti unit kepercayaan dan di Amerika dikenal dengan sebutan mutual fund yang berarti dana bersama dan di Jepang dikenal dengan sebutan investment fund yang berarti pengelolaan dana untuk investasi berdasarkan kepercayaan. Secara bahasa reksadana tersusun dari dua konsep, yaitu reksa yang berarti jaga atau pelihara dan konsep dana yang berarti uang. Dengan demikian secara bahasa reksadana berarti kumpulan uang dipelihara.[30]
Menurut Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001, reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip-prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik (sahibu al-mal/rabbu al-mal) dengan manajer investasi sebagai wakil sahibu al-mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil sahibu al-mal dengan pengguna investasi.[31]
Reksa dana syariah telah beroperasi di industri reksa dana Indonesia. Reksa dana syariah merupakan reksa dana yang berbasiskan prinsip syariah. Reksa dana menginvestasikan dana yang berhasil dihimpun ke dalam saham (ekuitas) yang tentunya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, obligasi syariah dan pasar uang (deposito mudarabah). Selain tidak boleh melakukan transaksi yang bersifat spekulatif, harus bersih dari unsur nonhalal, menerapkan prinsip kehati-hatian, Reksa dana syariah tidak boleh melakukan investasi dengan tingkat nisbah utangnya lebih besar dari modalnya.
Seperti halnya reksa dana konvensional, reksa dana syariah pun memiliki beberapa jenis, yaitu reksa dana syariah pendapatan tetap, reksa dana syariah saham, dan reksa dana syariah campuran. Reksa dana syariah pendapatan tetap menginvestasikan dananya ke dalam obligasi dan deposito syariah. Reksa dana syariah saham menanamkan dananya di saham-saham syariah, sedangkan reksa dana campuran menginvestasikan dananya pada saham, obligasi dan deposito syariah. Reksa dana campuran ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil investasi yang tinggi.[32]

B.     Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia
Pasar modal telah menarik perhatian berbagai kalangan, baik itu investor maupun pengusaha yang terlibat di dalamnya, akan tetapi tentunya dengan segala konsekuensi material maupun spiritual yang tanpa disadari.[33] Hal ini memunculkan pemikiran untuk penerapkan nilai-nilai keislaman (prinsip-prinsip syariah) dalam pasar modal syariah. Namun demikian, perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami masa surut selama kurun waktu yang relatif lama pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa tersebut negara-negara di Timur Tengah serta negara-negara Islam lain hampir semuanya menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan banyaknya negara Islam yang terbebas dari penjajahan dan semakin terdidiknya generasi muda Islam, maka ajaran Islam mulai meraih masa kebangkitan kembali. Sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim dari negara-negara Islam sudah mulai melakukan pengkajian ulang atas penerapan sistem hukum Eropa ke dalam industri keuangan dan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah Islam dalam industri keuangannya, termasuk pasar modal.[34]
Pertama sekali lembaga keuangan yang concern dalam mengoperasionalkan portofolio syariah di pasar modal adalah Amanah Income Fund diluncurkan the North American Islamic Trust sebagai equity fund pertama di dunia pada Juni 1986[35] yang berpusat di Indiana, Amerika Serikat, hingga kemudian wacana membangun pasar modal syariah disambut dengan antusias oleh para pakar ekonomi muslim di kawasan Timur Tengah, Eropa dan Asia. Pasar modal syariah tidak hanya berkembang di negara-negara yang mayoritas muslim, bahkan bursa efek dunia yaitu New York Stock Exchange meluncurkan produk yang bernama Dow Jones Islamic Market Index (DJMI) pada Februari 1999. Bahkan guna menjaga agar investasi aman dari hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syariah, maka dibentuklah Dewan Pengawas Syariah yang disebut Syariah Supervisory Board.[36]
Di Indonesia, perintisan pembentukan pasar modal syariah dimulai sejak munculnya instrumen pasar modal yang menggunakan prinsip syariah yang berbentuk reksa dana syariah dengan mulai diterbitkannya Reksa dana Syariah oleh PT. Danareksa Investment Management pada tanggal 3 Juli 2000. Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal di Bursa Efek Indonesia telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berinvestasi sesuai dengan prinsip syariah.[37]
Pada tanggal 18 April 2001, untuk pertama kali Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang berkaitan langsung dengan pasar modal, yaitu Fatwa Nomor 20/DSNMUI/ IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.[38] Perkembangan selanjutnya instrumen investasi syariah di pasar modal Indonesia terus bertambah dengan kehadiran obligasi syariah PT. Indosat Tbk. pada awal September 2002. Instrumen ini merupakan Obligasi Syariah pertama dan akad yang digunakan adalah akad mudharabah.[39] Penerbitan obligasi syariah oleh PT. Indosat Tbk. Untuk yang pertama kali di pasar modal Indonesia ini sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas dengan tingkat imbal hasil 16,75 %, suatu tingkat imbal hasil (return) yang cukup tinggi dibanding rata-rata return obligasi dengan prinsip riba/konvensional.[40]
Pembentukan pasar modal syariah baru terlaksana pada tanggal 14 Maret 2003 dengan dibuka secara resmi pasar modal syariah oleh Budiono dan didampingi oleh Ketua Bapepam Herwidayatmo, Wakil dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Wakil dari Dewan Syariah Nasional (DSN) serta Direksi SRO, Direksi Perusahaan Efek, pengurus organisasi pelaku dan asosiasi profesi di pasar Indinonesia.[41] Pembentukan tersebut dimulai dari MoU (Memorandum of Understanding) antara Bapepam dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003. MoU menunjukkan adanya kesepahaman antara Bapepam dan DSN-MUI untuk mengembangkan pasar modal berbasis syariah di Indonesia.[42]
Kemudian pada 2004, obligasi syariah terbit untuk pertama kali dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah Ijarah. Selanjutnya, pada 2006 muncul instrumen baru yaitu Reksa Dana Indeks di mana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah indeks JII.[43]
Adapun Pemerintah Indonesia baru menerbitkan sukuk dua kali, yakni pada Agustus 2008 dan Februari 2009. Dua seri sukuk pemerintah yang terbit pada Agustus 2008 diserap pasar senilai Rp. 4,699 triliun dan masuk ke APBN 2008. Adapun pada penerbitan sukuk ritel Februari 2009 senilai Rp. 5,556 triliun, dan kemudian digunakan untuk membiayai defisit APBN 2009. Bandingkan dengan Malaysia yang sukses menerbitkan sukuk pada denominasi ringgit senilai 39,548 miliar US dollar antara tahun 2002 dan Oktober 2008. Ini belum termasuk sukuk yang diterbitkan dalam denominasi dollar AS. Penerbitan sukuk dalam mata uang ringgit di pasar domestik Malaysia telah mendominasi seluruh penerbitan sukuk di dunia selama kurun waktu 2002 sampai 2005. Pada tahun 2007, sebanyak 76 persen dari obligasi yang diterbitkan Pemerintah Malaysia adalah berbentuk sukuk.
C.    Saham dan Pasar Modal Syariah
Saham syariah dapat dikatakan sebagai saham yang diperdagangkan di dalam pasar modal syariah. Pada dasarnya saham syariah sama dengan saham dalam pasar modal konvensional. Hanya saja bedanya saham yang diperdagangkan dalam pasar modal syariah harus datang dari emiten yang memenuhi kriteria-kriteria syariah (Syariah Compliance). Dengan demikian, kalau saham merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal kedalam suatu perusahaan. Maka dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti bir, dan lain-lain. 
Ditinjau dari sisi syariah, pasar modal adalah bagian dari aktivitas muamalah. Transaksi di dalam pasar modal diperbolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. Syed Othman Alhabshi dalam tulisannya yang berjudul Development of capital market under islamic principles memberikan deskripsi analitis tentang eksistensi pasar modal yang sesuai syariah serta secara optimal dapat berperan terhadap pertumbuhan dan ekspansi ekonomi. Analisisnya menggunakan pendekatan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam aktivitas transaksi di pasar modal dengan berorientasi kepada tujuan dari penerapan prinsipprinsip syariah itu sendiri. Menurutnya, tujuan-tujuan syariah dalam kehidupan ekonomi tersebut seperti terealisasinya distribusi pendapatan dan kekayaan, terciptanya keadilan dan keseimbangan ekonomi baru akan terwujud dengan diaplikasikannya prinsip-prinsip syariah dalam berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan syariah, khususnya pasar modal sebagai lembaga keuangan (financial institustion). Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah pelarangan riba (prohibition of interest) sebagaimana tertuang dalam Q.S. al- Baqarah/2: 275-276 dan ayat 278-290.[44]
Prinsip pelarangan gharar (prohibition of doubtful transaction). Syariah melarang transaksi yang di dalamnya terdapat spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu transaksi yang di dalamnya dimungkinkan terjadinya penipuan (khida’). Termasuk dalam pengertian ini adalah melakukan penawaran palsu (najsy); transaksi atas barang yang belum dimiliki (short selling/bai’u mâlaisa bimamluk); menjual sesuatu yang belum jelas (bai’u al ma’dûm); pembelian untuk penimbunan efek (ihtikar) dan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang (insider trading). Prinsip berikutnya adalah pelarangan untuk bertransaksi terhadap makanan dan minuman yang halal (prohibition of unlawful food ang drink), prinsip kesederhanaan (principle of moderation), prinsip etika perilaku (principle of ethical behavior), dan prinsip kepemilikan sempurna (principle of complete ownership).
Kesemua prinsip-prinsip ini akan menjadi landasan bagi beroperasinya aktifitas ekonomi dan keuangan, khusunya di pasar modal. Dengan adanya berbagai ketentuan dan pandangan syariah seperti di atas, maka investasi tidak dapat dilakukan terhadap semua produk pasar modal karena di antara produk pasar modal itu banyak yang bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu investasi di pasar modal harus dilakukan dengan selektif dan dengan hati-hati (ihtiyat) supaya tidak masuk kepada produk non halal. Sehingga hal inilah yang mendorong terjadinya islamisasi pasar modal.
Selanjutnya Aziz Budi Setiawan menjelaskan bahwa bentuk ideal dari pasar modal syariah dapat dicapai dengan islamisasi empat pilar pasar modal, yaitu; (a) emiten (perusahaan) dan efek yang diterbitkannya didorong untuk memenuhi kaidah syariah, keadilan, kehati-hatian dan transparansi; (b) pelaku pasar (investor) harus memiliki pemahaman yang baik tentang ketentuan ketentuan muamalah, manfaat dan resiko transaksi di pasar modal; (c) infrastruktur informasi bursa efek yang jujur, transparan dan tepat waktu yang merata di publik yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar; (d) pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat diselenggarakan secara adil, efisien, efektif dan ekonomis.[45]
Selain itu prinsip-prinsip syariah juga akan memberikan penekanan pada: (a) kehalalan produk/jasa dari kegiatan usaha, karena menurut prinsip syariah manusia hanya boleh memperoleh keuntungan atau penambahan harta dari hal-hal yang halal dan baik; (b) adanya kegiatan usaha yang spesifik dengan manfaat yang jelas, sehingga tidak ada keraguan akan hasil usaha yang akan menjadi obyek dalam perhitungan keuntungan yang diperoleh; (c) adanya mekanisme bagi hasil yang adil, baik dalam untung maupun rugi, menurut penyertaan masing-masing pihak; dan (d) penekanan pada mekanisme pasar yang wajar dan prinsip kehati-hatian baik pada emiten maupun investor.
Keberadaan saham dan pasar modal syariah saat ini menjadi hal yang sangat mutlak karena mempunyai peran dan fungsi ekonomi dan keuangan yang sangat strategis. Metwali, sebagaimana yang dikutip oleh Agustianto menjelaskan tujuan strategis dari pasar modal syariah, yaitu: Pertama, memungkinkan bagi masyarakat berpartispasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian dari keuntungan dan resikonya. Kedua, memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya guna mendapatkan likuiditas. Ketiga, memungkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun dan mengembangkan lini produksinya. Keempat, memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional, dan Kelima, memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.
D.    Perkembangan Saham dan Pasar Modal Syariah di Indonesia
Konteks Indonesia, yang dimaksud dengan saham-saham syariah adalah saham yang ditawarkan kepada investor oleh perusahaan-perusahaan yang memenuhi ketentuan syariah (syariah compliance) dan diatur sesuai fatwa Dewan Syariah Nasional MUI melalui Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa: Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3,[46] dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.[47] Sebagaimana umumnya, di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip syariah.
Agar dapat masuk ke dalam Jakarta Islamic Indexs (JII) tentunya harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan standar penyaringan yang dikenal dengan istilah Screening. Screening pada dasarnya dilakukan pada dua aspek, yaitu: Core Business Screening dan
Financial Ratio Screening. Kedua aspek screening ini telah diatur oleh Fatwa DSN MUI. Core Business Screening atau penyaringan kegiatan bisnis diatur dalam Fatwa DSN No. 20/ DSN-MUI/IV/2001, Pasal 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah dan Fatwa DSN MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 4 ayat 3 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Di dalam kedua fatwa ini dijelaskan bahwa core business atau kegitan usaha yang dilakukan oleh perusahaan emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah seperti di antarnya; pertama, usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; kedua, usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional; ketiga, usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; dan keempat, usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.[48]
Sedangkan Financial Ratio Screening atau Penyaringan Ratio keuangan diatur dalam Fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001, Pasal 10 yang menyebutkan bahwa suatu emiten tidak layak untuk diinvestasikan apabila; pertama, struktur hutang terhadap modal sangat bergantung kepada pembiayaan dari hutang yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba; kedua, suatu emiten memiliki nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55 %).[49]
Jika dilihat dari sejarahnya di Indonesia, pasar modal syariah merupakan pasar yang baru berkembang dan baru dikenal oleh masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan pasar modal konvensional yang selama ini ada. Namun demikian, dengan adanya kebijakan dari otoritas bursa untuk meningkatkan peran serta berbagai pihak dalam memajukan pasar modal syariah maka prospek ke depannya pasar modal syariah Indonesia sangat terbuka lebar untuk menjadi salah satu pilihan investasi dunia paling baik. Fathurrahman Djamil menjelaskan bahwa pasar modal syariah secara resmi diluncurkan di Indonesia pada tanggal 14 Maret 2003 bersamaan dengan penandatanganan MOU antara BAPEPAM-LK dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Walau pun diluncurkan sejak tahun 2003, namun instrumen pasar modal syariah telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa Investment Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah. Tujuan diadakannya indeks Islam, sebagaimana Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham terpilih, adalah sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja investasi saham yang berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan para investor untuk mengembangkan investasi dalam equity secara syariah, atau untuk memberikan kesempatan kepada investor yang ingin melakukan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Berkaitan dengan keberadaan Bursa Efek Syariah serta saham syariah, hingga saat ini terdapat 6 (enam) Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal. Fatwa-fatwa tersebut antara lain: fatwa No. 05 Tahun 2000 tentang Jual Beli Saham; No. 20 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah; No. 32 Tahun 2002 tentang Obligasi Syariah, No. 33 Tahun 2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; No. 40 Tahun 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, dan No. 41 Tahun 2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Hal ini menjadi gambaran bahwa pasar modal syariah di Indonesia memiliki prospek positif di masa mendatang.

E.     Perbedaan Pasar Modal Syariah dan Pasar Modal Konvensional
Perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Secara umum, konsep pasar modal syariah disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.[50] Perbedaan-perbedaan antara keduanya dapat diketahui sebagaimana berikut:
a.      Indeks Harga Saham
Bentuk informasi yang dipandang tepat untuk menggambarkan pergerakan harga saham dimasa lalu adalah indeks harga saham yang memberikan deskripsi harga-harga saham pada suatu saat tertentu maupun periode tertentu pula.
Indeks harga saham adalah catatan terhadap perubahanperubahan maupun pergerakan harga saham sejak mulai pertama kali beredar sampai pada suatu saat tertentu.[51] Indeks harga saham adalah suatu angka yang secara sederhana menggambarkan rata-rata turun atau naiknya harga pasar saham pada suatu saat tertentu.[52]
Indeks saham syariah di Indonesia pertama sekali diluncurkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerjasama dengan PT. Danareksa Invesment Management (DIM) dengan nama Jakarta Islamic Index (JII). Adapun tujuan diadakannya indeks syariah sebagaimana dalam Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham terpilih, yaitu sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham yang berbasis syariah dan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan para investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuitas secara syariah.[53] Indeks syariah selanjutnya yang baru saja diluncurkan Mei 2011 adalah Indeks Saham Syariah Indonesia/Indonesia Sharia Stock Index (ISSI).
Adapun tujuan diadakannya indeks Islam sebagaimana Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham terpilih, yaitu sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja investasi pada saham yang berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan para investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah, atau untuk memberikan kesempatan kepada investor yang ingin melakukan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.[54]
Perbedaan mendasar antara indeks konvensional dengan indeks islam adalah indeks konvensional memasukkan seluruh saham yang tercatat di bursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten yang terdaftar (listing) sudah sesuai aturan yang berlaku (legal). Akibatnya bukanlah suatu persoalan jika ada emiten yang menjual sahamnya di bursa bergerak di sektor usaha yang bertentangan dengan Islam atau yang memiliki sifat merusak kehidupan masyarakat. Misalnya pada awal tahun 2003 yang lalu, di Australia ada rumah bordir (pelacuran) yang masuk ke bursa efek setempat.[55]
Indeks konvensional memasukkan seluruh saham yang tercatat dibursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten yang terdaftar sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sedangkan indeks islam merupakan indeks yang berdasarkan syari’at islam, saham-saham yang masuk dalam indeks syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah.[56]
b.      Instrumen yang Diperdagangkan
Dalam pasar modal konvensional instrumen yang diperdagangkan adalah surat-surat berharga (securities) seperti saham, obligasi, dan instrumen turunannya (derivatif) opsi, right, waran, dan reksa dana. Dalam pasar modal syariah, instrumen yang diperdagangkan adalah saham, obligasi syariah dan reksa dana syariah, sedangkan opsi, waran dan right tidak termasuk instrumen yang dibolehkan.[57]


c. Mekanisme Transaksi
Secara umum dijelaskan bahwa dalam konteks pasar modal syariah menurut Al-Habshi ialah idealnya tidak mengandung unsur ribawi, transaksi, pasar modal syariah harus beretika, jauh dari sifat amoral seperti manipulasi pasar, transaksi yang memanfaatkan orang dalam.[58]

F.     Kritik terhadap sukuk[59]
Berdasarkan kritik Sheikh Taqi, paling tidak ada dua aspek yang sangat penting untuk diperhatikan oleh stakeholders industri keuangan syariah. Yaitu, hak kepemilikan aset (asset ownership) dan proteksi kapital (capital guarantee) dalam purchase undertaking. Oleh karena itu, artikel ini membahas kedua aspek utama tersebut dan melihat implikasinya bagi pengembangan sukuk di Indonesia agar Indonesia tetap menjaga aun-tensitas nya sebagai negara yang menjaga keutuhan nilai-nilai syariah dalam memajukan keuangan syariah di dunia.
Kepemilikan asset Dalam perspektif syariah, sukuk essen-sinya merupakan representasi hak kepemilikan aset sepenuhnya (legal ownership) yang ditransfer oleh penerbit sukuk (issuer) kepada pemegang sukuk melalui intermediasi yang dinamakan Special Purpose Vehicle (SPV). Oleh karena itu, pemegang sukuk mempunyai hak penuh (milkiyyah kamilah) atas nilai jual komersial atau keuntungan terhadap aset tersebut, dan jika terjadi kerugian pada underlying asset yang dialami oleh penerbit sukuk, pemegang sukuk harus bersedia untuk menanggung risiko kerugian tersebut. Hal ini berlAndaskan Sharia legal maxims yang mengatakan bahwa al-ghorm bi al-ghonm (tiada keuntungan tanpa risiko) dan al-kharaj bi al-dhaman (liabilitas yang menentukan keuntungan).
Namun dalam realitas operasi sukuk, tidak ada perpindahan aset yang riil dari penerbit sukuk kepada pemegang sukuk. Perpindahan aset hanyalah sebagai formalitas dalam kontrak sukuk sebagaimana dicantumkan dalam term sheet sukuk. Ada 3 indikator yang membuktikan tidak ada nya transfer kepemilikan aset dari issuer kepada pemegang sukuk, yaitu dilihat dari tipe aset, SPV dan referensi nilai underlying asset.
Pertama, tipe aset. Ada 2 tipe aset yang biasanya digunakan oleh issuer sebagai underlying asset, yaitu aset pemerintah, yangbiasanya untuk sovereign sukuk, dan aset swasta, yang biasanya untuk corporate sukuk. Aset pemerintah tidak bisa diperjualbelikan di pasar bebas sedangkan aset swasta bisa diperjualbelikan. Berdasarkan observasi Al-Jarhi dan Abozaid (2010), aset sukuk yang efektifnya tidak bisa diperjualbelikan, di klaim bisa diperjualbelikan pada kebanyakan kasus penerbitan sovereign sukuk. Observasi ini sungguh mempertanyakan keaslian transaksi penjualan aset pada penerbitan sukuk, terutama sovereign sukuk.
Kedua, soal SPV. Pada beberapa kasus penerbitan sukuk, independensi SPV sangat dipertanyakan, dikarenakan adanya perbedaan tipis antara penerbit sukuk dan SPV. Transaksi jual-beli underlying asset antara penerbit sukuk dan SPV adalah sebuah pretensi untuk memindahkan aset tersebut kepada pemegang sukuk. Independensi SPV sebagai agen (wakeel) pemegang sukuk sangatlah penting agar kontrak tersebut memenuhi nilai syariah.
Ketiga, terkait dengan referensi nilai underlying asset. Berdasarkan observasi yang juga dilakukan oleh Al-Jarhi and Abozaid (2010), nilai aset yang dijual dari hampir seluruh penerbitan sukuk tidak sesuai dengan harga pasar, melainkan lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar, yang disesuaikan dengan jumlah dana yang diinginkan oleh penerbit sukuk. Jika penerbitan sukuk benar-benar adanya transaksi jual-beli kepemilikan aset, pada saat eksekusi penjualan aset, nilai aset (boofc value) harus sesuai dengan harga pasar. Oleh karena itu, observasi ini menunjukkan bahwa sukuk yang diterbitkan tidak didukung oleh asset riil melainkan hanyalah sebagai alat untuk meminjam uang seperti surat obligasi lainnya.
Ketiga indikator tersebut membuktikan bahwa kontrak jual-beli dan sewa pada kontrak sukuk adalah samaran, bukan kontrak yang berbasis aset riil dikarenakan tidak adanya perpindahan aset. Akibat dari tidak adanya perpindahan aset tersebut, menurut Dusuki dan Moktar (2010). pada saat terjadi sukuk defaults, pemegang sukuk hanya mendapatkan sisa jumlah jaminan yang dijanjikan oleh penerbit sukuk, dan jika ada surplus dari nilai aset, pemegang sukuk tidak mendapatkan surplus dari aset sukuk tersebut.
Di samping itu, pemegang sukuk merujuk kepada penerbit sukuk melainkan kepada aset untuk mengklaim hak finansial mereka. Hal ini bisa disaksikan pada kasus gagal bayar sukuk Kuwait Investment House dan sukuk Nakheel. Pemegang sukuk merasa ketidakpastian dengan hak kepemilikan aset sukuk sehingga mereka menuntut penerbit sukuk untuk memberikan sejumlah uang dan keuntungan seperti yang dijanjikan pada awal kontrak, bukan menuntut aset merekayang bisa dicairkan sesuai dengan harga pasar pada saat itu. Oleh karena itu, transfer kepemilikan mutlak sangatlah penting dalam penerbitan sukuk karena inilah ciri khas yang membedakan sukuk dengan surat obligasi lainnya.
Proteksi capital Problem proteksi kapital ini muncul ke permukaan pada saat penerbit sukuk memberikan jaminan kepada pemegang sukuk pada awal kontrak. Idealnya, menurut stAndar syariah Accounting and Auditing Organisations for Islamic Financial Institutions (AAOQT), jaminan bisa dieksekusi pada awal kontrak jikalau penjamin memiliki kapasitas yang independen atau netral terhadap penerbit sukuk dengan tujuan yang baik dalam memberikan jaminan kepada penerbit sukuk. Namun dalam realitasnya, penjamin sukuk adalah penerbit sukuk juga, sehingga tidak ada kapasitas independen pada penjamin sukuk.
Menurut Al-Amine (2008), ada 2 pandangan syariah yang berbeda terhadap proteksi kapital dalam struktur sukuk sekarang ini. PAndangan yang pertama, proteksi kapital pada sukuk ijarah, musyarakah, dan mudharabah adalah riba. Terlebih lagi, seluruh mahzab syariah melarang proteksi kapital yang mana bertolak belakang dari esensi kontrak mudharabah, dan bahkan kontrak ijarah. PAndangan yang kedua, proteksi kapital dalam sukuk ijarah tidak ada masalah selama penjamin mempunyai kapasitas hukum dan finansial yang independen. Hal ini berdasarkan prinsip syariah “semua diperbolehkan kecuali ada pelarangan yang jelas”, dan tidak ada pelarangan untuk jaminan dari pihak ketiga.
Tetapi, pandangan yang kedua masih menentang jaminan samaran dalam struktur sukuk secara transaksi tersebut mengandung riba al-dayn karena pada akhir kontrak, sukuk ditebus dengan jumlah rental payment yang tersisa berupa jaminan, bukan berdasarkan nilai aset pada akhir kontrak. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya 100 persen proteksi kapital atau jaminan terhadap pemegang sukuk melalui jaminan samaran di dalam kontrak sukuk. Terlebihlagi, pemegang sukuk mendapatkan distribusi keuntungan yang dikalkulasikan berdasarkan suku bunga, bukan terhadap nilai pasar underlying asset sukuk. Oleh karena itu, kedua pAndangan tersebut pada dasarnya setuju bahwa proteksi kapital tersebut dapat menghasilkan riba, khusus nya riba al-day.n yang mana membuat kontrak tersebut void dalam pAndangan syariah.
Implikasi bagi Indonesia Pemerintah dan bank syariah harus berhati-hati dalam menerbitkan sukuk ritel, jangan sampai struktur dan tujuan kontraknya sama dengan surat obligasi konvensional. Dalam menstruktur sukuk ritel, sukuk harus ditopang dengan pengembangan sektor riil karena hak kepemilikan aset sangatlah penting untuk penerbitan sukuk yang memenuhi persyaratan syariah. Oleh karena itu, identifikasi proyek atau aset yang produktif, dan due diligence sangat diperlukan yang disesuaikan dengan tujuan dari pendanaan sukuk tersebut.
Sebagai contoh, jika tujuan dari pendanaan sukuk adalah untuk konstruksi bangunan, maka identifikasi lokasi dan prospek dari kontruksi bangunan tersebut diperlukan, sehingga full legal ownership bisa ditransfer kepada pemegang sukuk dengan menggunakan sukuk istisna atau ijarah. Konsekuensinya, pada awal kontrak pemegang sukuk tertarik dengan proyek atau aset untuk membeli sukuk tersebut, bukan tertarik dengan penerbit sukuk yang dinilai kelayakan kreditnya sehingga tidak ada proteksi kapital dari penerbit sukuk kepada pemegang sukuk, dan sukuk bisa dicairkan sesuai dengan nilai proyek atau aset jika terjadi sukuk defaults.
Di samping itu, sukuk disarankan untuk mempunyai nilai keuntungan berdasarkan cash flow dari proyek atau aset sukuk. Tentu saja ini membutuhkan diskusi lebih dalam diantara regulator, DSN MUI dan pelaku pasar. Jikalau sukuk yang distrukturisasi ini benar-benar menggunakan underlying asset produktif yang ditopang dengan pengembangan sektor riil di Indonesia, tentunya akan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia









BAB III
PENUTUP

Jika ditinjau dari kriteria screening yang diterapkan di masing-masing negara, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya ada persamaan walaupun terdapat sedikit perbedan dalam hal-hal teknis dan ration financial. Hal ini disebabkan pertimbangan yang digunakan masing-masing negara dalam merumuskan kriteria tersebut berangkat dari nilai yang sama secara universal yaitu Islam. Kelahiran indeks Islam di berbagai negara telah menambah jenis kriteria dalam pasar saham yang dapat menjadi pilihan bagi para investor. Ethical screening pada indeks Islam, baik di Dow Jones, JII, maupun saham perusahaan yang didaftar oleh Security Commission di Malaysia harus melalui tahapan kuantitatif (financial ration screening) setelah tahapan kualitatif (core bussines screening). Perpaduan antara kriteria kualitatif dan kuantitatif diharapkan bahwa saham-saham dalam indeks Islam di samping bersifat halal karena sesuai ajaran agama juga dapat diterima di pasar karena merupakan saham unggulan.
Memang sejauh ini indeks Islam diberbagai negara baru hanya menyentuh tentang perusahaan-perusahaan yang dianggap memenuhi kriteria-kriteria screening, baik secara kegiatan usaha maupun rasio finansial. Namun paling tidak hal tersebut dapat menjadi stimulus untuk mengeliatnya upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan, baik berkaitan dengan mekanisme transaksi, derivasi produk-produk investasi yang halal dan ekonomis serta hal-hal lainya. Tulisan sederhana ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk dapat mengenal lebih jauh saham dan pasar modal syariah dengan berbagai permasalahnnya. Setidaknya hal ini dapat menjadi stimulus untuk sebuah analisis yang lebih komprehensif dan eksploratif.











[1]M. Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2007), hal.10.
[2]Sumantoro, dalam Khaerul Umam, Pasar Modal Syariah dan Praktik Pasar Modal Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal.34.
[3] Munir Fuady, Pasar Modal Modern; Tinjauan Hukum Islam, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2001), hal. 10.
[4]Yulfasni, Hukum Pasar Modal, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005), hal. 1.
[5]Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin, Pasar Modal di Indonesia; Pendekatan Tanya Jawab, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 1.
[6] Susilo, dkk., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Salemba, 2000), hal.  189.
[7]Jusuf Anwar, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan Dan Investasi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal. 121.
[8]M. Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 291.
[9]Burhanuddin Susanto, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 131.
[10]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004),hal. 199.
[11]Burhanuddin Susanto, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, hal. 131-132.
[12] Ibid.
[13] 56Yani Mulyaningsih, Kriteria Investasi Syariah dalam Konteks Kekinian,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 95.
[14] Burhanuddin Susanto, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, hal. 13-132.
[15] Yani Mulyaningsih, Kriteria Investasi Syariah dalam Konteks Kekinian,hal.  96.
[16] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal. 188.
[17] Suad Husnan, Manajemen Keuangan; Teori dan Terapan, (Yogyakarta: BPFE, 1996), hal. 3.
[18]Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 194 -195.
[19]Yadi Nurhayadi, Pasar Modal Syariah: Landasan Hukum dan Kritik atas Kinerjanya, hal. 188.
[20]Sawidji Widoatmodjo, Cara Sehat Investasi di Pasar Modal, (Jakarta: Yayasan Mpu Ajar Artha, 2000), hal. 43.
[21]Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hal. 195
[22]Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang  Obligasi Syariah Mudharabah Konversi.
[23] M. Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, hal. 209.
[24] Burhanuddin Susanto, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, hal. 135-136.
[25]Junaedi, Transaksi Jual Beli Obligasi dan Saham di Pasar Modal Indonesia Ditinjau dari Segi Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hal. 52.
[26] Adrian Sutedi, Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), hal. 126.
[27] Ibid., hal. 140.
[28] Fatwa DSN-MUI No: 32/DSN-MUI/IX/2002tentang Obligasi Syariah
[29] Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin, Pasar Modal di Indonesia, hal. 147.
[30] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 165.
[31] Ibid., hal.  155.
[32] M. NasarudinIrsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, hal. 211-212.
[33] Burhanuddin Susanto, Pasar Modal Syariah, hal.  1.
[34] Adrian Sutedi, Segi-Segi Hukum Pasar Modal, hal. 57.
[35]Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 45.
[36] Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 78.
[37]Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 117.
[38]Bapepam-LK, Kajian Pasar Sekunder Efek Syariah Di Pasar Modal Indonesia, dalam http://bapepam.go.id/syariah/publikasi/riset/index.html, (21 Maret 2011)
[39] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 220.
[40]Bapepam-LK, Studi Tentang Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia, dalam http://bapepam.go.id/syariah/publikasi/riset/index.html, (21 Maret 2011)
[41]Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.  14.
[42] Bapepam-LK, Kajian Pasar Sekunder Efek Syariah Di Pasar Modal Indonesia, dalam http://bapepam.go.id/, (21 Maret 2011).
[43] Nurul Huda dan  Mohamad Heykal,  Lembaga  Keuangan  Islam, hal. 221.
[44] Syed Othman Alhabshi, “Development of Capital Market under Islamic Principles,” dalam http://vlib.unitarklj1.edu.my/staff-publications/datuk/CAPMART.pdf), diunduh pada tanggal 15 Oktober 2008.
[45] Aziz Budi Setiawan, “Perkembangan Pasar Modal Syariah,” dalam http://www.iei.or.id/ publicationfiles/Perkembangan Pasar Modal Syariah.pdf, diunduh pada tanggal 21
Februari 2009.
[46] Dalam pasal 3 Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 dijelaskan kriteria jenis kegiatan usaha perusahaan emiten yang bertentangan dengan prinsip syariah
[47] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 756.
[48] Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang, hal. 482 dan 756.
[49] Ibid., hal. 483.
[50] Adrian Sutedi, Segi-Segi Hukum Pasar Modal , hal.63.
[51] Sunariyah, Pengantar Pengetahuna Pasar Modal, hal .122.
[52] Erwin Alfred Koetin, Analisis Pasar Modal, hal .51.
[53] M Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, hal 17.
[54]Sabin, “Perbedaan Pasar Modal Syariah dengan Konvensional,” dalam http://sebelasduabelas.blogdetik.com, (28 Juni 2013)
[55] Ibid.
[56]M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2006), hal. 160-162.
[57]Lisa Sabin, Perbedaan Pasar Modal Syariah dengan Konvensional.
[58] M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, hal.  164-165.
[59] https://www.syariahmandiri.co.id/2011/01/meningkatkan-kesesuaian-syariah-sukuk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar