BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan sektor keuangan mengalami
pertumbuhan yang cukup signifikan. Di antara indikator perkembangan tersebut
adalah meningkatnya kebutuhan terhadap berbagai fasilitas instrumen-instrumen
keuangan (Financial Instruments) baik melalui perbankan maupun lembaga
keuangan non bank. Selain itu, pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah
telah menjadi alternatif bagi para investor dan pelaku ekonomi yang menuntut
institusi dan instrumen keuangan (Islamic Financial Institution) yang memenuhi
ketentuan syariah (Syariah Compliance). Salah satu lembaga keuangan yang
cukup strategis dalam lintas sistem keuangan hari ini adalah Pasar Modal yang
menawarkan berbagai instrumen investasi keuangan. Di samping
instrumen-instrumen keuangan konvensional, saat ini juga sudah ditawarkan
sejumlah instrumen keuangan pasar modal yang memenuhi ketentuan syariah (Islamic
Financial Instruments). Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemodal
yang ingin berinvestasi berdasarkan kepada prinsip-prinsip syariah tersebut.
Sejumlah bursa efek dunia telah menyusun indeks yang secara khusus terdiri dari
komponen saham-saham yang tergolong kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Perkembangan instrumen syariah pada pasar modal
di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997, diawali dengan lahirnya Reksa Dana
Syariah yang diprakarsai Dana Reksa, selanjutnya, PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ)
bersama dengan PT. Dana Reksa Invesment Management (DIM) meluncurkan Jakarta
Islamic Index (JII) yang mencakup sekitar 30 jenis saham dari emiten-emiten
yang kegiatan usahanya memenuhi ketentuan syariah. Penguatan pengaturan atas
produk, lembaga dan profesi terkait pasar modal syariah merupakan hal penting
yang menjadi landasan pengembangan pasar modal syariah. Kredibilitas industri
ini sangat bergantung dari implementasi kongkret atas pengembangan tersebut yang
mencakup antara lain program memperkuat kerangka hukum penerbitan dan transaksi
efek syariah, peran lembaga dan profesi penunjang pasar modal serta pelaku
pasar lainnya, relaksasi aturan, dan pemberian insentif. Peningkatan kepastian
hukum tersebut sejalan dengan tekad dan upaya untuk membangun sekaligus meningkatkan
kepercayaan pemodal terhadap industri pasar modal syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pasar Modal
Syariah
1. Pengertian
Sebagaimana pasar konvensional pada umumnya,
pasar modal adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli, karena definisi
pasar (market) merupakan sarana yang mempertemukan aktivitas pembeli dan
penjual untuk suatu komoditas atau jasa.[1]
Yang diperjualbelikan di pasar modal adalah modal atau dana. Jadi, pasar modal
mempertemukan penjual modal/dana dengan pembeli modal atau dana.[2]
Istilah dari pasar modal biasanya dipakai
sebagai terjemahan dari capital market, yang berarti suatu tempat atau
sistem bagaimana cara memenuhi kebutuhan dana dari suatu perusahaan.[3]
Berdasarkan kegiatannya, istilah pasar modal sendiri setara dengan istilah
bursa (bourse) efek dan ada pula yang menyetarakan dengan pasar saham (stock
market atau stock exchange).
Pasar modal juga disebut sebagai bursa efek,
yang dalam bahasa Inggris disebut securitas exchange atau stock
market. Istilah ini seperti tampak berbeda, namun pada intinya sama yaitu
merupakan tempat bertemunya penjual dana dan pembeli dana yang di pasar modal
atau bursa tersebut diperantarai oleh para anggota bursa selaku pedagang perantara
perdagangan efek untuk melakukaan transaksi jual beli.[4] Karena
pada dasarnya, pasar modal (capital market) merupakan pasar berbagai
instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk
utang atau modal.[5]
Dalam arti sempit, pasar modal merupakan tempat
dalam pengertian fisik yang teroganisasi dengan efek-efek yang diperdagangkan yang
disebut bursa efek (stock exchange) yaitu suatu sistem yang teroganisasi
yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung
maupun tidak langsung.[6]
Pada dasarnya secara umum pasar modal merupakan
jembatan yang menghubungkan antara pemilik dana dengan pengguna dana hingga dapat
dikatakan pada akhirnya pasar modal merupakan wahana investasi dan wahana
sumber dana bagi pengguna dana.[7]
Sehingga secara sederhana, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar yang memperjualbelikan
berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk utang
maupun modal sendiri yang diterbitkan oleh perusahaan swasta. Pasar modal (capital
market) mempertemukan pemilik dana (supplier of fund) dengan
pengguna dana (user of fund) dengan tujuan investasi jangka menengah (midle
term investment) dan investasi jangka panjang (longe term investment).
Kedua pihak melakukan jual beli modal yang berwujud efek. Pemilik dana menyerahkan
sejumlah dana dan penerima dana (perusahaan terbuka) menyerahkan bukti
kepemilikan berupa efek.[8]
Sementara itu, pasar modal yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah dapat disebut sebagai pasar
modal syariah.[9]
Pengertian ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Heri Sudarsono yang
mendifinisikan pasar modal syariah sebagai pasar modal yang instrumen-instrumen
di dalamnya berprinsipkan syariah.[10] Dengan
mengacu pada pengertian tersebut, dapat dimengerti bahwa terdapat perbedaan
antara kegiatan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional. Secara
umum perbedaan tersebut dapat dilihat pada landasan akad yang digunakan dalam
transaksi atau surat berharga yang diterbitkannya. Dalam pasar modal syariah,
apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga,
maka perusahaan yang bersangkutan sebelumnya harus memenuhi kriteria penerbitan
efek syariah.[11]
2. Dasar
Hukum dan Prinsip-Prinsip Pasar Modal Syariah
Prinsip syariah merupakan kesesuaian dengan
sistem syariah yang ada yang meliputi tidak diperkenankan bertransaksi barang
dan jasa yang diharamkan, ribaa, maysir dan garar. Oleh
karena itu, jika ada perusahaan atau bank umum yang membuat atau
mendistribusikan barang atau jasa yang haram, maka tidak termasuk dalam
(daftar) pasar modal syariah.[12] Prinsip-prinsip
Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi
syariah adalah:[13]
a. Tidak
mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara
mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram, sesuai
dengan firman Allah dalam QS. al-Nisa’: 29 dan QS. al-Baqarah: 168 berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. an-Nisa’:29)
“Hai
sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)
b. Tidak
menzalimi dan tidak dizalimi. Perbuatan z}alim dilarang karena
kez}aliman diibaratkan Nabi SAW. sebagai kegelapan hari kiamat.
Dari
Abdullah bin Umar bahwa Nabi saw. bersabda: “Kezaliman adalah
kegelapan-kegelapan hari kiamat.” (HR.
Imam Bukhari)
c. Keadilan
pendistribusian kemakmuran.
Jangan
sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. al-Hasyr: 7)
d. Transaksi
dilakukan atas dasar rida sama rida, sebagaimana firman Allah
dalam QS. al-Nisa’: 29 yang telah disebutkan di atas.
e. Tidak
ada unsur riba, maysir dan garar (ketidakjelasan).
“Orang-orang
yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit
gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan
riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang
telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Barang siapa yang mengulangi (mengambil riba, maka mereka itu penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. al-Baqarah:
275)
“Allah memusnahkan riba@ dan menyuburkan
sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan
bergelimang dosa.” (QS.
al-Baqarah: 276)
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya
minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung.” (QS.Al-Maidah: 90)
Dalam pasar modal syariah, apabila suatu
perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga, maka
perusahaan yang bersangkutan sebelumnya harus memenuhi kriteria penerbitan efek
syariah.[14]
Sehingga, dapat dipahami bahwa kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum
syariat yang berlaku. Adapun prinsip pasar modal syariah adalah:[15]
a. Instrumen
atau efek yang diperjualbelikan harus sejalan dengan prinsip syariah yang
terbebas dari unsur riba dan garar (ketidakpastian).
b. Emiten
yang mengeluarkan efek syariah baik berupa saham ataupun sukuk harus mentaati
semua aturan syariah.
c. Semua
efek harus berbasis pada harta atau transaksi riil, bukan mengharapkan
keuntungan dari kontrak utang piutang.
d. Semua
transaksi tidak mengandung garar atau spekulasi.
Untuk
mengetahui lebih jelas mengenai prinsip pasar modal syariah dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Penyebab Haramnya Transaksi
|
Implikasi di Pasar Modal
|
|
Li Zatihi
|
|
Efek
yang diperjualbelikan harus merupakan representasi dari barang dan jasa yang
halal
|
Li
Ghairihi
(karena
selain
dzatnya)
|
Tadlis
|
1.
Keterbukaan atau transparasi informasi
2.
Larangan terhadap informasi yang menyesatkan
|
Taqrῑr
|
Larangan
terhadap transaksi yang mengandung ketidakjelasan obyek transaksi, baik dari
sisi pembeli maupun sisi penjual
|
|
Ribā Faḍal
|
Larangan
atas pertukaran efek sejenis dengan nilai nominal yang berbeda
|
|
Ribā Nasi'ah
|
Larangan
atas perdagangan efek fiscal income yang bukan merupakan representasi ain
|
|
Ribā Jahiliyah
|
Larangan
atas short selling yang merupakan bunga atas pinjaman
|
|
Bai' Najsy
|
Larangan
melakukan rekayasa permintaan untuk mendapatkan keuntungan di atas laba
normal dengan cara
menciptakan
false demand
|
|
Ikhtikar
|
Larangan
melakukan rekayasa penawaran untuk
mendapatkan
keuntungan di atas laba normal dengan cara
mengurangi
supply agar harga jual naik
|
|
Tidak
ada
akad
|
Rukun dan Syarat
|
Larangan
atas semua investasi yang tidak dilakukan
secara
spot
|
Ta'alluq
|
Transaksi
yang settlementnya dikaitkan dengan transaksi
lainnya
(menjual saham dengan syarat)
|
|
2 in 1
|
Dua
transaksi dalam satu akad dengan syarat:
1.
Obyek sama
2.
Pelaku sama
3.
Periode sama
|
Prinsip-Prinsip Pasar Modal Syariah[16]
Perputaran modal pada kegiatan pasar modal
syariah tidak boleh disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Pembelian saham pabrik minuman keras,
pembangunan penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan
syariah berarti diharamkan. Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus
atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang
didzalimi atau mendzalimi. Tidak ada unsur riba, tidak bersifat
spekulatif atau judi dan semua transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider
trading.
3. Instrumen
Pasar Modal Syariah
Pasar modal adalah pasar untuk berbagi
instrumen keuangan atas sekuritas jangka panjang yang dapat diperjualbelikan,
baik dalam bentuk uang maupun modal, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public
authorities maupun perusahaan swasta.[17]
Instrumen yang diperdagangkan di pasar modal berbentuk surat-surat berharga
yang dapat diperjualbelikan kembali oleh pemiliknya, baik yang bersifat kepemilikan
atau bersifat hutang. Intrumen pasar modal yang bersifat kepemilikan diwujudkan
dalam bentuk saham, sedangkan yang bersifat hutang diwujudkan dalam obligasi.[18]
Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah
semua surat-surat berharga (efek) yang diperdagangkan di bursa, karena itu
bentuknya beraneka ragam. Instrumen yang boleh diperjualbelikan dalam pasar modal
syariah hanya apabila memenuhi kriteria syariah. Dan untuk memastikan bahwa
instrumen tersebut benar-benar sesuai dengan prinsip syariah, maka perlu
dilakukan konversi melalui proses screening terhadap kegiatan pasar
modal. Adapun yang menjadi instrumen pasar modal syariah adalah:
a. Saham
Syariah
Saham (stock atau share) dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan
atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan
terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas
adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi
kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan
tersebut
Saham dibedakan menjadi dua, yaitu saham biasa
dan saham preferen. Saham biasa (common stock) adalah sertifikat yang
menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan. Saham
biasa memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah:
1.
Pemilik saham biasa akan mendapatkan dividen
sepanjang perusahaan memperoleh laba.
2.
Dalam rapat umum pemegang saham, pemilik saham
biasa memiliki hak suara (satu saham satu suara )
3.
Disaat perusahaan dilikuidasi, maka pemilik saham biasa memiliki hak
terakhir (junior) dalam hal pembagian kekayaan perusahaan.
4.
Pemilik saham biasa memiliki tanggung jawab
terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya.
5.
Pemilik saham biasa memiliki hak terlebih
dahulu untuk memiliki saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan (preemtive
right).
Saham
preferen (prefered stock) merupakan satu jenis sekuritas ekuitas yang berbeda
dalam beberapa hal dengan saham biasa. Saham
preferen (prefered stock) memiliki beberapa karakteristik, seperti berikut ini
:
1.
Pemilik saham preferen mempunyai hak untuk
menerima terlebih dahulu dividen dibandingkan dengan pemegang saham biasa.
2.
Apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, maka
pemilik saham preferen memiliki hak pembayaran maksimum sebesar nilai nominal
saham lebih dahulu setelah kreditor.
3.
Pemegang saham preferen berkemungkinan dapat
memperoleh tambahan dari pembagian laba perusahaan disamping penghasilan yang
diterima secara tetap.
4.
Pemilik saham preferen memiliki hak memperoleh
pembagian kekayaan perusahaan di atas pemegang saham biasa stelah semua
kewajiban perusahaan dilunasi jika perusahaan dilikuidasi.
Saham merupakan instrumen penyertaan modal
seseorang atau lembaga dalam suatu perusahaan. Modal ini terbagi dalam tiga
tingkat status, yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.[19]
Secara sederhana, saham dapat didefinisikan
ebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan.
Saham merupakan surat berharga yang bersifat kepemilikan, artinya si pemilik
saham merupakan pemilik perusahaan.[20] Semakin
besar saham yang dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di
perusahaan tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan
deviden dan pembagiannya ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).[21]
Saham syariah adalah sertifikat yang
menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten
yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.[22]
Saham syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang
memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam.
Karakteristik tersebut adalah:
a.
Tidak ada transaksi yang berbasis bunga.
b.
Tidak ada transaksi yang meragukan.
c.
Saham harus dari perusahaan yang halal
aktivitas bisnisnya.
d.
Tidak ada transaksi yang tidak sesuai dengan
etika dan tidak bermoral seperti manipulasi pasar, insider trading, dan lain-lain.[23]
Pada dasarnya tidak terdapat pembedaan antara
saham yang syariah dengan yang non syariah. Namun saham sebagai bukti kepemilikan
suatu perusahaan, dapat dibedakan menurut kegiatan usaha dan tujuan pembelian
saham tersebut. Saham menjadi halal (sesuai syariah) jika saham tersebut
dikeluarkan oleh perusahaan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang yang
halal dan/atau dalam niat pembelian saham tersebut adalah untuk investasi,
bukan untuk spekulasi. Untuk lebih amannya, saham yang di-listing dalam Jakarta
Islamic Index (JII) merupakan saham-saham yang insya Allah sesuai
syariah. Dikatakan demikian, karena emiten yang terdaftar dalam Jakarta
Islamic Index akan selalu mengalami proses penyaringan (screening)
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.[24]
b. Obligasi
Syariah (Sukuk)
Instrumen pasar modal selain diwujudkan dalam
bentuk saham, juga dapat diwujudkan dalam bentuk obligasi. Menurut bahasa, obligasi
berasal dari bahasa Belanda yaitu obligate, kemudian dibakukan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi obligasi berarti ‘kontrak’.[25]
Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang
merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya
kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Obligasi pada umumnya
diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap di atas 10 (sepuluh) tahun.[26]
Pengertian obligasi di pasar modal syariah,
tidak identik dengan surat pengakuan utang sebagaimana dikenal di pasar modal
konvensional selama ini. Pengertian obligasi (sukuk) dalam pasar modal syariah memiliki
makna lebih luas, yaitu meliputi beberapa akad yang dapat digunakan.[27]
Dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal
dengan istilah sukuk. Kata sukuk bentuk jamak dari sukk merupakan
istilah Arab yang dapat diartikan sertifikat. Sukuk ini bukan merupakan istilah
yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad
pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional.
Pada praktiknya sukuk secara umum diidentikkan
sebagai ‘obligasi’ yang penerapannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut
Fatwa DSN-MUI No: 32/DSN-MUI/IX/2002, pengertian obligasi syariah adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee
serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan, bahwa obligasi syariah merupakan surat pengakuan kerjasama yang
memiliki ruang lingkup yang lebih beragam dibandingkan hanya sekedar surat pengakuan
utang. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai akad yang telah
digunakan. Seperti akad mudharabah, murabahah, salam, istisna’
dan ijarah.[28]
c. Reksa
Dana Syariah
Reksa dana berasal dari kosa kata ‘reksa’
yang berarti jaga atau pelihara dan ‘dana’ yang berarti uang, sehingga
reksa dana dapat diartikan sebagai kumpulan uang yang dipelihara bersama suatu kepentingan.[29]
Reksa dana di Inggris dikenal dengan sebutan unit
trust yang berarti unit kepercayaan dan di Amerika dikenal dengan sebutan mutual
fund yang berarti dana bersama dan di Jepang dikenal dengan sebutan investment
fund yang berarti pengelolaan dana untuk investasi berdasarkan kepercayaan.
Secara bahasa reksadana tersusun dari dua konsep, yaitu reksa yang berarti jaga
atau pelihara dan konsep dana yang berarti uang. Dengan demikian secara bahasa
reksadana berarti kumpulan uang dipelihara.[30]
Menurut Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001, reksa
dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip-prinsip
syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik (sahibu
al-mal/rabbu al-mal) dengan manajer investasi sebagai wakil sahibu al-mal,
maupun antara manajer investasi sebagai wakil sahibu al-mal dengan
pengguna investasi.[31]
Reksa dana syariah telah beroperasi di industri
reksa dana Indonesia. Reksa dana syariah merupakan reksa dana yang berbasiskan prinsip
syariah. Reksa dana menginvestasikan dana yang berhasil dihimpun ke dalam saham
(ekuitas) yang tentunya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, obligasi
syariah dan pasar uang (deposito mudarabah). Selain tidak boleh
melakukan transaksi yang bersifat spekulatif, harus bersih dari unsur nonhalal,
menerapkan prinsip kehati-hatian, Reksa dana syariah tidak boleh melakukan investasi
dengan tingkat nisbah utangnya lebih besar dari modalnya.
Seperti halnya reksa dana konvensional, reksa
dana syariah pun memiliki beberapa jenis, yaitu reksa dana syariah pendapatan
tetap, reksa dana syariah saham, dan reksa dana syariah campuran. Reksa dana syariah
pendapatan tetap menginvestasikan dananya ke dalam obligasi dan deposito
syariah. Reksa dana syariah saham menanamkan dananya di saham-saham syariah,
sedangkan reksa dana campuran menginvestasikan dananya pada saham, obligasi dan
deposito syariah. Reksa dana campuran ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil
investasi yang tinggi.[32]
B. Sejarah
Pasar Modal Syariah di Indonesia
Pasar modal telah menarik perhatian berbagai
kalangan, baik itu investor maupun pengusaha yang terlibat di dalamnya, akan
tetapi tentunya dengan segala konsekuensi material maupun spiritual yang tanpa disadari.[33]
Hal ini memunculkan pemikiran untuk penerapkan nilai-nilai keislaman
(prinsip-prinsip syariah) dalam pasar modal syariah. Namun demikian,
perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami masa surut selama kurun waktu
yang relatif lama pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa tersebut
negara-negara di Timur Tengah serta negara-negara Islam lain hampir semuanya
menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa. Dalam perkembangan selanjutnya,
dengan banyaknya negara Islam yang terbebas dari penjajahan dan semakin terdidiknya
generasi muda Islam, maka ajaran Islam mulai meraih masa kebangkitan kembali.
Sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim dari negara-negara Islam sudah
mulai melakukan pengkajian ulang atas penerapan sistem hukum Eropa ke dalam
industri keuangan dan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah Islam
dalam industri keuangannya, termasuk pasar modal.[34]
Pertama sekali lembaga keuangan yang concern
dalam mengoperasionalkan portofolio syariah di pasar modal adalah Amanah
Income Fund diluncurkan the North American Islamic Trust sebagai equity
fund pertama di dunia pada Juni 1986[35]
yang berpusat di Indiana, Amerika Serikat, hingga kemudian wacana membangun
pasar modal syariah disambut dengan antusias oleh para pakar ekonomi muslim di kawasan
Timur Tengah, Eropa dan Asia. Pasar modal syariah tidak hanya berkembang di
negara-negara yang mayoritas muslim, bahkan bursa efek dunia yaitu New York Stock
Exchange meluncurkan produk yang bernama Dow Jones Islamic Market Index (DJMI)
pada Februari 1999. Bahkan guna menjaga agar investasi aman dari hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip syariah, maka dibentuklah Dewan Pengawas Syariah
yang disebut Syariah Supervisory Board.[36]
Di Indonesia, perintisan pembentukan pasar
modal syariah dimulai sejak munculnya instrumen pasar modal yang menggunakan prinsip
syariah yang berbentuk reksa dana syariah dengan mulai diterbitkannya Reksa
dana Syariah oleh PT. Danareksa Investment Management pada tanggal 3 Juli 2000.
Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment
Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) pada tanggal 3 Juli
2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara
syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal di Bursa Efek
Indonesia telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berinvestasi
sesuai dengan prinsip syariah.[37]
Pada tanggal 18 April 2001, untuk pertama kali
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa
yang berkaitan langsung dengan pasar modal, yaitu Fatwa Nomor 20/DSNMUI/ IV/2001
tentang Pedoman Pelaksanan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.[38] Perkembangan
selanjutnya instrumen investasi syariah di pasar modal Indonesia terus
bertambah dengan kehadiran obligasi syariah PT. Indosat Tbk. pada awal
September 2002. Instrumen ini merupakan Obligasi Syariah pertama dan akad yang
digunakan adalah akad mudharabah.[39] Penerbitan
obligasi syariah oleh PT. Indosat Tbk. Untuk yang pertama kali di pasar modal
Indonesia ini sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas dengan tingkat imbal
hasil 16,75 %, suatu tingkat imbal hasil (return) yang cukup tinggi
dibanding rata-rata return obligasi dengan prinsip riba/konvensional.[40]
Pembentukan pasar modal syariah baru terlaksana
pada tanggal 14 Maret 2003 dengan dibuka secara resmi pasar modal syariah oleh Budiono
dan didampingi oleh Ketua Bapepam Herwidayatmo, Wakil dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Wakil dari Dewan Syariah Nasional (DSN) serta Direksi SRO,
Direksi Perusahaan Efek, pengurus organisasi pelaku dan asosiasi profesi di
pasar Indinonesia.[41] Pembentukan
tersebut dimulai dari MoU (Memorandum of Understanding) antara Bapepam
dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003. MoU menunjukkan adanya kesepahaman
antara Bapepam dan DSN-MUI untuk mengembangkan pasar modal berbasis syariah di Indonesia.[42]
Kemudian pada 2004, obligasi syariah terbit
untuk pertama kali dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah
Ijarah. Selanjutnya, pada 2006 muncul instrumen baru yaitu Reksa Dana Indeks di
mana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah indeks JII.[43]
Adapun Pemerintah Indonesia baru menerbitkan
sukuk dua kali, yakni pada Agustus 2008 dan Februari 2009. Dua seri sukuk
pemerintah yang terbit pada Agustus 2008 diserap pasar senilai Rp. 4,699
triliun dan masuk ke APBN 2008. Adapun pada penerbitan sukuk ritel Februari
2009 senilai Rp. 5,556 triliun, dan kemudian digunakan untuk membiayai defisit
APBN 2009. Bandingkan dengan Malaysia yang sukses menerbitkan sukuk pada denominasi
ringgit senilai 39,548 miliar US dollar antara tahun 2002 dan Oktober 2008.
Ini belum termasuk sukuk yang diterbitkan dalam denominasi dollar AS.
Penerbitan sukuk dalam mata uang ringgit di pasar domestik Malaysia telah
mendominasi seluruh penerbitan sukuk di dunia selama kurun waktu 2002 sampai
2005. Pada tahun 2007, sebanyak 76 persen dari obligasi yang diterbitkan
Pemerintah Malaysia adalah berbentuk sukuk.
C. Saham
dan Pasar Modal Syariah
Saham syariah dapat dikatakan sebagai saham
yang diperdagangkan di dalam pasar modal syariah. Pada dasarnya saham
syariah sama dengan saham dalam pasar modal konvensional. Hanya saja
bedanya saham yang diperdagangkan dalam pasar modal syariah harus datang
dari emiten yang memenuhi kriteria-kriteria syariah (Syariah Compliance).
Dengan demikian, kalau saham merupakan surat berharga yang
merepresentasikan penyertaan modal kedalam suatu perusahaan. Maka dalam
prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba,
memproduksi barang yang diharamkan seperti bir, dan lain-lain.
Ditinjau dari sisi syariah, pasar modal adalah
bagian dari aktivitas muamalah. Transaksi di dalam pasar modal
diperbolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. Syed Othman Alhabshi dalam
tulisannya yang berjudul Development of capital market under islamic principles
memberikan deskripsi analitis tentang eksistensi pasar modal yang sesuai syariah
serta secara optimal dapat berperan terhadap pertumbuhan dan ekspansi ekonomi. Analisisnya
menggunakan pendekatan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam aktivitas transaksi
di pasar modal dengan berorientasi kepada tujuan dari penerapan prinsipprinsip syariah
itu sendiri. Menurutnya, tujuan-tujuan syariah dalam kehidupan ekonomi tersebut
seperti terealisasinya distribusi pendapatan dan kekayaan, terciptanya keadilan
dan keseimbangan ekonomi baru akan terwujud dengan diaplikasikannya
prinsip-prinsip syariah dalam berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan syariah,
khususnya pasar modal sebagai lembaga keuangan (financial institustion).
Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah pelarangan riba (prohibition of
interest) sebagaimana tertuang dalam Q.S. al- Baqarah/2: 275-276 dan ayat
278-290.[44]
Prinsip pelarangan gharar (prohibition
of doubtful transaction). Syariah melarang transaksi yang di
dalamnya terdapat spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu
transaksi yang di dalamnya dimungkinkan terjadinya penipuan (khida’).
Termasuk dalam pengertian ini adalah melakukan penawaran palsu (najsy);
transaksi atas barang yang belum dimiliki (short selling/bai’u mâlaisa
bimamluk); menjual sesuatu yang belum jelas (bai’u al ma’dûm);
pembelian untuk penimbunan efek (ihtikar) dan menyebarluaskan informasi
yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan
transaksi yang dilarang (insider trading). Prinsip berikutnya
adalah pelarangan untuk bertransaksi terhadap makanan dan minuman yang halal (prohibition
of unlawful food ang drink), prinsip kesederhanaan (principle of
moderation), prinsip etika perilaku (principle of ethical behavior),
dan prinsip kepemilikan sempurna (principle of complete ownership).
Kesemua prinsip-prinsip ini akan menjadi
landasan bagi beroperasinya aktifitas ekonomi dan keuangan, khusunya di pasar
modal. Dengan adanya berbagai ketentuan dan pandangan syariah seperti di atas,
maka investasi tidak dapat dilakukan terhadap semua produk pasar modal karena
di antara produk pasar modal itu banyak yang bertentangan dengan syariah. Oleh
karena itu investasi di pasar modal harus dilakukan dengan selektif dan dengan
hati-hati (ihtiyat) supaya tidak masuk kepada produk non halal. Sehingga
hal inilah yang mendorong terjadinya islamisasi pasar modal.
Selanjutnya Aziz Budi Setiawan menjelaskan
bahwa bentuk ideal dari pasar modal syariah dapat dicapai dengan islamisasi
empat pilar pasar modal, yaitu; (a) emiten (perusahaan) dan efek yang
diterbitkannya didorong untuk memenuhi kaidah syariah, keadilan, kehati-hatian
dan transparansi; (b) pelaku pasar (investor) harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ketentuan ketentuan muamalah, manfaat dan resiko transaksi di
pasar modal; (c) infrastruktur informasi bursa efek yang jujur, transparan dan
tepat waktu yang merata di publik yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar;
(d) pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat
diselenggarakan secara adil, efisien, efektif dan ekonomis.[45]
Selain itu prinsip-prinsip syariah juga akan
memberikan penekanan pada: (a) kehalalan produk/jasa dari kegiatan usaha,
karena menurut prinsip syariah manusia hanya boleh memperoleh keuntungan atau
penambahan harta dari hal-hal yang halal dan baik; (b) adanya kegiatan usaha
yang spesifik dengan manfaat yang jelas, sehingga tidak ada keraguan akan hasil
usaha yang akan menjadi obyek dalam perhitungan keuntungan yang diperoleh; (c)
adanya mekanisme bagi hasil yang adil, baik dalam untung maupun rugi, menurut
penyertaan masing-masing pihak; dan (d) penekanan pada mekanisme pasar yang
wajar dan prinsip kehati-hatian baik pada emiten maupun investor.
Keberadaan saham dan pasar modal syariah saat
ini menjadi hal yang sangat mutlak karena mempunyai peran dan fungsi ekonomi
dan keuangan yang sangat strategis. Metwali, sebagaimana yang dikutip oleh
Agustianto menjelaskan tujuan strategis dari pasar modal syariah, yaitu:
Pertama, memungkinkan bagi masyarakat berpartispasi dalam kegiatan bisnis
dengan memperoleh bagian dari keuntungan dan resikonya. Kedua, memungkinkan
para pemegang saham menjual sahamnya guna mendapatkan likuiditas. Ketiga, memungkinkan
perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun dan mengembangkan lini
produksinya. Keempat, memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka
pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional,
dan Kelima, memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja
kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.
D. Perkembangan
Saham dan Pasar Modal Syariah di Indonesia
Konteks Indonesia, yang dimaksud dengan
saham-saham syariah adalah saham yang ditawarkan kepada investor oleh
perusahaan-perusahaan yang memenuhi ketentuan syariah (syariah compliance) dan
diatur sesuai fatwa Dewan Syariah Nasional MUI melalui Fatwa DSN No.
40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip
Syariah di Bidang Pasar Modal, pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa: Saham
syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana
tercantum dalam pasal 3,[46]
dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.[47]
Sebagaimana umumnya, di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara
syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non syariah, melainkan
berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip syariah.
Agar dapat masuk ke dalam Jakarta Islamic
Indexs (JII) tentunya harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan standar
penyaringan yang dikenal dengan istilah Screening. Screening pada
dasarnya dilakukan pada dua aspek, yaitu: Core Business Screening dan
Financial Ratio Screening. Kedua aspek screening ini telah diatur
oleh Fatwa DSN MUI. Core Business Screening atau penyaringan kegiatan
bisnis diatur dalam Fatwa DSN No. 20/ DSN-MUI/IV/2001, Pasal 8 tentang
Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah dan Fatwa DSN MUI
No. 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 4 ayat 3 tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Di dalam kedua fatwa ini dijelaskan bahwa core
business atau kegitan usaha yang dilakukan oleh perusahaan emiten
tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah seperti di antarnya;
pertama, usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
dilarang; kedua, usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk
perbankan dan asuransi konvensional; ketiga, usaha yang memproduksi,
mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; dan
keempat, usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan
barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.[48]
Sedangkan Financial Ratio Screening atau
Penyaringan Ratio keuangan diatur dalam Fatwa DSN MUI No.
20/DSN-MUI/IV/2001, Pasal 10 yang menyebutkan bahwa suatu emiten tidak
layak untuk diinvestasikan apabila; pertama, struktur hutang terhadap modal
sangat bergantung kepada pembiayaan dari hutang yang pada intinya merupakan pembiayaan
yang mengandung unsur riba; kedua, suatu emiten memiliki nisbah hutang terhadap
modal lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55 %).[49]
Jika dilihat dari sejarahnya di Indonesia,
pasar modal syariah merupakan pasar yang baru berkembang dan baru dikenal
oleh masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan pasar modal
konvensional yang selama ini ada. Namun demikian, dengan adanya kebijakan
dari otoritas bursa untuk meningkatkan peran serta berbagai pihak dalam memajukan
pasar modal syariah maka prospek ke depannya pasar modal syariah Indonesia sangat
terbuka lebar untuk menjadi salah satu pilihan investasi dunia paling baik. Fathurrahman
Djamil menjelaskan bahwa pasar modal syariah secara resmi diluncurkan di
Indonesia pada tanggal 14 Maret 2003 bersamaan dengan penandatanganan MOU
antara BAPEPAM-LK dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Walau pun diluncurkan sejak tahun 2003, namun instrumen pasar modal syariah
telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran
Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa Investment
Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT.
Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII)
pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang
ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks
tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan
sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah. Tujuan diadakannya indeks
Islam, sebagaimana Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham terpilih, adalah
sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja investasi saham
yang berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan para investor untuk
mengembangkan investasi dalam equity secara syariah, atau untuk
memberikan kesempatan kepada investor yang ingin melakukan investasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Berkaitan dengan keberadaan Bursa Efek
Syariah serta saham syariah, hingga saat ini terdapat 6 (enam) Fatwa
DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal. Fatwa-fatwa tersebut
antara lain: fatwa No. 05 Tahun 2000 tentang Jual Beli Saham; No. 20
Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah; No.
32 Tahun 2002 tentang Obligasi Syariah, No. 33 Tahun 2002 tentang Obligasi
Syariah Mudharabah; No. 40 Tahun 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, dan No. 41 Tahun
2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Hal ini menjadi gambaran bahwa
pasar modal syariah di Indonesia memiliki prospek positif di masa
mendatang.
E. Perbedaan
Pasar Modal Syariah dan Pasar Modal Konvensional
Perbedaan mendasar antara pasar modal
konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat pada instrumen dan
mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syariah dengan nilai
indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus
memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Secara umum, konsep pasar modal syariah
disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang
bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur
ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik
spekulasi.[50]
Perbedaan-perbedaan antara keduanya dapat diketahui sebagaimana berikut:
a. Indeks
Harga Saham
Bentuk informasi yang dipandang tepat untuk
menggambarkan pergerakan harga saham dimasa lalu adalah indeks harga saham yang
memberikan deskripsi harga-harga saham pada suatu saat tertentu maupun periode
tertentu pula.
Indeks harga saham adalah catatan terhadap
perubahanperubahan maupun pergerakan harga saham sejak mulai pertama kali beredar
sampai pada suatu saat tertentu.[51] Indeks
harga saham adalah suatu angka yang secara sederhana menggambarkan rata-rata
turun atau naiknya harga pasar saham pada suatu saat tertentu.[52]
Indeks saham syariah di Indonesia pertama
sekali diluncurkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerjasama dengan PT.
Danareksa Invesment Management (DIM) dengan nama Jakarta Islamic Index (JII).
Adapun tujuan diadakannya indeks syariah sebagaimana dalam Jakarta Islamic
Index yang melibatkan 30 saham terpilih, yaitu sebagai tolak ukur (benchmark)
untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham yang berbasis syariah dan
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan para investor untuk mengembangkan
investasi dalam ekuitas secara syariah.[53] Indeks
syariah selanjutnya yang baru saja diluncurkan Mei 2011 adalah Indeks Saham
Syariah Indonesia/Indonesia Sharia Stock Index (ISSI).
Adapun tujuan diadakannya indeks Islam
sebagaimana Jakarta Islamic Index yang melibatkan 30 saham
terpilih, yaitu sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja
investasi pada saham yang berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan para
investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah, atau untuk memberikan
kesempatan kepada investor yang ingin melakukan investasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.[54]
Perbedaan mendasar antara indeks konvensional
dengan indeks islam adalah indeks konvensional memasukkan seluruh saham yang tercatat
di bursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten yang
terdaftar (listing) sudah sesuai aturan yang berlaku (legal). Akibatnya
bukanlah suatu persoalan jika ada emiten yang menjual sahamnya di bursa
bergerak di sektor usaha yang bertentangan dengan Islam atau yang memiliki
sifat merusak kehidupan masyarakat. Misalnya pada awal tahun 2003 yang lalu, di
Australia ada rumah bordir (pelacuran) yang masuk ke bursa efek setempat.[55]
Indeks konvensional memasukkan seluruh saham
yang tercatat dibursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten
yang terdaftar sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sedangkan indeks islam
merupakan indeks yang berdasarkan syari’at islam, saham-saham yang masuk dalam
indeks syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan
syariah.[56]
b. Instrumen
yang Diperdagangkan
Dalam pasar modal konvensional instrumen yang diperdagangkan
adalah surat-surat berharga (securities) seperti saham, obligasi, dan
instrumen turunannya (derivatif) opsi, right, waran, dan reksa dana.
Dalam pasar modal syariah, instrumen yang diperdagangkan adalah saham, obligasi
syariah dan reksa dana syariah, sedangkan opsi, waran dan right tidak termasuk
instrumen yang dibolehkan.[57]
c. Mekanisme Transaksi
Secara umum dijelaskan bahwa dalam konteks
pasar modal syariah menurut Al-Habshi ialah idealnya tidak mengandung unsur ribawi,
transaksi, pasar modal syariah harus beretika, jauh dari sifat amoral seperti
manipulasi pasar, transaksi yang memanfaatkan orang dalam.[58]
F. Kritik terhadap sukuk[59]
Berdasarkan kritik Sheikh Taqi,
paling tidak ada dua aspek yang sangat penting untuk diperhatikan oleh
stakeholders industri keuangan syariah. Yaitu, hak kepemilikan aset (asset
ownership) dan proteksi kapital (capital guarantee) dalam purchase undertaking.
Oleh karena itu, artikel ini membahas kedua aspek utama tersebut dan melihat
implikasinya bagi pengembangan sukuk di Indonesia agar Indonesia tetap menjaga
aun-tensitas nya sebagai negara yang menjaga keutuhan nilai-nilai syariah dalam
memajukan keuangan syariah di dunia.
Kepemilikan asset Dalam
perspektif syariah, sukuk essen-sinya merupakan representasi hak kepemilikan
aset sepenuhnya (legal ownership) yang ditransfer oleh penerbit sukuk (issuer)
kepada pemegang sukuk melalui intermediasi yang dinamakan Special Purpose
Vehicle (SPV). Oleh karena itu, pemegang sukuk mempunyai hak penuh (milkiyyah
kamilah) atas nilai jual komersial atau keuntungan terhadap aset tersebut, dan
jika terjadi kerugian pada underlying asset yang dialami oleh penerbit sukuk,
pemegang sukuk harus bersedia untuk menanggung risiko kerugian tersebut. Hal
ini berlAndaskan Sharia legal maxims yang mengatakan bahwa al-ghorm bi al-ghonm
(tiada keuntungan tanpa risiko) dan al-kharaj bi al-dhaman (liabilitas yang
menentukan keuntungan).
Namun dalam realitas operasi
sukuk, tidak ada perpindahan aset yang riil dari penerbit sukuk kepada pemegang
sukuk. Perpindahan aset hanyalah sebagai formalitas dalam kontrak sukuk
sebagaimana dicantumkan dalam term sheet sukuk. Ada 3 indikator yang
membuktikan tidak ada nya transfer kepemilikan aset dari issuer kepada pemegang
sukuk, yaitu dilihat dari tipe aset, SPV dan referensi nilai underlying asset.
Pertama, tipe aset. Ada 2 tipe
aset yang biasanya digunakan oleh issuer sebagai underlying asset, yaitu aset
pemerintah, yangbiasanya untuk sovereign sukuk, dan aset swasta, yang biasanya
untuk corporate sukuk. Aset pemerintah tidak bisa diperjualbelikan di pasar
bebas sedangkan aset swasta bisa diperjualbelikan. Berdasarkan observasi
Al-Jarhi dan Abozaid (2010), aset sukuk yang efektifnya tidak bisa
diperjualbelikan, di klaim bisa diperjualbelikan pada kebanyakan kasus
penerbitan sovereign sukuk. Observasi ini sungguh mempertanyakan keaslian
transaksi penjualan aset pada penerbitan sukuk, terutama sovereign sukuk.
Kedua, soal SPV. Pada beberapa
kasus penerbitan sukuk, independensi SPV sangat dipertanyakan, dikarenakan
adanya perbedaan tipis antara penerbit sukuk dan SPV. Transaksi jual-beli
underlying asset antara penerbit sukuk dan SPV adalah sebuah pretensi untuk
memindahkan aset tersebut kepada pemegang sukuk. Independensi SPV sebagai agen
(wakeel) pemegang sukuk sangatlah penting agar kontrak tersebut memenuhi nilai
syariah.
Ketiga, terkait dengan referensi
nilai underlying asset. Berdasarkan observasi yang juga dilakukan oleh Al-Jarhi
and Abozaid (2010), nilai aset yang dijual dari hampir seluruh penerbitan sukuk
tidak sesuai dengan harga pasar, melainkan lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga pasar, yang disesuaikan dengan jumlah dana yang diinginkan oleh penerbit
sukuk. Jika penerbitan sukuk benar-benar adanya transaksi jual-beli kepemilikan
aset, pada saat eksekusi penjualan aset, nilai aset (boofc value) harus sesuai
dengan harga pasar. Oleh karena itu, observasi ini menunjukkan bahwa sukuk yang
diterbitkan tidak didukung oleh asset riil melainkan hanyalah sebagai alat
untuk meminjam uang seperti surat obligasi lainnya.
Ketiga indikator tersebut
membuktikan bahwa kontrak jual-beli dan sewa pada kontrak sukuk adalah samaran,
bukan kontrak yang berbasis aset riil dikarenakan tidak adanya perpindahan
aset. Akibat dari tidak adanya perpindahan aset tersebut, menurut Dusuki dan
Moktar (2010). pada saat terjadi sukuk defaults, pemegang sukuk hanya mendapatkan
sisa jumlah jaminan yang dijanjikan oleh penerbit sukuk, dan jika ada surplus
dari nilai aset, pemegang sukuk tidak mendapatkan surplus dari aset sukuk
tersebut.
Di samping itu, pemegang sukuk
merujuk kepada penerbit sukuk melainkan kepada aset untuk mengklaim hak
finansial mereka. Hal ini bisa disaksikan pada kasus gagal bayar sukuk Kuwait
Investment House dan sukuk Nakheel. Pemegang sukuk merasa ketidakpastian dengan
hak kepemilikan aset sukuk sehingga mereka menuntut penerbit sukuk untuk
memberikan sejumlah uang dan keuntungan seperti yang dijanjikan pada awal
kontrak, bukan menuntut aset merekayang bisa dicairkan sesuai dengan harga
pasar pada saat itu. Oleh karena itu, transfer kepemilikan mutlak sangatlah
penting dalam penerbitan sukuk karena inilah ciri khas yang membedakan sukuk
dengan surat obligasi lainnya.
Proteksi capital Problem proteksi
kapital ini muncul ke permukaan pada saat penerbit sukuk memberikan jaminan
kepada pemegang sukuk pada awal kontrak. Idealnya, menurut stAndar syariah
Accounting and Auditing Organisations for Islamic Financial Institutions
(AAOQT), jaminan bisa dieksekusi pada awal kontrak jikalau penjamin memiliki
kapasitas yang independen atau netral terhadap penerbit sukuk dengan tujuan
yang baik dalam memberikan jaminan kepada penerbit sukuk. Namun dalam
realitasnya, penjamin sukuk adalah penerbit sukuk juga, sehingga tidak ada
kapasitas independen pada penjamin sukuk.
Menurut Al-Amine (2008), ada 2
pandangan syariah yang berbeda terhadap proteksi kapital dalam struktur sukuk
sekarang ini. PAndangan yang pertama, proteksi kapital pada sukuk ijarah,
musyarakah, dan mudharabah adalah riba. Terlebih lagi, seluruh mahzab syariah
melarang proteksi kapital yang mana bertolak belakang dari esensi kontrak
mudharabah, dan bahkan kontrak ijarah. PAndangan yang kedua, proteksi kapital
dalam sukuk ijarah tidak ada masalah selama penjamin mempunyai kapasitas hukum
dan finansial yang independen. Hal ini berdasarkan prinsip syariah “semua
diperbolehkan kecuali ada pelarangan yang jelas”, dan tidak ada pelarangan
untuk jaminan dari pihak ketiga.
Tetapi, pandangan yang kedua
masih menentang jaminan samaran dalam struktur sukuk secara transaksi tersebut
mengandung riba al-dayn karena pada akhir kontrak, sukuk ditebus dengan jumlah
rental payment yang tersisa berupa jaminan, bukan berdasarkan nilai aset pada
akhir kontrak. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya 100 persen proteksi kapital
atau jaminan terhadap pemegang sukuk melalui jaminan samaran di dalam kontrak
sukuk. Terlebihlagi, pemegang sukuk mendapatkan distribusi keuntungan yang
dikalkulasikan berdasarkan suku bunga, bukan terhadap nilai pasar underlying
asset sukuk. Oleh karena itu, kedua pAndangan tersebut pada dasarnya setuju
bahwa proteksi kapital tersebut dapat menghasilkan riba, khusus nya riba
al-day.n yang mana membuat kontrak tersebut void dalam pAndangan syariah.
Implikasi bagi Indonesia Pemerintah
dan bank syariah harus berhati-hati dalam menerbitkan sukuk ritel, jangan
sampai struktur dan tujuan kontraknya sama dengan surat obligasi konvensional.
Dalam menstruktur sukuk ritel, sukuk harus ditopang dengan pengembangan sektor
riil karena hak kepemilikan aset sangatlah penting untuk penerbitan sukuk yang
memenuhi persyaratan syariah. Oleh karena itu, identifikasi proyek atau aset
yang produktif, dan due diligence sangat diperlukan yang disesuaikan dengan
tujuan dari pendanaan sukuk tersebut.
Sebagai contoh, jika tujuan dari
pendanaan sukuk adalah untuk konstruksi bangunan, maka identifikasi lokasi dan
prospek dari kontruksi bangunan tersebut diperlukan, sehingga full legal
ownership bisa ditransfer kepada pemegang sukuk dengan menggunakan sukuk
istisna atau ijarah. Konsekuensinya, pada awal kontrak pemegang sukuk tertarik
dengan proyek atau aset untuk membeli sukuk tersebut, bukan tertarik dengan
penerbit sukuk yang dinilai kelayakan kreditnya sehingga tidak ada proteksi
kapital dari penerbit sukuk kepada pemegang sukuk, dan sukuk bisa dicairkan
sesuai dengan nilai proyek atau aset jika terjadi sukuk defaults.
Di samping itu, sukuk disarankan
untuk mempunyai nilai keuntungan berdasarkan cash flow dari proyek atau aset
sukuk. Tentu saja ini membutuhkan diskusi lebih dalam diantara regulator, DSN
MUI dan pelaku pasar. Jikalau sukuk yang distrukturisasi ini benar-benar
menggunakan underlying asset produktif yang ditopang dengan pengembangan sektor
riil di Indonesia, tentunya akan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia
BAB III
PENUTUP
Jika ditinjau dari kriteria screening yang
diterapkan di masing-masing negara, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya ada
persamaan walaupun terdapat sedikit perbedan dalam hal-hal teknis dan ration
financial. Hal ini disebabkan pertimbangan yang digunakan masing-masing
negara dalam merumuskan kriteria tersebut berangkat dari nilai yang sama secara
universal yaitu Islam. Kelahiran indeks Islam di berbagai negara telah menambah
jenis kriteria dalam pasar saham yang dapat menjadi pilihan bagi para investor.
Ethical screening pada indeks Islam, baik di Dow Jones, JII,
maupun saham perusahaan yang didaftar oleh Security Commission di
Malaysia harus melalui tahapan kuantitatif (financial ration
screening) setelah tahapan kualitatif (core bussines screening).
Perpaduan antara kriteria kualitatif dan kuantitatif diharapkan bahwa
saham-saham dalam indeks Islam di samping bersifat halal karena sesuai ajaran
agama juga dapat diterima di pasar karena merupakan saham unggulan.
Memang sejauh ini indeks Islam diberbagai
negara baru hanya menyentuh tentang perusahaan-perusahaan yang dianggap
memenuhi kriteria-kriteria screening, baik secara kegiatan usaha maupun
rasio finansial. Namun paling tidak hal tersebut dapat menjadi stimulus untuk
mengeliatnya upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan, baik berkaitan dengan mekanisme
transaksi, derivasi produk-produk investasi yang halal dan ekonomis serta hal-hal
lainya. Tulisan sederhana ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif
untuk dapat mengenal lebih jauh saham dan pasar modal syariah dengan berbagai
permasalahnnya. Setidaknya hal ini dapat menjadi stimulus untuk sebuah analisis
yang lebih komprehensif dan eksploratif.
[1]M. Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2007), hal.10.
[2]Sumantoro, dalam Khaerul Umam, Pasar Modal Syariah dan Praktik Pasar Modal
Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal.34.
[3] Munir
Fuady, Pasar Modal Modern;
Tinjauan Hukum Islam, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bhakti, 2001), hal. 10.
[5]Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin, Pasar Modal di Indonesia;
Pendekatan Tanya Jawab, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 1.
[7]Jusuf Anwar, Pasar
Modal Sebagai Sarana Pembiayaan Dan Investasi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.
121.
[8]M. Nasarudin Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal
Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,
2006), hal. 291.
[9]Burhanuddin Susanto, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal.
131.
[10]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan
Ilustrasi,
(Yogyakarta:
Ekonisia, 2004),hal.
199.
[12] Ibid.
(Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2008), 95.
[18]Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 194 -195.
[20]Sawidji Widoatmodjo, Cara Sehat Investasi di Pasar Modal, (Jakarta: Yayasan Mpu
Ajar Artha, 2000), hal. 43.
[22]Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 59/DSN-MUI/V/2007
tentang Obligasi Syariah
Mudharabah Konversi.
[25]Junaedi, Transaksi
Jual Beli Obligasi dan Saham di Pasar Modal Indonesia Ditinjau
dari Segi Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hal. 52.
[35]Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), hal. 45.
[36] Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam
Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 78.
[38]Bapepam-LK, “Kajian Pasar Sekunder Efek Syariah Di Pasar Modal
Indonesia,”
dalam http://bapepam.go.id/syariah/publikasi/riset/index.html, (21 Maret 2011)
[39] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam,
Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 220.
[40]Bapepam-LK, “Studi Tentang Investasi Syariah di Pasar Modal
Indonesia,” dalam http://bapepam.go.id/syariah/publikasi/riset/index.html, (21 Maret 2011)
[41]Abdul Manan, Aspek
Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 14.
[42] Bapepam-LK, “Kajian Pasar Sekunder Efek Syariah Di Pasar Modal
Indonesia, dalam
http://bapepam.go.id/, (21 Maret 2011).
[44] Syed Othman Alhabshi, “Development of Capital
Market under Islamic Principles,” dalam
http://vlib.unitarklj1.edu.my/staff-publications/datuk/CAPMART.pdf), diunduh
pada tanggal 15 Oktober 2008.
[45] Aziz Budi Setiawan, “Perkembangan Pasar Modal
Syariah,” dalam http://www.iei.or.id/ publicationfiles/Perkembangan Pasar Modal
Syariah.pdf, diunduh pada tanggal 21
Februari
2009.
[46] Dalam pasal 3 Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003
dijelaskan kriteria jenis kegiatan usaha perusahaan emiten yang bertentangan
dengan prinsip syariah
[47] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang
Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 756.
[48] Kamil
dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang, hal. 482 dan 756.
[50] Adrian
Sutedi, Segi-Segi Hukum Pasar Modal , hal.63.
[51]
Sunariyah, Pengantar Pengetahuna Pasar Modal, hal .122.
[52] Erwin
Alfred Koetin, Analisis Pasar Modal, hal .51.
[54]Sabin, “Perbedaan Pasar Modal Syariah dengan Konvensional,” dalam http://sebelasduabelas.blogdetik.com,
(28 Juni 2013)
[56]M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2006), hal.
160-162.
[59] https://www.syariahmandiri.co.id/2011/01/meningkatkan-kesesuaian-syariah-sukuk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar