BAB I
PENDAHULUAN
Awal
abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara luas dikenal sebagai permulaan zaman
kebangkitan Islam kembali. Sebagian yang bertanggung jawab untuk kebangkitan
ini, yaitu Jamal Al- Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Rida, Muhammad
Iqbal, Hassan Al-Banna, Sayyid Qutub, dan Abdul Mawududi. Pemikiran mereka
menjadi daya dorong untuk orang Islam dalam menerapkan Islam yang mengajar
dalam semua aspek mencakup politik, sosial, dan ekonomi.
Sebagai
dampak positif dari pemikiran para tokoh Islam tersebut, dalam ilmu ekonomi
khususnya, disesuaikan kembali dengan prinsip-prinsip Islami. Hal ini dapat
disebut sebagai islamisasi ilmu ekonomi yang konvensional (konsep yang
memperbolehkan riba). Tantangan untuk memperluas prinsip Islam yang tertuang
dalam ekonomi terus dihadapi oleh tokoh-tokoh Islam yang ingin menerapkannya di
dunia perbankan. Namun, perkembangannya semakin signifikan, karena ternyata
perbankan syariah tidak hanya sekadar alternatif, namun sebuah solusi untuk
menghadapi krisis keuangan dunia.
Perkembangannya
di negara-negara lain dimulai sejak tahun 1974. Berawal dari Islamic
Development Bank, kemudian diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam di Timur
Tengah seperti The Islamic Bank of Faisal di Mesir pada tahun 1977, The Islamic
of Faisal di Jordania, dan Islamic Investment Company Ltd. di Uni Emirat Arab
pada tahun 1977 dan diikuti negera-negara lainnya.
Pada
makalah yang sederhana ini, akan dibahas mengenai munculnya perbankan Islam di
berbagai negara, pendirian bank-bank syariah, serta perkembangan perbankan
syariah di dunia.
BAB II
PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
A.
Sitem
ekonomi arab pra islam
Pada masa pra islam yang disebut masa jahiliyah sudah melakukan
transaksi berbau riba. Ath- Thabari mengatakan: “pada masa jahiliyah, praktik
riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun. Misalnya
seorang berhutang, ketika sudahjatuh tempo, datanglah pemberi hutang untuk
menagihnya seraya berkata, engkau akan memberikan hutangmu ataukaah akan
memberi tambahan (bunga) nya saja kepadaku ? jika ia memiliki sesuatu yang
dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya. Jika tidak, maka ia akan
menyempurnakannya hingga satu tahun kedepan. Jika hutangnya berupa berumur satu
tahun, maka pembayarannya menjadi anak untu yang berumur dua tahun pada tahun
kedua, kemudian ia akan menjadikannya anak untu yang berumuran tiga tahun,
kemudian menjadikannya unta dewasa. Selanjutnya kelipatan empat keatas. Juga
dalam hutang emas maupun hutang uang, berlaku riba.[1]
Perekonomian yang berkembang pada masa pra islam di tanah arab
adalah pertanian dan perdagangan. Di samping itu perdagangan adalah unsur
penting dalam perekonomian masyarakat arab pra islam. Mereka telah lama
mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama arab, tetapi juga dengan non
arab. Kemajuan bangsa arab pra islam dimungkinkan antara lain Karena pertanian
yang telah maju. Kemudian dengan adanya ekpor impor yang mereka lakukan. Para
pedagang arab selatan dan yaman pada 200 tahun menjelang islam dating, telah
mengadakan transaksi dengan india (asia selatan), negeri pantai afrika,
sejumlah negeri teluk Persia, asia tengah dan sekitarnya.[2]
Sebagai pelaku ekspor inpor, jazirah arab memiliki pusat kota
tempat bertransaksi yaitu kota mekkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang
setiap tahunnya dikunjungi, teritama karena di situ lah terdapat bagunan suci
ka,bah. Selain itu di uka terdapat pasar sebagai tempat transaksi dari berbagai
belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan keudayaan. Kerena itu kota
tersebut menjadi pusat peradaban baik politik, ekonomi, dan budaya yang penting
Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasonal, yaitu
menghubungkan Makkah ke abysinia seterusnya menuju ke afrika tengah. Makkah ke
damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah ke al-machin (Persia) ke
Kabul, Kashmir, singking (sanjian) sampai ke zaitun dan canton, selanjutnya
menembus daerah melayu. Selain itu juga darimakkah kea den melalui laut ke
india, nusantara, hingga canton (al-haddad). Hal ini meyebabkan masyarakat
Makkah memiliki peran strategic untuk berpartisipasidalam dunia perekonomian
tersebut. Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu para kolongmerat yang memili
modal, kedua, para pedagang yan gmengelola modal dari kolongmerat, dan ketiga
para perampok atau rakyat biasa yang memberikan jaminan keamanan kepada para
khalifah pedagang dari perantauan , mereka mendapatkan laba keuntungan sebesar
sepulih persen.[3]
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para
konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut
mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajak yang sangat
tinggi.
B. Keuangan
dan perbankan pada masa rasulullah
Keuangan
dan perbankan adalah salah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama,
yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman
uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan
dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam
sejak zaman Rasulullah saw[4]. Praktekpraktek seperti
menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk
keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak
zaman Rasulullah.
Dengan
demikian, fungsi-fungsi utama keuangan dan perbankan modern yaitu menerima
deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah
saw.
Rasulullah
SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah
menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke
Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu
kepada yang memilikinya.[5]
Dalam
konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan
harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini
menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai
pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya
pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh.
Sahabat
lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat
Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab
bin Zubair yang tinggal di Irak. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis
bagi hasil, seperti mudhārabah, musyārakah, muzāra’ah, musāqah, telah dikenal
sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar[6].
Jelasnya
bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi keuangan dan
perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun individu tersebut tidak
melaksanakan seluruh fungsi keuangan dan perbankan. Ada sahabat yang
melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan
fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan
ada pula yang memberikan modal kerja. Beberapa istilah keuangan dan perbankan
modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit
(Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam
bahasa Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan
qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula
istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq
(suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar
yang biasa digunakan di pasar.[7]
Praktek
Keuangan dan Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah Institusi keuangan
dan bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini
tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin,
Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi keuangan dan perbankan
yaitu menerima deposit, menyalurkan dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan
akad yang sesuai syariah.
Di
zaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan
biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di zaman
Bani Abbasiyah, ketiga fungsi keuangan dan perbankan dilakukan oleh satu
individu. Fungsi-fungsi keuangan dan perbankan yang dilakukan oleh satu
individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. [8]
Keuangan
dan perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada
zaman itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata
uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai
kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda
pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarrāf, dan
jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (mone;y
changer).
Istilah
jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawwiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam
dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah
ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan
institusi keuangan dan perbankan pada zaman Abbasiyah mulai populer pada
pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai
bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibn Imran dan Joseph ibn
Wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu
Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga
orang bankir sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen.
Kemajuan praktek keuangan dan perbankan pada
zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media
pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima
deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini,
uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu
memindahkan fisik uang tersebut.
Para
pelaku money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah
memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran
lainnya. Dalam sejarah keuangan dan perbankan, adalah Sayf al Dawlah al-Hamdani
yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
Menurut Muhammad Najatullah siddiqi, sejarah pemikiran ekonomi
syariah telah mengalami 3 periode perkembangan, yaitu periode pertama masa awal
islam, 450 H/ 1058 M, periode kedua 450 – 850 H/ 1058-1446 M, periode ketiga
850- 1350H/ 1446-1932M.[9]
periode pertama dikenal dengan fase dasar-dasar ekonomi syariah yang dirintis
oleh para fukaha, diikuti oleh kaum sufi dan kemudian oleh para filsuf. Dengan
mengacu kepada Al-Quran dan hadis, mereka mengeksplorasi konsep maslahah
(utility) dan mafsadah ( disutulity) yang terkait dengan aktifitas ekonomi.
Fase kedua dikenal dengan fase kemajuan ekonomi. Fase ini merupakan
dase perkembangan yang cemerlang Karena meninggalkan warisan intelektual yang
kaya. Para cendikiawan muslim dimasa ini mampu menyusun kondep tentang
badaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi seharisnya, yang berlandasakan
Al-Quran dan sunah nabi. Namun disisi lain, mereka menghadapi realitas politik
yang ditandai dua hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan bani abbasiyah dan
terbaginya kerajaan kedalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasrkan
pada kekuatan penguasa ketimbang kehendak rakyat. Kedua: merebaknya korupsi
dikalangan para penguasa tertinggi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat
yang mengakibatkan ketimpangan yang semakin lebar antara sikaya dengan
simiskin.
Fase ketiga dikenal dengan fase stragnasi. Merupakan fase
tertutupnya pintu ijtihat (independent judgement). Pada fase ini para
fukaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa
yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing aliran. Manun demikian,
terdapat gerakan pembaharuan islam dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali
kepada Al-quran dan hadis sebagai pedoman hidup.[10]
Uraian
tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya praktik-praktik riil terkait
dengan aktivitas keuangan dan perbankan memang telah dianggap menjadi bagian
hidup masyarakat muslim pada saat itu. Berdasarkan uraian terkait perkembangan
fiqh keuangan dan perbankan perspektif sejarah dapat digambarkan sebagai
berikut:[11]
Fase
|
perkembangan pemikiran ekonomi,
keuangan dan perbankan
|
|||
fase 1 (abad 11 M/ 5 H
|
Zaid
Bin Ali ( 80H/ 738 M)
|
keabsahan
jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi daripada jual beli
secara tunai
|
||
Abu
Habifah ( 150 H/ 767 M)
|
jual
beli salam
|
|||
pembelaan
hak-hak kaum lemah
|
||||
Abu
Yusuf ( 182 H/ 798M)
|
keuangan
Publik
|
|||
pembentukan
dan pengendalian harta
|
||||
Ash-
Syaibani (189 H/ 804 M)
|
Konsep
Kerja
|
|||
perilaku
konsumen dan produsen
|
||||
spesialisasi
dan distribusi pekerjaan
|
||||
Ibn
Maskawaih ( 421 H/ 1030 M)
|
konsep
Uang
|
|||
Fase II ( Abad 11-15 M)
|
Al-Ghazali ( 505 H/ 1111 M)
|
perilaku
konsumen
|
||
evolusi
pasar
|
||||
konsep
uang
|
||||
Pajak
|
||||
Ibnu Taimiyah ( 728 H/ 1328 M)
|
konsep
harga
|
|||
Hisbah
|
||||
keuangan
negara
|
||||
konsep
uang
|
||||
Ibnu Kaldun ( 808 H/ 1406 M)
|
keuangan
public
|
|||
konsep
harga
|
||||
konsep
uang
|
||||
teori
produksi
|
||||
Al-Maqrizi ( 845 H/ 1441 M)
|
konsep
uang
|
|||
teori
inflasi
|
||||
FASE
III
Abad
15-19 M
|
Shah
Waliyullah
Jamaluddin
Al-Afghani
Muhammad
Abduh
Muhammad
Iqbal
|
|||
C.
Asal
Usul Berdirinya Bank Islam
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syari'ah, adalah
bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau
biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan yang
operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur'an dan assunnah
Nabi Muhammad, SAW. Dengan kata lain, bank Islam adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang operasiannya disesuaikan dengan prinsip
syari’at Islam.
Label syari'ah pada aktivitas suatu bisnis, dimaksudkan untuk
memberikan penekanan adanya penghindaran yang optimal terhadap unsur ribawiyyah
yang semestinya harus dielakkan baik dalam operasionalisasinya,
produk-produknya, maupun dalam teknis pengelolaannya. Karena munculnya
aktivitas perekonomian kontemporer tanpa dibingkai oleh norma-norma religiusitas
pada akhirnya akan memunculkan eksploitasi oleh seseorang dengan menggunakan
uang atau modal yang dimiliki untuk menekan pihak lain guna mengambil
keuntungan bagi dirinya secara semena-mena.
Oleh sebab itulah untuk menjamin bahwa bank Islam dalam pengoperasiannya
tidak menyimpang dari tuntunan syari'ah, maka pada setiap bank Islam hanya
diangkat manajer dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip
muamalah Islam. Selain daripada itu di bank ini dibentuk Dewan Pengawas
Syari’ah (kalau internasionalnya ada “The Higher Shariah Supervisory Council”
yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syari'ahnya.[12]
Dalam usahanya, bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang
merupakan barang dagangan utama. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait
dengan komoditas, antara lain memindahkan uang, menerima dan membayarkan
kembali uang dalam rekening koran, mendiskonto surat wesel, surat order maupun
surat berharga lainnya, membeli dan menjual surat-surat berharga, membeli dan
menjual cek, surat wesel, kertas dagang dan memberi jaminan bank. Oleh sebab
itulah Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah sebagai pijakan utama
dalam kegiatan dan usaha bank.
D.
Gerakan
Kebangkitan Islam
Gerakan kebangkitan Islam (Islamic Revivalism), dapat dikatakan juga
sebagai ”tajdid”, merupakan sebuah proses pembaharuan yang dilakukan oleh
sekelompok umat Islam untuk menghidupkan kembali semua struktur sosial, moral,
dan agama kepada dasar aslinya, yaitu al-Qur'an dan as-sunnah. Umat Islam,
sebagaimana umat lainnya, telah mengalami sebuah siklus kemajuan dan kemunduran
yang diikuti oleh upaya menghidupkan kembali pembentukan kerangka
moral-kemasyarakatan. Secara umum, pada abad pertengahan tampak benar-benar
sebagai sebuah periode kemandekan intelektual yang melanda seluruh kehidupan
dunia Islam. Fenomena tersebut terjadi tepatnya setelah terbentuknya mazhab
hukum klasik dalam Islam. Terbentuknya empat mazhab hukum klasik tersebut
mendorong mandegnya upaya penelitian dan perubahan yang biasa dilakukan oleh
para ulama. Abad ke-XI Masehi adalah merupakan awal kemunduran, di mana para
rasionalis, ulama dan para filosuf tidak lagi mempunyai keseragaman pendapat
dan cenderung tidak lagi saling tolerir terhadap berbagai pendapat. Pada abad
ini juga sistem pendidikan Islam dirasuki oleh sekte-sekte teologi dogmatik.[13]
Kemudian pada abad ke-XIII terjadi pengrusakkan kebudayaan yang
menjadi bagian penting dari khazanah dunia Islam oleh Bangsa Mongol yang
mengakibatkan iklim politik anarkis dan kehidupan sosial-budaya menjadi kacau
balau dan kevakuman hukum. Selama abad XIX dan XX Masehi, gerakan kebangkitan
Islam (Islamic Revivalism) mulai muncul di dunia Islam. Gerakan ini berusaha
melawan kejumudan dalam pemahaman agama dan kemerosotan moral yang melanda
seluruhmasyarakat Muslim. Gerakan kebangkitan Islam pada periode ini memiliki
karakter sebagai berikut: (a) memusatkan perhatian yang mendalam terhadap
permasalahan sosial dan kemerosotan moral masyarakat Muslim, (b) memurnikan
kembali ajaran Islam dan meninggalkan sikap berkhayal yang ditanamkan oleh para
sufi, (c) berusaha melakukan ijtihad dengan memikirkan dan menginterpretasikan
kembali maksud syara’ dengan membuang jauh-jauh anggapan tentang tertutupnya
pintu ijtihad. Gerakan ini pula turut mempengaruhi terhadap munculnya beberapa
gerakan selanjutnya, yaitu gerakan modernis (modernism) dan gerakan
neo-Revivalis (neorevivialism).
Pada umumnya, gerakan modernis (modernism) muncul pada paruh kedua
abad XIX Masehi. Gerakan ini menekankan akan pentingnya melakukan penyegaran
pemikiran Islam dengan cara membangkitkan kembali gelombang ijtihad yang
digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan dari al-Qur'an
dan Sunnah, dan berusaha memformulasikan kebutuhan hukum dengan tetap
berdasarkan pada prinsip. Para modernis mengkritisi apa yang disebut atomistic.
Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh aturan-aturan hukum secara
langsung dari al-Qur'an dan as-sunnah dengan senantiasa memperhatikan fenomena
yang melatarbelakanginya. Sehingga diharapkan akan mampu menjawab berbagai
problematika kehidupan.
Adapun ciri-ciri dari gerakan modernis adalah sebagai berikut: (a)
selektif dalam menggunakan sunnah; (b) mengembangkan pola berpikir yang
sistematis dengan menghilangkan anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup;
(c) membuat perbedaan antara syari'ah dan fiqh; (d) Menghindari paham yang
menonjolkan sektarian; dan (e) mengubah karakteristik metodologi berpikir,
namun tidak perlu menyentuh aspek hukum mazhab klasik.
Gerakan ini tumbuh tepatnya mulai paruh pertama abad XX M, yang
merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) yang
muncul pada abad XIX dan permulaan abad XX M. munculnya gerakan neo-Revivalisme
sebagai reaksi terhadap gelombang sekularisasi yang melanda dunia Islam.
Diantara gerakan neo-Revivalisme yang berkembang di Mesir adalah Ikhwanul
Muslimin di dirikan oleh aktivis dan pembaharu kebangsaan Mesir Hasan al-Banna,
diIndia ada Jami’iyat al-Islam didirikan oleh Sarjana Pakistan Abu A’la
al-Maududi.
Sikap dari gerakan Ikhwanul Muslimin terhadap propaganda
westernisasi, bahwa westernisasi sangat ingin menguasai dunia Islam, oleh sebab
itulah kekuasaan asing harus disingkirkan untuk membebaskan umat dari belenggu
eksploitasi musuh, diantaranya kekuasan barat terhadap ekonomi. Gerakan
neorevivalis (neo-Revivalism) merupakan sebuah gerakan yang ingin mengangkat
relevansi ajaran Islam dalam sebuah masyarakat saat ini, serta berusaha
menunjukkan kekuatan Islam di mata Barat. Kedua gerakan ini menegaskan
bahwasanya dalam membina masyarakat harus dilandasi dengan dasar al-Qur'an dan
as-sunnah Nabi Muhammad, SAW. Pentingnya berpegang pada nilai dan prinsip hukum
yang terkandung dalam alQur'an dan as-sunnah dalam segala aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, pendidikan, maupun administrasi institusional.
Fungsi ijtihad menurut pandangan neo-Revivalis hanya dilaksanakan
terhadap permasalahan yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur'an
maupun assunnah. Dengan logika berpikir demikian, mereka hanya menekankan
pembahasan al-Qur'an mengenai permasalahan hudud (punishment), hukum keluarga,
serta berusaha mengidentifikasi bunga (interest) pinjaman sebagai riba.[14]
Gerakan neo-Revivalis menempatkan syari'ah sebagai aturan hidup secara
berkesinambungan dalam setiap waktu dan tempat. Kehadiran gerakan Modernis dan
neo-Revivalis tersebut sebenarnya telah menghiasi bentuk pemikiran Islam dalam
lintas sejarah modern, dimana gerakan neo-Revivalis telah berpengaruh besar
terhadap perkembangan teori perbankan Islam. Teori ini telah berkembang secara
luas ke dalam ruang lingkup seputar masalah perbankan dan keuangan yang diambil
berdasarkan penafsiran tradisional tentang riba.
E.
Faktor-faktor
Pendorong Munculnya Bank Syariah
Ketika seluruh institusi dan lembaga keuangan global telah
berkubang pada lautan ekonomi dunia yang tidak bisa melepaskan diri dari bunga.
Ada harapanharapan yang dibarengi dengan semangat dari sebagian kalangan untuk
menciptakan suatu lembaga keuangan yang terbebas dari bunga. Walaupun hingga
awal abad ke- 20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi
baik daribidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam
adalah solusi terhadap berbagai masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan
sosial telah muncul .
Pendirian sebuah institusi perbankan adalah merupakan suatu
kemutlakan yang fungsi utamanya adalah untuk mengelola kekayaan masyarakat,
tetapi nantinya ada pertentangan mengenai masalah bunga yang diinterpretasikan
riba sehingga berdampak kepada keraguan tentang pendirian bank tersebut.
Menurut pendapat Muhammad Abdullah al-‘Arabi[15]
pendirian sebuah bank Islam diperlukan dengan didasarkan kepada aqad
Mudharabah, sehingga hal ini akan menghindarkan daripada riba.
Sebelum pertama kali terbentuknya bank-bank Islam, banyak faktor
yang melatarbelakangi munculnya yaitu antara tahun 1960-an dan 1970-an,
diantara faktor yang penting adalah (1) Upaya neo-Revivalis dalam memahami
hukum tentang bunga sebagai riba; (2) Adanya kekayaan negara akan minyak
melimpah; (3) Penerimaan terhadap interpretasi tradisional tentang riba untuk
dipraktekkan oleh beberapa negara muslim sebagai bentuk kebijaksanaannya. Pada
abad XIX, barat mulai mendirikan bank berdasarkan bunga di negara-negara Islam.
Hal ini menggugah keperdulian beberapa figur seperti Muhammad Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh, sebagai pembaharu dalam pemikiran Islam mereka berusaha
melakukan akomodasi terhadap beberapa bentuk permasalahan bunga).[16]
Pertumbuhan gerakan kebangkitan Islam pada abad XIX dan XX yang
dilakukan oleh para ulama dan pembaharu menentang pelaksanaan bank berdasarkan
bunga karena mengganggap bahwa bunga bank termasuk kepada riba. Di Mesir, sejak
tahun 1930-an muncul gerakan yang dinamakan Ikhwanul Muslimin yang melakukan
kritik keras terhadap pelaksanaan sistem keuangan yang didasarkan atas bunga di
Mesir maupun di dunia muslim lainnya. Ikhwanul Muslimin menganjurkan kepada
umat Islam untuk melaksanakan ideologi Islam dalam segenap prilaku dan aspek
kehidupan. Karena adanya anggapan bahwa bunga bank termasuk kepada riba maka
semua aktivitas yang berkaitan dengan bunga, baik yang dilakukan oleh institusi
maupun individu harus dihilangkan. Hasan al-Banna sebagai pemimpin Ikhwanul Muslimin
pada tahun 1947 mengirimkan surat kepada para pemimpin Negara Arab dan
Negara-negara Islam lainnya mengajak untuk melakukan perubahan terhadap sistem
perbankan agar terbebas dari bunga (free-interest). Begitu juga halnya dengan
Jami’at Islami pimpinan Abu al-‘Ala al-Maududi di India.
Perhatian institusi tentang bunga dan usaha untuk mengembangkan
model bank Islam yang bebas bunga bergerak secara serentak dilakukan pada tahun
1950-an dan 1960-an. Usaha awal sebagaimana telah dikerjakan oleh Anwar Iqbal
Qureshi pada tahun 1967 mendiskusikan tentang bank bebas bunga dalam artikel
“Islam and the Theory of Interest” serta risalah Maududi tentang “riba”.
Muhammad Uzair sebagai pionir perumusan teori bank Islam dalam “Groundwork for
Interest-free Banking” (ringkasan yang telah dipuplikasikan pada tahun 1955
sebagai garis besar mengenai bank tanpa bunga). Pada tahun 1960-an, muncul
tulisan dari kalangan sarjana Syi’ah seperti Baqir al-Sadr , M. N. Siddiqi[17],
dan Ahmad al-Najar yang merupakan figur pemimpin Mesir pertama yang melakukan
eksperimen bank Islam telah menghasilkan bentuk yang komprehensif dari bank
bebas bunga.[18]
Banyak sekali buku-buku dan artikel yang menulis tentang perbankan Islam dan
permasalahan bunga dari tahun 1950-an sampai dengan awal tahun 1970-an, dalam
bentuk bahasa Arab, Inggris maupun Urdu. Pemikiran dari neo-Revivalis inilah
yang mempengaruhi mulai berdirinya bank-bank Islam.[19]
Dalam
skim yang dicadangkan oleh Ahmad al-Najjar, bank adalah sebuahinstitusi yang
dibentuk untuk menggalakkan tabungan supaya ia dapat digunakandengan berfaedah
di dalam sektor luar bandar dengan akad perkongsian. Bankmempunyai "Tabung
Perkhidmatan Sosial" yang menarik sumbangan zakat daripadaorang ramai dan
menyusun perkhidmatan sosial di kawasan berkenaan. Beliau tidakmembincangkan
bagaimana urusan bank tanpa riba beroperasi melalui mekanismeperkongsian untung
dan rugi. Sebaliknya menurut beliau, isu yang lebih penting ialahmenyusun
semula ekonomi negara-negara Islam yang mundur supaya membangun danmaju.
Skim
perkongsian yang diajukan oleh Muhammad Baqir al-Sadr berlainandengan skim yang
telah dibincangkan sebelum ini. Beliau mencadangkan supaya parapendeposit
(penyimpan) dalam bank Islam dibebaskan daripada liabiliti kerugian. Iniadalah
kerana bank menurut beliau ialah sebuah institusi perantaraan keuangan yang
tidak mengambil bagian secara langsung dalam pelaburan produktif.
Beliaumenjustifikasikan jaminan ini dari sudut hukum dan tidak memperdulikan
tentangrasionaliti dari sudut ekonomi. Bagi mempastikan bank itu mendapat
pendapatan yangmunasabah, beliau mencadangkan supaya bank mengenakan bayaran
perkhidmatan(ji'alah, reward, pay, remuneration or compensation in return
for work), bahkan lebihjauh lagi beliau menyarankan supaya bank Islam
berkenaan menyimpan dananya di bank-bank konvensional yang berasaskan riba
untuk memenuhi keperluan tertentu.[20]
Penghasilan minyak yang melimpah di beberapa negara Islam seperti
Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain menjadi faktor
penting dalam pengembangan bank-bank Islam. Meskipun pada awal permulaan
eksperimen pendirian bank Islam seperti yang terjadi di Malaysia pada
pertengahan 1940-an, Jami’iyat Islamiyah di India, bank Mit Ghamr di Mesir, dan
bank Sosial Nasser, tidak berhubungan dengan kekayaan minyak di Arab, tapi laju
pertumbuhan bank-bank Islam pada level nasional dan internasional terjadi
setelah harga minyak meningkat tajam pada tahun 1973 dan 1974 setelah Arab
Saudi melakukan embargo minyak sehingga pendapatan meningkat tajam sampai 400%.
hampir seluruh bank-bank Islam yang didirikan sekitar tahun 1970-an di Timur
Tengah di biayai oleh kekayaan minyak. Pengembangan bank Islam secara keseluruhan
modalnya kira-kira US$ 2 Milyar, lebih dari 60% pemegang saham adalah produksi
minyak Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Libya. Bank Islam Dubai,
Departemen Keuangan Kuwait, Bank Islam Bahrain, Bank Islam Qatar, Bank Islam
Faisal di Bahrain, Nigeria dan Senegal, bank-bank al-Baaraka Group Shaykh Saleh
Kamil dan Dar al-Mal al-Islami (DMI) Pangeran Saudi Muhammad Faisal secara
keseluruhan didirikan oleh hasil kekayaan minyak. Di Negara non-eksportir
minyak-pun bank-bank Islam yang berdiri dibiayai dari penghasilan kekayaan
minyak. [21]
Berdasarkan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh para
penegak hukum dari beberapa negara Muslim yang beranggapan bahwa tanpa
mendirikan bank Islam mungkin cita-cita untuk menghilangkan bunga dari sistem
perbankan hanya akan tetap eksis dalam dataran teori. Keputusan-keputusan
politik tersebut termanifestasikan ke dalam tiga sektor, yaitu: (1) larangan
terhadap bunga sebagai bentuk kebijakan hukum yang diambil oleh beberapa negara
Islam; (2) keputusan untuk mendirikan Bank Islam Internasional; (3) partisipasi
pemerintah Muslim dalam mendirikan bank Islam.
Adapun larangan terhadap bunga sebagai bentuk kebijakan hukum
yang diambil oleh beberapa negara Islam, bahwa larangan terhadap bunga, pada
satu sisi berdasarkan pernyataan yang telah berlaku di masyarakat dan juga
dalam hukumhukum niaga yang berlaku di beberapa negara Muslim. Misalnya yang
terjadi di Arab Saudi, berdasarkan piagam Saudia Arabian Monetary Agency
(SAMA)[22]
pada oktober 1952 Bank Central Saudi. Pendirian badan ini atas usulan dari
IMF sebagai program untuk mengembangkan sistem moneter suatu negara. Pada tahun
1957, Al-Rajhi Bank sebagai bank Islam pertama yang didirikan di Arab Saudi.
Saat ini Bank Al-Rajhi merupakan bank Islam terbesar di dunia dalam hal
kapitalisasi pasar dengan total aset sebesar US$ 33 miliar dan kapitalisasi
pasar sebesar US$ 4 miliar. Setelah itu muncul bank-bank Islam lainnya seperti
Bank Alinma, Bank Aljazira dan Bank Albilad.[23]Secara eksplisit melarang SAMA untuk menerima maupun membayar
bunga. Dalam tulisan kedua dari piagam tersebut berbunyi “bahwa SAMA tidak akan
membayar atau menerima bunga, tetapi hanya akan memberi beberapa biaya, ongkos
pelayanan diberikan kepada masyarakat dan pemerintah supaya mengganti biaya
yang dikeluarkan”. Jadi di sini, bahwa ketetapan dan kebijakan yang diambil
oleh masing-masing negara Islam yang berkomitmen tentang larangan daripada
bunga sangatlah diperlukan.[24]
F.
Telaah Perbankan Syariah di Berbagai Negara
Merebaknya
bank konvensional dengan konsep pembungaan uang mulai merebak pada tahun 1545,
saat Raja Henry VIII memimpin. Lalu, ketika ia digantikan oleh Raja
Edward VI, konsep bank dengan pembungaan uang mulai dihapuskan. Namun hal ini
tidak berlangsung lama, setelah Raja Edward VI wafat, ia digantikan oleh Ratu
Elisabeth I, yang memperbolehkan kembali praktik pembungaan uang. Setelah Renaissance,
bangsa Eropa melakukan penjajahan ke seluruh penjuru dunia, akibatnya
institusi-institusi perekonomian umat Islam yang mulai bangkit menjadi runtuh
dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa.[25]
Hingga
awal abad ke-20, bank syariah hanya merupakan bahan diskusi teoritis. Belum ada
langkah nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal
telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi
untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam, namun pamornya
masih dikalahkan oleh bank konvensional.
Banyak
usaha terus dikembangkan, sehingga dirancanglah bank tanpa bunga pertama kali
yang dilakukan di Malaysia pada pertengahan 1940, namun usaha tersebut tidak berhasil. Kegagalan
Malaysia tidak mengendurkan semangat ekonom Islam untuk terus mendirikan bank
yang menggunakan konsep Islam, hal ini terus berkembang dengan usaha-usaha
brilian para ekonom muslim tersebut. Kini, tidak hanya negara yang berpenduduk
Islam mayoritas, negara yang berpenduduk Islam minoritas pun mulai
mengembangkan produk-produk perbankan syariah.
Gagasan
berdirinya bank syariah di kanca internasional muncul dalam konferensi
negara-negara Islam sedunia yang diselenggarakan di Kuala Lunmpur, Malaysia
pada tanggal 21-27 April 1969. Konferensi yang diikuti oleh 18 negara peserta
itu memutuskan beberapa hal sebagai berikut:[26]
1.
Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum
untung dan rugi. Jika tidak demikian, maka hal itu termasuk riba, dan riba itu
sedikit atau banyak hukumnya haram.
2.
Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah
yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin.
3.
Sementara bank syariah belum berdiri, bank-bank
yang menerapkan bunga masih diperbolehkan untuk beroperasi, hanya apabila
memang benar-benar dalam keadaan darurat.
Adapun lembaga
perbankan yang berbasis islam yang berkembang pada saat itu di dunia muslim
antara lain:[27]
1.
Nasser social bank ( 1971)
2.
Dubai Islamic bank (1975)
3.
Kuwait finance house (1977)
4.
Faisal Islamic bank mesir dan sudan (1977)
5.
The
Islamic investment company, Nassau (1977)
6.
Jordan Islamic bank (1978)
7.
The Islamic investment company of the gulf,
Sharjah (1978)
8.
Bahrain Islamic bank (1978)
9.
The islamic international bank for investment
and development, mesir bank (1980)
10.
The sharia investment sevice, genawa (1980)
11.
The Bahrain Islamic investment bank, Manama
(1980)
12.
The dar Al-maal Al- islami Ltd, genewa (1981)
13.
The international Islamic bank of dacca
Bangladesh (1982)
14.
Masraf faysal al-islami Bahrain (1982)
15.
Sudanesa Islamic bank (1985)
16.
Islamic bank Bangladesh (1986)
17.
Beit ettanwil Saudi (1986)
18.
Qatar Islamic bank (1987)
19.
Faysal Islamic bank sudan (1987)
20.
Kuwait finance haouse (1987)
21.
Bank islam Malaysia berhad (1987)
22.
Islamic bank for western sudan (1987)
23.
Albaraka turkis finance house (1989)
24.
Kuwair turkis evkaf finance house (1989)
25.
Bank al taqwa (1989)
Dari
tahun ke tahun, perkembangan bank syariah semakin meningkat. Dalam konferensi
Islamic Bank di Singapura pada bulan Agustus 1998, dapat diketahui bahwa
lembaga keuangan syariah mengalami perkembangan yang pesat di dunia
sejak1970-an itu. Jumlahnya pada tahun 1998, telah mencapai 200 buah, yang
terdiri dari 160 bank dan sisanya berupa lembaga keuangan non-bank. Pada akhir
2008 lalu telah berjumlah 300 bank.
Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan bank syariah di dunia saat ini, berikut
adalah beberapa fakta mengapa perbankan syariah semakin berkembang pada tahun
2015 dan akan terus berlaku pada tahun 2016:
Pertama,
menurut laporan World Islamic Banking Competitiveness Report 2014-2015, aset
perbankan syariah internasional telah melampaui USD 778 miliar pada tahun 2014
dan CAGR 17% antara tahun 2009 dan 2013. Keuntungan global bank syariah
diharapkan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2019. Di enam pasar syariah
utama (Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Malaysia dan Turki), aset
perbankan syariah diperkirakan mencapai US$ 1,8 triliun pada 2019.[28]
Kedua, gairah
pasar syariah di wilayah Teluk memberikan gambaran yang kuat untuk masa depan
keuangan Islam. Di UEA, partisipasi (atau musyarakah) perbankan menunjukkan
tingkat pertumbuhan dua kali lipat dari perbankan konvensional. Aset syariah di
negara itu telah melewati ambang USD 100 miliar untuk pertama kalinya, sesuai
dengan laporan sebelumnya.
Di
Arab Saudi, perbankan syariah mengalami permintaan yang kuat dari segmen
korporasi dan ritel. Pada tahun 2013, 54% dari semua perbankan di negara itu
syariah dan angka ini diperkirakan akan tumbuh 70% pada tahun 2019. Di Qatar,
perbankan syariah diperkirakan menunjukkan tingkat pertumbuhan 15-20%; dan 25%
sudah sesuai dengan prinsip syariah. Sementara itu, sektor perbankan syariah
Kuwait menyumbang 54% dari pangsa pasar perbankan.
Ketiga, sukuk
atau obligasi syariah, telah mengalami perlambatan karena harga minyak yang
rendah dan kemungkinan kenaikan suku bunga. Suku bunga relevan untuk dua
alasan, yaitu: sukuk, seperti obligasi konvensional, adalah produk yang
bersaing dengan investasi berdasarkan suku bunga. Semakin tinggi tingkat bunga,
yang sedikit investor yang tertarik pada sukuk, dan ekonomi regional seperti
UEA dan Arab Saudi memiliki mata uang yang mengalami pelemahan terhadap dolar
AS. Pelemahan ini membayangi kebijakan moneter kedua negara, dan kenaikan suku
bunga yang direncanakan Federal Reserve di Amerika Serikat juga ikut mendorong
perlambatan sukuk.
Namun
demikian, sukuk diharapkan pulih pada tahun 2016. Abdul Kadir Hussain, CEO
Mashreq Capital yang berbasis di Dubai, mengatakan meski negara-negara seperti
UEA kemungkinan memiliki likuiditas yang lebih rendah (karena harga minyak
rendah), mereka masih ingin mempertahankan infrastruktur strategis dan
investasi dalam negeri. Setiap defisit potensial akan ditutupi oleh utang pasar
umum, yang akan datang dalam bentuk sukuk.
Keempat,
ada tiga alasan untuk pertumbuhan investasi syariah. (1) Investasi syariah
menarik bagi investor Muslim. (2) Investasi syariah menarik bagi investor yang
ingin berinvestasi secara etis. Karena aturan syariah telah sesuai dengan
Prinsip Investasi Bertanggung Jawab (UNPRI) PBB. Dan akhirnya, investasi
syariah menjadi idaman investor yang ingin risikonya dikelola secara bijaksana.
(3) Dana syariah sumber dananya jelas dan hanya dapat berinvestasi jika ada
aset fisik. Sehingga investasi syariah berfungsi sebagai penyeimbang portofolio
yang berisiko.
G.
Pendirian Bank-Bank Syariah
Gagasan
menjalankan praktik syariah di dunia perbankan terus mencuat sejak munculnya
beberapa institusi syariah. Ia menjadi inspirasi bagi negara lain bahwa
produk-produk bank syariah pada dasarnya lebih banyak menuai kebaikan dari
berbagai lini ketimbang produk-produk bank konvensional. Beberapa institusi
syariah yang dimaksud, yakni:[29]
1.
Mit Ghamr Bank
Eksperimen
pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern dilakukan
di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank.
Kesuksesannya memberikan inspirasi bagi umat Islam seluruh dunia sehingga
muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan
dalam bisnis modern. Rintisan perbankan syariah mulai terwujud di Mesir pada
dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank di
sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr.
Ahmad Nejjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil.
Namun, institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi
perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.
2.
Islamic Development Bank (IDB)
Pada
sidang menteri luar negeri di Karanchi, Pakistan, Desember 1970, Mesir
mengajukan pendirian bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan
dan federasi bank Islam. Kemudian gagasan itu dikaji oleh 18 negara Islam yang
mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu
sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan dan kerugian, dan proposal
pendirian federasi Bank Islam (Feredation of Islamic Bank) dikaji para ahli dari
18 negara[30].
Proposal tersebut pada intinya
mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu
sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal
tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam
Internasional dan Federasi Bank Islam (FDI).
Proposal tersebut antara lain
mengusulkan untuk:
a.
Mengatur
transaksi komersial antar negara Islam
b.
Mengatur
institusi pembangunan dan investasi
c.
Merumuskan
masalah transfer, kliring, serta settlement antar Bank Sentral di Negara
Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang
terpadu
d.
Membantu
mendirikan institusi sejenis Bank Sentral Syari’ah di negara Islam
e.
Mendukung
upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan –
kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam
f.
Mengatur
administrasi dan mendayagunakan dana zakat
g.
Mengatur
kelebihan likuiditas bank-bank sentral negara Islam
Selain hal tersebut, diusulkan pula
pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan
Negara-Negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries).
Badan trsebut akan berfungsi sebagai berikut:
a.
Mengatur
investasi modal Islam
b.
Menyeimbangkan
antara investasi dan pembangunan di negara Islam
c.
Memilih
lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya
d.
Memberi
saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi
regional di negara-negara Islam.
Sebagai rekomendasi tambahan,
proposal tersebut mengusulkan pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu
Asosiasi Bank-Bank Islam (Association of Islamic Bank) sebagai badan
konsultatif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syari’ah. Tugas badan
ini diantaranya menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara Islam yang ingin
mendirikan bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah. Bentuk dukungan teknis
tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke negara tersebut, penyebaran atau
sosialisasi sistem perbankan Islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman
antar negara Islam. [31]
Akhirnya,
terbentuklah IDB pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam
pendiri. Kini IDB yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi[32]
itu telah memiliki 43 negara anggota. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak
negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Lembaga-lembaga syariah
yang muncul setelah kelahiran IDB dapat dibedakan menjadi dua kategori:
Pertama,
kategori bank Islam komersial (Islamic Commercial Bank), seperti: Faisal
Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank,
Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank, Islamic
International Bank for Inverstment and Developmene (Mesir). Kedua, kategori
lembaga investasi dalam bentuk international holding companies,
seperti: Daar Al-Islami (Jenewa), Islamic Investment Company of the Gulf,
Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan),
Bahrain Islamic Investment Bank (Manama), Islamic
Investment House (Amman)
3. Islamic Research and Training Institute
(IRTI)
IDB
juga membantu mendirikan bank-bank Islam di beberapa negara. Untuk pengembangan
sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah riset dan pelatihan
untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, baik dalam bidang perbangkan maupun
keuangan secara umum. Lembaga ini disebut IRTI. Bank ini menyediakan bantuan
finansial untuk pembangunan negara-negara anggotanya, membantu mereka mendirikan
bank-bank Islam di negara masing-masing dan memainkan peranan penting dalam
penelitian ilmu ekonomi, perbankan, dan keuangan Islam.
Data yang
dipakai adalah data sekunder yang dianalisis penulis dari referensi yang ada.
Penelitian ini sebatas tinjauan atau studi pustaka (buku, artikel, dan jurnal
terkait) yang memberikan gambaran terhadap topik yang dibahas.
Krisis
perkembangan global ternyata menjadi pemicu bagi berkembangnya perbankan Islam.
Ekonom-ekonom dari negara Barat mulai melirik perbankan syariah, bahkan mereka
telah menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam menjalankannya. Beberapa negara
yang tercatat sebagai negara yang menerapkan perbankan syariah, yaitu:
1.
Perbankan Syariah di Eropa
a.
Inggris
Negara yang
mengalami perbankan syariah yang sangat aktif adalah Inggris. Seolah tidak
ingin ketinggalan dengan negara-negara perintis perbankan syariah, Inggris
memanfaatkan gelombang perkembangan perbankan syariah dan bahkan memosisikan
diri untuk menjadi pusat keuangan Islam di Eropa.
Di tahun 2014,
Inggris telah memiliki lima bank yang sepenuhnya melaksanakan kegiatannya
berdasarkan prinsip syariah, yang melarang pembiayaan untuk barang-barang dan
kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam, seperti minuman keras, babi,
tembakau, dan perjudian.Salah satu bank yang menjadi pionir bank syariah di
London adalah Islamic Bank of Britain dan Kleinwort Benson (bank investasi yang
pamornya semakin melejit setelah mendirikan dewan syariah, sehingga banyak
menarik dana dari negara-negara Gulf di Timur Tengah). Di samping itu ada 17
lembaga keuangan terkenal, seperti Barclay, RBS, dan Lyold Banking Group yang
telah membuka cabang khusus perbankan syariah atau perusahaan anak khusus untuk
nasabah-nasabah muslim. Aset bank Islam di Inggris saat ini telah mencapai $ 18
miliar.
Terdapat empat
fakta yang memicu pertumbuhan pesat bank syariah di Inggris. Pertama, London
merupakan salah satu pusat keuangan dunia yang terkemuka. Kedua, Oleh karena
hubungan sejarah yang erat dari masa lalu antara negara-negara Teluk di Timur
Tengah (Gulf countries) dengan Inggris. Ketiga, para syekh kaya Arab banyak
tinggal di London pada saat ini, dan banyak dari mereka membuka usaha di bidang
keuangan. Keempat, pemerintah Inggris memberi perhatian sangat besar, antara
lain dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang dapat mendorong pertumbuhan
perbankan di Inggris.
b.
Switzerland
Beberpa
Bank Swiss termasuk UBS, telah memiliki cabang-cabang di Timur Tengah.
Bank-bank tersebut menawarkan jasa-jasa perbankan syariah kepada orang-orang
kaya Arab. Namun demikian, tak satupun bank Swiss yang beroperasi di negaranya
sendiri, yang menggunakan prinsip syariah.
Pada
pertengahan 2006, otoritas Swiss memberikan izin kepada Faisal Private Bank.
Bank tersebut dibuka di Geneva, sebagai bank pertama di Swiss yang melakukan
usahanya dengan prinsip syariah. Bank ini memiliki sasaran penduduk di luar
Swiss, khususnya sasarannya adalah pundi-pundi petrodollar dari negara-negara
Teluk yang tertarik karena iklim keuangan yang stabil dari negara Switzerland.
c.
Turki
Diterbitkannya
undang-undang khusus, yaitu Decree 83/7506 pada tanggal 16 Desember 1983, yang
diumumkan dalam Official Gazzate No 18256, telah membuka jalan bagi pendirian
bank-bank Islam di Turki. Dari dibukanya Special Finance Houses, sampai
beroperasinya bank syariah pertama di Turki yaitu Albaraka Turk Ozel Finance
Kurumu pada tahun 1985.
Dari
tahun ke tahun pengembangan perbankan syariah terus diperhatikan, terutama pada
masa pemerintahan Perdana Menteri Turki pada saat itu, Turgut Ozal yang sangat
antusias mewujudkan janjinya kepada para pendukukngnya yang beragama Islam yang
taat. Meskipun banyak menuai kritikan dari pihak sekuler garis keras,
undang-undang khusus yang mengatur system operasional bank syariah terus
dilegalkan.
Pada
akhir tahun 2008, terdapat empat participation bank di Turki, yaitu Albaraka
Turk, Bank Asya, Kuvyet Turk, dann Turkiye Finans. Pada tahun 2007, bank-bank
tersebut secara bersama-sama menguasai 4,2% dari total simpanan (deposit) dan
3,3% dari total pinjaman (loan) dalam system perbankan Turki.
2.
Perbankan Syariah di Amerika
Sifat
fanatik Amerika terhadap Islam berpengaruh terhadap berkembangnya bank-bank
syariah di negara tersebut. Meskipun, beberapa bank Amerika yang berada di
negara Islam mempraktikkan prinsip syariah, namun tak satupun bank syariah
berkembang di Amerika. Akan tetapi, sepertinya Amerika mulai melirik system
perbankan syariah yang dapat menjadi solusi di saat krisis, dengan mulai
mengubah persepsinya, saat ini Amerika memperbolehkan jasa-jasa keuangan Islam
beroperasi di sana. Bahkan Untuk memberi lebih banyak informasi, Bank Islam
Amerika menciptakan website (www.islamic-bank-usa.com)bagi non-muslim dalam
mempelajari perbankan syariah.
3.
Perbankan Syariah di Australia
Walaupun
penganut Islam di Australia cenderung sedikit, tetapi para kaum muda Muslim di
negara tersebut telah mempelopori didirikannya suatu koperasi yang disebut
Muslim Community Co-operative (Australia) Ltd. atau disingkat MCCA pada
Februari 1989. MCCA adalah penyedia jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah
yang pertama yang beroperasi di Australia. Koperasi tersebut didirikan dengan
modal pertama AUD 22.000.
Pada
tahun 1999 didirikan lembaga keuangan syariah lainnya di Australia yaitu the
Muslim Community Credit Union Ltd. (MCCU) karena adanya kebutuhan dari
masyarakat muslim untuk dapat memperoleh jasa-jasa perbankan syariah yang lebih
luas daripada yang dapat ditawarkan MCCA.
4.
Perbankan Syariah di Timur Tengah
a.
Mesir
Perbankan
syariah muncul di Mesir sejak didirikannya Mit Ghamr Bank. Pendirian Mit Ghamr
Savings Bank oleh Ahmed Al-Naggar dianggap sebagai tonggak sejarah pendirian
bank Islam modern. Ia menawarkan lima jenis jasa perbankan yang didasarkan atas
prinsip syariah. Juni 1967, The Ford Foundation memuji keberhasilan bank
tersebut dalam memperoleh dukungan dari para petani dan penduduk. Dalam empat
tahun berikutnya, bank ini memiliki pertumbuhan jumlah nasabah penyimpan dan
dana simpanan.
Amat
disayangkan, sebagai akibat iklim politik di Mesir pada waktu itu, kegiatan
usaha bank tersebut mengalami kemunduran dan akhirnya diambil alih oleh
National Bank of Egypt dan Egypt Central Bank pada pertengahan tahun 1967.
Dengan pengambilaalihan tersebut maka system riba diterapkan dalam kegiatan
usaha bank Mit Ghamr. Dampaknya nasabah bank berkurang drastis. Syukurnya, pada
pemerintahan Anwar Al- Sadat tahun 1972, didirikanlah Nasser Social Bank. Bank
ini menawarkan jasa-jasa perbankan syariah yang lebih luas ketimbang Mit Ghamr
Bank. Ia menadapatkan dukungan penuh dari pemerintah antara lain berupa
diberikannya subsidi oleh pemerintah dalam rangka melindungi kegiatan
pembiayaannya.
Pada
tahun 2008, di Mesir terdapat dua institusi keuangan syariah, yaitu Faisal
Islamic Bank of Egypt, Egyptian Saudi Finance Bank dan 13 bank konvensional
tersebut yang menawarkan produk-produk islami. Meskipun persepsi masyarakat
sempat rusak terhadap perbangkan Islam di Mesir pada tahun-tahun sebelumnya.
b.
Sudan
Perbankan
Islam di Sudan menjalani dua periode terpisah. Periode pertama adalah periode
diberikannya dukungan penuh oleh pemerintah. Periode kedua adalah periode di
mana sektor perbankan mengalami keprihatinan. Konsep perbankan Islam diperkenalkan
di Sudan dengan pendirian Faisal Islamic Bank of Sudan (FIBS) pada tahun 1977.
FIBS didirikan di bawah undang-undang khusus yang dikenal sebagai the FIBS Act
of National People’s Council dan mulai beroperasi Mei 1978. Pada September
1984, seluruh system perbankan di Sudan diharuskan sudah melakukan kegiatan
usahanya sesuai dengan prinsip syariah.
Pada
akhirnya, berdasarkan perjanjian perdamaian yang dinamakan Comprehensive Peace
Agreement (CPA) ditandatangani oleh pemerintah Sudan dan the Sudan People’s
Liberal Movement di Selatan Sudan, system perbankan di Sudan terdiri dari dual
banking system, dengan perbankan Islam melanjutkan operasionalnya di Utara dan
perbankan konvensional beroperasi di Selatan.
c.
Bahrain
Bahrain
telah menjadi pemimpin keuangan Islam global dengan terutama menjadi tuan rumah
lembaga-lembaga keuangan Islam Timur Tengah. Pada akhirnya Sepetember 2007
seluruh aset bank-bank di Bahrain mencapai jumlah US$20,1 miliar. Di samping
itu, Bahrai telah menduduki pasar utama bagi sukuk (obligasi syariah), termasuk
sukuk jangka pendek pemerintah. Pada saat ini di Bahrain terdapat 29 bank-bank
Islam, 50 Islamic Mutual Funds (Reksadana), dan 18 Tafakul (perusahaan asuransi
Islam). Diperkirakan industry keuangan Islam di Bahrain akan tumbuh sebesar
20%.
5.
Perbankan Syariah di Asia
a.
Malaysia
Bank
Islam pertama yang beroperasi di Malaysia adalah Bank Islam Malaysia Berhad
(BIMB), yang didirikan pada 1 Maret 1983 di bawah Companies Act 1965 dan mulai
beroperasi 1 Juli 1965. Setelah satu decade beroperasi, BIMB terbukti menjadi
lembaga perbankan yang tumbuh dengan baik dengan aktivitasnya berkembang dengan
cepat ke seluruh negeri dengan memiliki 80 cabang dan pegawai 1.2000 orang.
Bank tersebut telah terdaftar sahamnya di Kuala Lumpur Stock Exchange pada 17
Januari 1992.
Terdapat
40 produk keuangan Islam yang ditawarkan bank-bank di Malaysia dengan
menggunakan konsep seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, bai’bithaman ajil,
ijarah, qardh ul-hasan, isthisna, dan ijarah thumma al-bai. Sampai saat
ini produk-produk perbankan syariah terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Malaysia.
Pangsa
pasar perbankan syariah disbandingkan industry perbankan adalah sebesar 12,3%
dengan nilai RM 147 miliar. Target resmi dari pangsa pasar perbankan Islam
ditetapkan sebesar 20% pada tahun 2010. Pada saat ini terdapat 18 bank Islam
dan 9 takaful beroperasi di Malaysia. Para pemain perbankan Islam meliputi 2
bank Islam dalam negeri. 9 perusahaan anak yang melakukan kegiatan
berdasarkan syariah, 3 bank Islam milik asing, dan 4 unit usaha syariah. Ada
sebanyak 100 produk keuangan Islam (meliputi asset maupun liability) yang pada
saat ini ditawarkan bank-bank Islam dengan menggunakan konsep Islam.
b.
Singapura
Sekalipun
mulai terlambat tapi Singapura bermaksud untuk mengikuti negara- negara
lain dalam memberikan perhatiannya kepada perbankan Islam.
Pada
2007, the Development Bank of Singapore (DBS) Group Holdings dan suatu kelompok
investor dari Timur Tengah medirikan bank Islam pertama disebut Islamic Bank of
Asia. Bank tersebut memiliki paid-up capital sebesar $ 418 juta dengan rencana
akan ditingkatkan menjadi $ 500 juta. DBS adalah bank terbesar DI
Asia Tenggara, memiliki saham sebesar 60% dengan menempatkan modal di bank
tersebut sebesar $ 250 juta.
Dalam
rangka menumbuhkan perbankan syariah di Singapura, the Monetary Authority of
Singapore (MAS) pada pertemuan puncak yang ke-6 dari Financial Service Board
(FSB) yang diadakan 7 Mei 2009 mengumumkan bahwa MAS telah mengeluarkan
seperangkat pedoman (guidelines) mengenai Application of Banking Regulations to
Islamic Banking. Di samping itu, MAS memastikan bahwa terhadap sukuk dalam mata
uang Singapura diberikan perlakuan perpajakan, peraturan, dan fasilitas
likuiditas yang sama dengan Singapore Govenrment Securities.
c.
Hong Kong
Donald
Tsang, yaitu Chief Executive and Head of Government of Hong Kong, dalam pidato
kebijakannya pada 2007 mengemukakan bahwa pengembangan perbankan Islam
merupakan prioritas bagi Hong Kong. Selanjutnya Donald Sang bahwa Hong
Kong Monetary Authority sedang menggarap sektor keuangan untuk mengenmbangkan
produk-produk yang complied with Islamic finance’s strict rules, where interest
payments and profits earned from Al/Cohol, pornography, pork, or gambling are
all banned.
Hong
Leong Bank dari Malaysia merupakan bank pertama yang diperbolehkan menawarkan
jasa-jasa perbankan Islam di Hong Kong. Bank tersebut berupaya untuk dapat
merebut pasar di Cina daratan dan bagian barat dan utara Asia.
d.
Indonesia
Rintisan dan diskusi praktek perbankan islam di Indonesia dimulai
awal periode 1970-an, beberapa tokoh yang telibat didiskusi dalam mewujudkan
peran bank islam antara lain adalah karnaen A Perwataatnadjaa, M Dawam Raharjo,
AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan islam
dipraktekkan dalam skala yang relative terbatas seperti di bandung ( Bait
At-Tamwil Salman ITB) dan Jakarta ( Koperasi Ridho Gusti).[33]
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian bank islam di Indonesia
baru dilakukan tahun 1990). Pada tanggal 18-20 agustus, majelis ulama Indonesia
(MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di cisarua, bogor,
jawa barat.[34]
Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI
di Jakarta 22-25 agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan
kelompok kerja pendirian bank islam di Indonesia. Kelompok kerja tersebut
adalam tim perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan
konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil keja tim perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT.
Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang didirikan tanggal 1 November 1991). Dan
secara resmi BMI beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.380.000,-
sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[35]
Setelah dua tahun beroperasi, bank muamalat mengsponsori pendirian
asuransi islam pertama di Indonesia, yaitu Serikat Takaful Indonesia dan
menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, bank
muamalat mengsponsori lokakarya Ulama tentang reksa dana syariah yang kemudian
diikuti oleh beroperasinya lembaga reksa dana syariah oleh PT. Danareksa. Pada
tahun yang sama pula, sebuah lembaga berbagai pembiayaan (multifinancen) syariah
berdiri, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.[36]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Saeed, Islamic Banking A
Study of the Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation,
Leiden: New York, Brill, 1996,
Abdus Samad and M. Kabir Hassan,
“The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory
Study”, International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1
No.3.
Adiwaman azwar karim, sejarah
pemikiran ekonomi islam, Jakarta: raja grafindo persada, 2006,
Ahmed El-Ashker, Rodney Wilson,
Islamic Economics, Boston, brill, 2006.
Atang Abd.Hakim, Fiqh Perbankan
Syari’ah, (Bandung: Refika Aditama,2011).
Contemporary Bank Transactions and
Islami’s View Thereon dalam Islamic Thought, Vol. II(394).
(Aligarh, July 1967).
Fiqh Mu’amalat Al-maliyah Wa Al-mushrofiyyah, Damaskus 2007.
Gita Danupranata, Manajemen
Perbankan Syariah, (Jakarta, Salemba Empat, 2013)
Hasbi Hasan, Pemikiran dan
Perkemabangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011)
Jaya Miharja, Sistem Aktivitas
Ekonomi Masyarakat, Arab Pra- Islam, El-Hikam, Vol. 3, No. 1, Januari- Juli
2010
Karen Armstrong, Islam a Short
History, New York, Modern Library 2002, Hal.
Kharidul Muhdiiah, analisis Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik, Iqtishadia, Vol 8, No, 2, September
2015.
M.N. Siddiqi, Banking Without
Interest , Leicester,UK, 1998.
Mairijani, analisis swot
perkembangan bank syariah di negara-negara muslim, jurnal hokum islam,
Volume 10, Nomor 1, Juni 2012
Muhammad Baqir al-Sadr, Iqtisaduna,
vol. 1, part, 1,op.cit.,
Muhammad syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
Jakarta: gema insani,2001.
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna,
Volume III Nomor 1 juni 2012.
Nurul Huda, lembaga Keuangan
Islam, (Jakarta: kencana, 2010)
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank
Syariah,(Yogyakarta, Graha Ilmi, 2012)
Syukri Iska, Sistem Perbankan
Syari’ah di Indonesia,(Yogyakarta:Fajar Media Press,2012).
Veithzal rivai, dan andi buchari, Islamic economics, Jakarta, bumi aksara 2013.
World Islamic Banking
Competitiveness Report, 2014-2015.
Yousef Alhozaimy, “The
Islamisation of Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) and the Financial System
in the Kingdom of Saudi Arabia, Experience from Selected Muslim
Countries”,Bangor Business School, Bangor University, 14 September
2009.
Zamir Ikbal, pengantar keuangan
islam teori dan praktek, (Jakarta: kencana, 2008)
Zianuddin Ahmad, The Present
State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic Banking and Finance, Autum
1985
[1] Fiqh Mu’amalat Al-maliyah Wa
Al-mushrofiyyah, Damaskus 2007 hal 23
[2]
Ahmed El-Ashker, Rodney Wilson, Islamic Economics, Boston, brill, 2006.
hal 14
[3]
Jaya Miharja, Sistem Aktivitas Ekonomi Masyarakat, Arab Pra- Islam, El-Hikam,
Vol. 3, No. 1, Januari- Juli 2010
[4]
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia,(Yogyakarta:Fajar
Media Press,2012),hal. 11
[5]
Kharidul Muhdiiah, analisis Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik,
Iqtishadia, Vol 8, No, 2, September 2015.
[6]
Atang Abd.Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, (Bandung: Refika
Aditama,2011),hal.41
[7]
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan
Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III
Nomor 1 juni 2012. Hal. 19
[8]
Karen Armstrong, Islam a Short History, New York, Modern Library 2002,
Hal. 55
[9]
Adiwaman azwar karim, sejarah pemikiran ekonomi islam, Jakarta: raja
grafindo persada, 2006, hal.10
[10] Hasbi
Hasan, Pemikiran dan Perkemabangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam
Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011) Hal. 35
[11]
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran
Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni
2012. Hal. 21
[12]
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan
Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III
Nomor 1 juni 2012. Hal. 19
[13]
Abdullah Saeed, Islamic Banking A Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporery Interpretation, Leiden: New York, Brill, 1996, hal. 5
[14] Ibid,
7
[15] Contemporary
Bank Transactions and Islami’s View Thereon dalam Islamic Thought, Vol.
II(394). (Aligarh, July 1967), p. 10
[16]
Veithzal rivai, dan andi buchari, Islamic
economics, Jakarta, bumi aksara
2013. Hal. 107
[17]
M.N. Siddiqi, Banking Without Interest , Leicester,UK, 1998, p. 15
[18]
Hasbi Hasan, Hal. 48
[19]
Abdullah Saeed, Islamic Banking A Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporery Interpretation, Leiden: New York, Brill, 1996, hal. 10
[20]Muhammad
Baqir al-Sadr, Iqtisaduna, vol. 1, part, 1,op.cit., p.74
[21] Veithzal
rivai, dan andi buchari, Islamic
economics, Jakarta, bumi aksara
2013. Hal. 107
[22]
Abdus Samad and M. Kabir Hassan, “The Performance of Malaysian Islamic Bank
During 1984-1997: An Exploratory Study”, International Journal of Islamic
Financial Services Vol. 1 No.3.
[23]Yousef
Alhozaimy, “The Islamisation of Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) and the
Financial System in the Kingdom of Saudi Arabia, Experience from Selected
Muslim Countries”,Bangor Business School, Bangor University, 14 September
2009.
[24]
Mairijani, analisis swot perkembangan bank syariah di negara-negara muslim,
jurnal hokum islam, Volume 10, Nomor 1, Juni 2012
[25]
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan
Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III
Nomor 1 juni 2012. Hal. 21
[26]
Hasbi Hasan, Hal. 48
[27]
Hasbi Hasan, Hal. 51-52
[28] World
Islamic Banking Competitiveness Report, 2014-2015. Hal. 10
[29]
Muhammad syafi’I Antonio, Bank Syariah
dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema insani,2001. Halm18-19
[30]Abdullah
Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the
Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ
Brill, 1996).
[31]Zianuddin
Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic
Banking and Finance, Autum 1985, p. 48
[32]
Zamir Ikbal, pengantar keuangan islam teori dan praktek, (Jakarta:
kencana, 2008) hal.32
[33]
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah,(Yogyakarta, Graha Ilmi, 2012)
hal 51
[34]
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta, Salemba Empat,
2013) hal. 33
[35]
Nurul Huda, lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: kencana, 2010) hal 33
[36]
Gita Danupranata, hal. 33
No Deposit Free Spins | Betpoint Casino | Best New Betting Sites 2021
BalasHapusWe tested our No Deposit Bonus codes. Betpoint vua nhà cái Casino offers a 100% match bonus ラッキーニッキー up to $1000. Read matchpoint now.