Minggu, 11 Desember 2016

PERKEMBANGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH


BAB I
PENDAHULUAN

            Awal abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara luas dikenal sebagai permulaan zaman kebangkitan Islam kembali. Sebagian yang bertanggung jawab untuk kebangkitan ini, yaitu Jamal Al- Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Rida, Muhammad Iqbal, Hassan Al-Banna, Sayyid Qutub, dan Abdul Mawududi. Pemikiran mereka menjadi daya dorong untuk orang Islam dalam menerapkan Islam yang mengajar dalam semua aspek mencakup politik, sosial, dan ekonomi.
            Sebagai dampak positif dari pemikiran para tokoh Islam tersebut, dalam ilmu ekonomi khususnya, disesuaikan kembali dengan prinsip-prinsip Islami. Hal ini dapat disebut sebagai islamisasi ilmu ekonomi yang konvensional (konsep yang memperbolehkan riba). Tantangan untuk memperluas prinsip Islam yang tertuang dalam ekonomi terus dihadapi oleh tokoh-tokoh Islam yang ingin menerapkannya di dunia perbankan. Namun, perkembangannya semakin signifikan, karena ternyata perbankan syariah tidak hanya sekadar alternatif, namun sebuah solusi untuk menghadapi krisis keuangan dunia.
            Perkembangannya di negara-negara lain dimulai sejak tahun 1974. Berawal dari Islamic Development Bank, kemudian diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam di Timur Tengah seperti The Islamic Bank of Faisal di Mesir pada tahun 1977, The Islamic of Faisal di Jordania, dan Islamic Investment Company Ltd. di Uni Emirat Arab pada tahun 1977 dan diikuti negera-negara lainnya.
            Pada makalah yang sederhana ini, akan dibahas mengenai munculnya perbankan Islam di berbagai negara, pendirian bank-bank syariah, serta perkembangan perbankan syariah di dunia.



BAB II
PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH

A.    Sitem ekonomi arab pra islam
Pada masa pra islam yang disebut masa jahiliyah sudah melakukan transaksi berbau riba. Ath- Thabari mengatakan: “pada masa jahiliyah, praktik riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun. Misalnya seorang berhutang, ketika sudahjatuh tempo, datanglah pemberi hutang untuk menagihnya seraya berkata, engkau akan memberikan hutangmu ataukaah akan memberi tambahan (bunga) nya saja kepadaku ? jika ia memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya. Jika tidak, maka ia akan menyempurnakannya hingga satu tahun kedepan. Jika hutangnya berupa berumur satu tahun, maka pembayarannya menjadi anak untu yang berumur dua tahun pada tahun kedua, kemudian ia akan menjadikannya anak untu yang berumuran tiga tahun, kemudian menjadikannya unta dewasa. Selanjutnya kelipatan empat keatas. Juga dalam hutang emas maupun hutang uang, berlaku riba.[1]
Perekonomian yang berkembang pada masa pra islam di tanah arab adalah pertanian dan perdagangan. Di samping itu perdagangan adalah unsur penting dalam perekonomian masyarakat arab pra islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama arab, tetapi juga dengan non arab. Kemajuan bangsa arab pra islam dimungkinkan antara lain Karena pertanian yang telah maju. Kemudian dengan adanya ekpor impor yang mereka lakukan. Para pedagang arab selatan dan yaman pada 200 tahun menjelang islam dating, telah mengadakan transaksi dengan india (asia selatan), negeri pantai afrika, sejumlah negeri teluk Persia, asia tengah dan sekitarnya.[2]
Sebagai pelaku ekspor inpor, jazirah arab memiliki pusat kota tempat bertransaksi yaitu kota mekkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang setiap tahunnya dikunjungi, teritama karena di situ lah terdapat bagunan suci ka,bah. Selain itu di uka terdapat pasar sebagai tempat transaksi dari berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan keudayaan. Kerena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban baik politik, ekonomi, dan budaya yang penting
Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasonal, yaitu menghubungkan Makkah ke abysinia seterusnya menuju ke afrika tengah. Makkah ke damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah ke al-machin (Persia) ke Kabul, Kashmir, singking (sanjian) sampai ke zaitun dan canton, selanjutnya menembus daerah melayu. Selain itu juga darimakkah kea den melalui laut ke india, nusantara, hingga canton (al-haddad). Hal ini meyebabkan masyarakat Makkah memiliki peran strategic untuk berpartisipasidalam dunia perekonomian tersebut. Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu para kolongmerat yang memili modal, kedua, para pedagang yan gmengelola modal dari kolongmerat, dan ketiga para perampok atau rakyat biasa yang memberikan jaminan keamanan kepada para khalifah pedagang dari perantauan , mereka mendapatkan laba keuntungan sebesar sepulih persen.[3]
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajak yang sangat tinggi.
B.     Keuangan dan perbankan pada masa rasulullah
Keuangan dan perbankan adalah salah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah saw[4]. Praktekpraktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Dengan demikian, fungsi-fungsi utama keuangan dan perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah saw.
Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya.[5]
Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh.
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudhārabah, musyārakah, muzāra’ah, musāqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar[6].
Jelasnya bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi keuangan dan perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi keuangan dan perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Beberapa istilah keuangan dan perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.[7]
Praktek Keuangan dan Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah Institusi keuangan dan bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi keuangan dan perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah.
Di zaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi keuangan dan perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi keuangan dan perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. [8]
Keuangan dan perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarrāf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (mone;y changer).
Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawwiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan institusi keuangan dan perbankan pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibn Imran dan Joseph ibn Wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang bankir sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen.
 Kemajuan praktek keuangan dan perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut.
Para pelaku money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah keuangan dan perbankan, adalah Sayf al Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
Menurut Muhammad Najatullah siddiqi, sejarah pemikiran ekonomi syariah telah mengalami 3 periode perkembangan, yaitu periode pertama masa awal islam, 450 H/ 1058 M, periode kedua 450 – 850 H/ 1058-1446 M, periode ketiga 850- 1350H/ 1446-1932M.[9] periode pertama dikenal dengan fase dasar-dasar ekonomi syariah yang dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh kaum sufi dan kemudian oleh para filsuf. Dengan mengacu kepada Al-Quran dan hadis, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah ( disutulity) yang terkait dengan aktifitas ekonomi.
Fase kedua dikenal dengan fase kemajuan ekonomi. Fase ini merupakan dase perkembangan yang cemerlang Karena meninggalkan warisan intelektual yang kaya. Para cendikiawan muslim dimasa ini mampu menyusun kondep tentang badaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi seharisnya, yang berlandasakan Al-Quran dan sunah nabi. Namun disisi lain, mereka menghadapi realitas politik yang ditandai dua hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan bani abbasiyah dan terbaginya kerajaan kedalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasrkan pada kekuatan penguasa ketimbang kehendak rakyat. Kedua: merebaknya korupsi dikalangan para penguasa tertinggi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan yang semakin lebar antara sikaya dengan simiskin.
Fase ketiga dikenal dengan fase stragnasi. Merupakan fase tertutupnya pintu ijtihat (independent judgement). Pada fase ini para fukaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing aliran. Manun demikian, terdapat gerakan pembaharuan islam dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-quran dan hadis sebagai pedoman hidup.[10]
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya praktik-praktik riil terkait dengan aktivitas keuangan dan perbankan memang telah dianggap menjadi bagian hidup masyarakat muslim pada saat itu. Berdasarkan uraian terkait perkembangan fiqh keuangan dan perbankan perspektif sejarah dapat digambarkan sebagai berikut:[11]
Fase
perkembangan pemikiran ekonomi, keuangan dan perbankan


fase 1                      (abad 11 M/ 5 H
Zaid Bin Ali ( 80H/ 738 M)
keabsahan jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi daripada jual beli secara tunai
Abu Habifah ( 150 H/ 767 M)
jual beli salam
pembelaan hak-hak kaum lemah

Abu Yusuf ( 182 H/ 798M)
keuangan Publik
pembentukan dan pengendalian harta

Ash- Syaibani (189 H/ 804 M)
Konsep Kerja
perilaku konsumen dan produsen
spesialisasi dan distribusi pekerjaan

Ibn Maskawaih ( 421 H/ 1030 M)
konsep Uang
Fase II                            ( Abad 11-15 M)
Al-Ghazali ( 505 H/ 1111 M)
perilaku konsumen
evolusi pasar
konsep uang
Pajak

Ibnu Taimiyah ( 728 H/ 1328 M)
konsep harga
Hisbah
keuangan negara
konsep uang

Ibnu Kaldun ( 808 H/ 1406 M)
keuangan public
konsep harga
konsep uang
teori produksi

Al-Maqrizi ( 845 H/ 1441 M)
konsep uang
teori inflasi
FASE III
Abad 15-19 M
Shah Waliyullah

Jamaluddin Al-Afghani

Muhammad Abduh

Muhammad Iqbal






C.     Asal Usul Berdirinya Bank Islam
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syari'ah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur'an dan assunnah Nabi Muhammad, SAW. Dengan kata lain, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.
Label syari'ah pada aktivitas suatu bisnis, dimaksudkan untuk memberikan penekanan adanya penghindaran yang optimal terhadap unsur ribawiyyah yang semestinya harus dielakkan baik dalam operasionalisasinya, produk-produknya, maupun dalam teknis pengelolaannya. Karena munculnya aktivitas perekonomian kontemporer tanpa dibingkai oleh norma-norma religiusitas pada akhirnya akan memunculkan eksploitasi oleh seseorang dengan menggunakan uang atau modal yang dimiliki untuk menekan pihak lain guna mengambil keuntungan bagi dirinya secara semena-mena.
Oleh sebab itulah untuk menjamin bahwa bank Islam dalam pengoperasiannya tidak menyimpang dari tuntunan syari'ah, maka pada setiap bank Islam hanya diangkat manajer dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam. Selain daripada itu di bank ini dibentuk Dewan Pengawas Syari’ah (kalau internasionalnya ada “The Higher Shariah Supervisory Council” yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syari'ahnya.[12]
Dalam usahanya, bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utama. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain memindahkan uang, menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya, membeli dan menjual surat-surat berharga, membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang dan memberi jaminan bank. Oleh sebab itulah Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah sebagai pijakan utama dalam kegiatan dan usaha bank.
D.    Gerakan Kebangkitan Islam
Gerakan kebangkitan Islam (Islamic Revivalism), dapat dikatakan juga sebagai ”tajdid”, merupakan sebuah proses pembaharuan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam untuk menghidupkan kembali semua struktur sosial, moral, dan agama kepada dasar aslinya, yaitu al-Qur'an dan as-sunnah. Umat Islam, sebagaimana umat lainnya, telah mengalami sebuah siklus kemajuan dan kemunduran yang diikuti oleh upaya menghidupkan kembali pembentukan kerangka moral-kemasyarakatan. Secara umum, pada abad pertengahan tampak benar-benar sebagai sebuah periode kemandekan intelektual yang melanda seluruh kehidupan dunia Islam. Fenomena tersebut terjadi tepatnya setelah terbentuknya mazhab hukum klasik dalam Islam. Terbentuknya empat mazhab hukum klasik tersebut mendorong mandegnya upaya penelitian dan perubahan yang biasa dilakukan oleh para ulama. Abad ke-XI Masehi adalah merupakan awal kemunduran, di mana para rasionalis, ulama dan para filosuf tidak lagi mempunyai keseragaman pendapat dan cenderung tidak lagi saling tolerir terhadap berbagai pendapat. Pada abad ini juga sistem pendidikan Islam dirasuki oleh sekte-sekte teologi dogmatik.[13]
Kemudian pada abad ke-XIII terjadi pengrusakkan kebudayaan yang menjadi bagian penting dari khazanah dunia Islam oleh Bangsa Mongol yang mengakibatkan iklim politik anarkis dan kehidupan sosial-budaya menjadi kacau balau dan kevakuman hukum. Selama abad XIX dan XX Masehi, gerakan kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) mulai muncul di dunia Islam. Gerakan ini berusaha melawan kejumudan dalam pemahaman agama dan kemerosotan moral yang melanda seluruhmasyarakat Muslim. Gerakan kebangkitan Islam pada periode ini memiliki karakter sebagai berikut: (a) memusatkan perhatian yang mendalam terhadap permasalahan sosial dan kemerosotan moral masyarakat Muslim, (b) memurnikan kembali ajaran Islam dan meninggalkan sikap berkhayal yang ditanamkan oleh para sufi, (c) berusaha melakukan ijtihad dengan memikirkan dan menginterpretasikan kembali maksud syara’ dengan membuang jauh-jauh anggapan tentang tertutupnya pintu ijtihad. Gerakan ini pula turut mempengaruhi terhadap munculnya beberapa gerakan selanjutnya, yaitu gerakan modernis (modernism) dan gerakan neo-Revivalis (neorevivialism).
Pada umumnya, gerakan modernis (modernism) muncul pada paruh kedua abad XIX Masehi. Gerakan ini menekankan akan pentingnya melakukan penyegaran pemikiran Islam dengan cara membangkitkan kembali gelombang ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan dari al-Qur'an dan Sunnah, dan berusaha memformulasikan kebutuhan hukum dengan tetap berdasarkan pada prinsip. Para modernis mengkritisi apa yang disebut atomistic. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh aturan-aturan hukum secara langsung dari al-Qur'an dan as-sunnah dengan senantiasa memperhatikan fenomena yang melatarbelakanginya. Sehingga diharapkan akan mampu menjawab berbagai problematika kehidupan.
Adapun ciri-ciri dari gerakan modernis adalah sebagai berikut: (a) selektif dalam menggunakan sunnah; (b) mengembangkan pola berpikir yang sistematis dengan menghilangkan anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup; (c) membuat perbedaan antara syari'ah dan fiqh; (d) Menghindari paham yang menonjolkan sektarian; dan (e) mengubah karakteristik metodologi berpikir, namun tidak perlu menyentuh aspek hukum mazhab klasik.
Gerakan ini tumbuh tepatnya mulai paruh pertama abad XX M, yang merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) yang muncul pada abad XIX dan permulaan abad XX M. munculnya gerakan neo-Revivalisme sebagai reaksi terhadap gelombang sekularisasi yang melanda dunia Islam. Diantara gerakan neo-Revivalisme yang berkembang di Mesir adalah Ikhwanul Muslimin di dirikan oleh aktivis dan pembaharu kebangsaan Mesir Hasan al-Banna, diIndia ada Jami’iyat al-Islam didirikan oleh Sarjana Pakistan Abu A’la al-Maududi.
Sikap dari gerakan Ikhwanul Muslimin terhadap propaganda westernisasi, bahwa westernisasi sangat ingin menguasai dunia Islam, oleh sebab itulah kekuasaan asing harus disingkirkan untuk membebaskan umat dari belenggu eksploitasi musuh, diantaranya kekuasan barat terhadap ekonomi. Gerakan neorevivalis (neo-Revivalism) merupakan sebuah gerakan yang ingin mengangkat relevansi ajaran Islam dalam sebuah masyarakat saat ini, serta berusaha menunjukkan kekuatan Islam di mata Barat. Kedua gerakan ini menegaskan bahwasanya dalam membina masyarakat harus dilandasi dengan dasar al-Qur'an dan as-sunnah Nabi Muhammad, SAW. Pentingnya berpegang pada nilai dan prinsip hukum yang terkandung dalam alQur'an dan as-sunnah dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun administrasi institusional.
Fungsi ijtihad menurut pandangan neo-Revivalis hanya dilaksanakan terhadap permasalahan yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur'an maupun assunnah. Dengan logika berpikir demikian, mereka hanya menekankan pembahasan al-Qur'an mengenai permasalahan hudud (punishment), hukum keluarga, serta berusaha mengidentifikasi bunga (interest) pinjaman sebagai riba.[14] Gerakan neo-Revivalis menempatkan syari'ah sebagai aturan hidup secara berkesinambungan dalam setiap waktu dan tempat. Kehadiran gerakan Modernis dan neo-Revivalis tersebut sebenarnya telah menghiasi bentuk pemikiran Islam dalam lintas sejarah modern, dimana gerakan neo-Revivalis telah berpengaruh besar terhadap perkembangan teori perbankan Islam. Teori ini telah berkembang secara luas ke dalam ruang lingkup seputar masalah perbankan dan keuangan yang diambil berdasarkan penafsiran tradisional tentang riba.
E.     Faktor-faktor Pendorong Munculnya Bank Syariah
Ketika seluruh institusi dan lembaga keuangan global telah berkubang pada lautan ekonomi dunia yang tidak bisa melepaskan diri dari bunga. Ada harapanharapan yang dibarengi dengan semangat dari sebagian kalangan untuk menciptakan suatu lembaga keuangan yang terbebas dari bunga. Walaupun hingga awal abad ke- 20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik daribidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi terhadap berbagai masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul .
Pendirian sebuah institusi perbankan adalah merupakan suatu kemutlakan yang fungsi utamanya adalah untuk mengelola kekayaan masyarakat, tetapi nantinya ada pertentangan mengenai masalah bunga yang diinterpretasikan riba sehingga berdampak kepada keraguan tentang pendirian bank tersebut. Menurut pendapat Muhammad Abdullah al-‘Arabi[15] pendirian sebuah bank Islam diperlukan dengan didasarkan kepada aqad Mudharabah, sehingga hal ini akan menghindarkan daripada riba.
Sebelum pertama kali terbentuknya bank-bank Islam, banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya yaitu antara tahun 1960-an dan 1970-an, diantara faktor yang penting adalah (1) Upaya neo-Revivalis dalam memahami hukum tentang bunga sebagai riba; (2) Adanya kekayaan negara akan minyak melimpah; (3) Penerimaan terhadap interpretasi tradisional tentang riba untuk dipraktekkan oleh beberapa negara muslim sebagai bentuk kebijaksanaannya. Pada abad XIX, barat mulai mendirikan bank berdasarkan bunga di negara-negara Islam. Hal ini menggugah keperdulian beberapa figur seperti Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, sebagai pembaharu dalam pemikiran Islam mereka berusaha melakukan akomodasi terhadap beberapa bentuk permasalahan bunga).[16]
Pertumbuhan gerakan kebangkitan Islam pada abad XIX dan XX yang dilakukan oleh para ulama dan pembaharu menentang pelaksanaan bank berdasarkan bunga karena mengganggap bahwa bunga bank termasuk kepada riba. Di Mesir, sejak tahun 1930-an muncul gerakan yang dinamakan Ikhwanul Muslimin yang melakukan kritik keras terhadap pelaksanaan sistem keuangan yang didasarkan atas bunga di Mesir maupun di dunia muslim lainnya. Ikhwanul Muslimin menganjurkan kepada umat Islam untuk melaksanakan ideologi Islam dalam segenap prilaku dan aspek kehidupan. Karena adanya anggapan bahwa bunga bank termasuk kepada riba maka semua aktivitas yang berkaitan dengan bunga, baik yang dilakukan oleh institusi maupun individu harus dihilangkan. Hasan al-Banna sebagai pemimpin Ikhwanul Muslimin pada tahun 1947 mengirimkan surat kepada para pemimpin Negara Arab dan Negara-negara Islam lainnya mengajak untuk melakukan perubahan terhadap sistem perbankan agar terbebas dari bunga (free-interest). Begitu juga halnya dengan Jami’at Islami pimpinan Abu al-‘Ala al-Maududi di India.
Perhatian institusi tentang bunga dan usaha untuk mengembangkan model bank Islam yang bebas bunga bergerak secara serentak dilakukan pada tahun 1950-an dan 1960-an. Usaha awal sebagaimana telah dikerjakan oleh Anwar Iqbal Qureshi pada tahun 1967 mendiskusikan tentang bank bebas bunga dalam artikel “Islam and the Theory of Interest” serta risalah Maududi tentang “riba”. Muhammad Uzair sebagai pionir perumusan teori bank Islam dalam “Groundwork for Interest-free Banking” (ringkasan yang telah dipuplikasikan pada tahun 1955 sebagai garis besar mengenai bank tanpa bunga). Pada tahun 1960-an, muncul tulisan dari kalangan sarjana Syi’ah seperti Baqir al-Sadr , M. N. Siddiqi[17], dan Ahmad al-Najar yang merupakan figur pemimpin Mesir pertama yang melakukan eksperimen bank Islam telah menghasilkan bentuk yang komprehensif dari bank bebas bunga.[18] Banyak sekali buku-buku dan artikel yang menulis tentang perbankan Islam dan permasalahan bunga dari tahun 1950-an sampai dengan awal tahun 1970-an, dalam bentuk bahasa Arab, Inggris maupun Urdu. Pemikiran dari neo-Revivalis inilah yang mempengaruhi mulai berdirinya bank-bank Islam.[19]
Dalam skim yang dicadangkan oleh Ahmad al-Najjar, bank adalah sebuahinstitusi yang dibentuk untuk menggalakkan tabungan supaya ia dapat digunakandengan berfaedah di dalam sektor luar bandar dengan akad perkongsian. Bankmempunyai "Tabung Perkhidmatan Sosial" yang menarik sumbangan zakat daripadaorang ramai dan menyusun perkhidmatan sosial di kawasan berkenaan. Beliau tidakmembincangkan bagaimana urusan bank tanpa riba beroperasi melalui mekanismeperkongsian untung dan rugi. Sebaliknya menurut beliau, isu yang lebih penting ialahmenyusun semula ekonomi negara-negara Islam yang mundur supaya membangun danmaju.
Skim perkongsian yang diajukan oleh Muhammad Baqir al-Sadr berlainandengan skim yang telah dibincangkan sebelum ini. Beliau mencadangkan supaya parapendeposit (penyimpan) dalam bank Islam dibebaskan daripada liabiliti kerugian. Iniadalah kerana bank menurut beliau ialah sebuah institusi perantaraan keuangan yang tidak mengambil bagian secara langsung dalam pelaburan produktif. Beliaumenjustifikasikan jaminan ini dari sudut hukum dan tidak memperdulikan tentangrasionaliti dari sudut ekonomi. Bagi mempastikan bank itu mendapat pendapatan yangmunasabah, beliau mencadangkan supaya bank mengenakan bayaran perkhidmatan(ji'alah, reward, pay, remuneration or compensation in return for work), bahkan lebihjauh lagi beliau menyarankan supaya bank Islam berkenaan menyimpan dananya di bank-bank konvensional yang berasaskan riba untuk memenuhi keperluan tertentu.[20]

Penghasilan minyak yang melimpah di beberapa negara Islam seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain menjadi faktor penting dalam pengembangan bank-bank Islam. Meskipun pada awal permulaan eksperimen pendirian bank Islam seperti yang terjadi di Malaysia pada pertengahan 1940-an, Jami’iyat Islamiyah di India, bank Mit Ghamr di Mesir, dan bank Sosial Nasser, tidak berhubungan dengan kekayaan minyak di Arab, tapi laju pertumbuhan bank-bank Islam pada level nasional dan internasional terjadi setelah harga minyak meningkat tajam pada tahun 1973 dan 1974 setelah Arab Saudi melakukan embargo minyak sehingga pendapatan meningkat tajam sampai 400%. hampir seluruh bank-bank Islam yang didirikan sekitar tahun 1970-an di Timur Tengah di biayai oleh kekayaan minyak. Pengembangan bank Islam secara keseluruhan modalnya kira-kira US$ 2 Milyar, lebih dari 60% pemegang saham adalah produksi minyak Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Libya. Bank Islam Dubai, Departemen Keuangan Kuwait, Bank Islam Bahrain, Bank Islam Qatar, Bank Islam Faisal di Bahrain, Nigeria dan Senegal, bank-bank al-Baaraka Group Shaykh Saleh Kamil dan Dar al-Mal al-Islami (DMI) Pangeran Saudi Muhammad Faisal secara keseluruhan didirikan oleh hasil kekayaan minyak. Di Negara non-eksportir minyak-pun bank-bank Islam yang berdiri dibiayai dari penghasilan kekayaan minyak. [21]
Berdasarkan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh para penegak hukum dari beberapa negara Muslim yang beranggapan bahwa tanpa mendirikan bank Islam mungkin cita-cita untuk menghilangkan bunga dari sistem perbankan hanya akan tetap eksis dalam dataran teori. Keputusan-keputusan politik tersebut termanifestasikan ke dalam tiga sektor, yaitu: (1) larangan terhadap bunga sebagai bentuk kebijakan hukum yang diambil oleh beberapa negara Islam; (2) keputusan untuk mendirikan Bank Islam Internasional; (3) partisipasi pemerintah Muslim dalam mendirikan bank Islam.
Adapun larangan terhadap bunga sebagai bentuk kebijakan hukum yang diambil oleh beberapa negara Islam, bahwa larangan terhadap bunga, pada satu sisi berdasarkan pernyataan yang telah berlaku di masyarakat dan juga dalam hukumhukum niaga yang berlaku di beberapa negara Muslim. Misalnya yang terjadi di Arab Saudi, berdasarkan piagam Saudia Arabian Monetary Agency (SAMA)[22] pada oktober 1952 Bank Central Saudi. Pendirian badan ini atas usulan dari IMF sebagai program untuk mengembangkan sistem moneter suatu negara. Pada tahun 1957, Al-Rajhi Bank sebagai bank Islam pertama yang didirikan di Arab Saudi. Saat ini Bank Al-Rajhi merupakan bank Islam terbesar di dunia dalam hal kapitalisasi pasar dengan total aset sebesar US$ 33 miliar dan kapitalisasi pasar sebesar US$ 4 miliar. Setelah itu muncul bank-bank Islam lainnya seperti Bank Alinma, Bank Aljazira dan Bank Albilad.[23]Secara eksplisit melarang SAMA untuk menerima maupun membayar bunga. Dalam tulisan kedua dari piagam tersebut berbunyi “bahwa SAMA tidak akan membayar atau menerima bunga, tetapi hanya akan memberi beberapa biaya, ongkos pelayanan diberikan kepada masyarakat dan pemerintah supaya mengganti biaya yang dikeluarkan”. Jadi di sini, bahwa ketetapan dan kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara Islam yang berkomitmen tentang larangan daripada bunga sangatlah diperlukan.[24]
F.      Telaah Perbankan Syariah di Berbagai Negara
            Merebaknya bank konvensional dengan konsep pembungaan uang mulai merebak pada tahun 1545, saat Raja Henry VIII memimpin.  Lalu, ketika ia digantikan oleh Raja Edward VI, konsep bank dengan pembungaan uang mulai dihapuskan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah Raja Edward VI wafat, ia digantikan oleh Ratu Elisabeth I, yang memperbolehkan kembali praktik pembungaan uang. Setelah Renaissance, bangsa Eropa melakukan penjajahan ke seluruh penjuru dunia, akibatnya institusi-institusi perekonomian umat Islam yang mulai bangkit menjadi runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa.[25]
            Hingga awal abad ke-20, bank syariah hanya merupakan bahan diskusi teoritis. Belum ada langkah nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam, namun pamornya masih dikalahkan oleh bank konvensional.
            Banyak usaha terus dikembangkan, sehingga dirancanglah bank tanpa bunga pertama kali yang dilakukan di Malaysia pada pertengahan 1940, namun usaha tersebut tidak berhasil. Kegagalan Malaysia tidak mengendurkan semangat ekonom Islam untuk terus mendirikan bank yang menggunakan konsep Islam, hal ini terus berkembang dengan usaha-usaha brilian para ekonom muslim tersebut. Kini, tidak hanya negara yang berpenduduk Islam mayoritas, negara yang berpenduduk Islam minoritas pun mulai mengembangkan produk-produk perbankan syariah.
            Gagasan berdirinya bank syariah di kanca internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia yang diselenggarakan di Kuala Lunmpur, Malaysia pada tanggal 21-27 April 1969. Konferensi yang diikuti oleh 18 negara peserta itu memutuskan beberapa hal sebagai berikut:[26]
1.      Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi. Jika tidak demikian, maka hal itu termasuk riba, dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram.
2.      Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin.
3.      Sementara bank syariah belum berdiri, bank-bank yang menerapkan bunga masih diperbolehkan untuk beroperasi, hanya apabila memang benar-benar dalam keadaan darurat.
Adapun lembaga perbankan yang berbasis islam yang berkembang pada saat itu di dunia muslim antara lain:[27]
1.      Nasser social bank ( 1971)
2.      Dubai Islamic bank (1975)
3.      Kuwait finance house (1977)
4.      Faisal Islamic bank mesir dan sudan (1977)
5.       The Islamic investment company, Nassau (1977)
6.      Jordan Islamic bank (1978)
7.      The Islamic investment company of the gulf, Sharjah (1978)
8.      Bahrain Islamic bank (1978)
9.      The islamic international bank for investment and development, mesir bank (1980)
10.  The sharia investment sevice, genawa (1980)
11.  The Bahrain Islamic investment bank, Manama (1980)
12.  The dar Al-maal Al- islami Ltd, genewa (1981)
13.  The international Islamic bank of dacca Bangladesh (1982)
14.  Masraf faysal al-islami Bahrain (1982)
15.  Sudanesa Islamic bank (1985)
16.  Islamic bank Bangladesh (1986)
17.  Beit ettanwil Saudi (1986)
18.  Qatar Islamic bank (1987)
19.  Faysal Islamic bank sudan (1987)
20.  Kuwait finance haouse (1987)
21.  Bank islam Malaysia berhad (1987)
22.  Islamic bank for western sudan (1987)
23.  Albaraka turkis finance house (1989)
24.  Kuwair turkis evkaf finance house (1989)
25.  Bank al taqwa (1989)
            Dari tahun ke tahun, perkembangan bank syariah semakin meningkat. Dalam konferensi Islamic Bank di Singapura pada bulan Agustus 1998, dapat diketahui bahwa lembaga keuangan syariah mengalami perkembangan yang pesat di dunia sejak1970-an itu. Jumlahnya pada tahun 1998, telah mencapai 200 buah, yang terdiri dari 160 bank dan sisanya berupa lembaga keuangan non-bank. Pada akhir 2008 lalu telah berjumlah 300 bank.
            Untuk mengetahui bagaimana perkembangan bank syariah di dunia saat ini, berikut adalah beberapa fakta mengapa perbankan syariah semakin berkembang pada tahun 2015 dan akan terus berlaku pada tahun 2016:
            Pertama, menurut laporan World Islamic Banking Competitiveness Report 2014-2015, aset perbankan syariah internasional telah melampaui USD 778 miliar pada tahun 2014 dan CAGR 17% antara tahun 2009 dan 2013. Keuntungan global bank syariah diharapkan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2019. Di enam pasar syariah utama (Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Malaysia dan Turki), aset perbankan syariah diperkirakan mencapai US$ 1,8 triliun pada 2019.[28]
            Kedua, gairah pasar syariah di wilayah Teluk memberikan gambaran yang kuat untuk masa depan keuangan Islam. Di UEA, partisipasi (atau musyarakah) perbankan menunjukkan tingkat pertumbuhan dua kali lipat dari perbankan konvensional. Aset syariah di negara itu telah melewati ambang USD 100 miliar untuk pertama kalinya, sesuai dengan laporan sebelumnya.
            Di Arab Saudi, perbankan syariah mengalami permintaan yang kuat dari segmen korporasi dan ritel. Pada tahun 2013, 54% dari semua perbankan di negara itu syariah dan angka ini diperkirakan akan tumbuh 70% pada tahun 2019. Di Qatar, perbankan syariah diperkirakan menunjukkan tingkat pertumbuhan 15-20%; dan 25% sudah sesuai dengan prinsip syariah. Sementara itu, sektor perbankan syariah Kuwait menyumbang 54% dari pangsa pasar perbankan.
            Ketiga, sukuk atau obligasi syariah, telah mengalami perlambatan karena harga minyak yang rendah dan kemungkinan kenaikan suku bunga. Suku bunga relevan untuk dua alasan, yaitu: sukuk, seperti obligasi konvensional, adalah produk yang bersaing dengan investasi berdasarkan suku bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, yang sedikit investor yang tertarik pada sukuk, dan ekonomi regional seperti UEA dan Arab Saudi memiliki mata uang yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Pelemahan ini membayangi kebijakan moneter kedua negara, dan kenaikan suku bunga yang direncanakan Federal Reserve di Amerika Serikat juga ikut mendorong perlambatan sukuk.
            Namun demikian, sukuk diharapkan pulih pada tahun 2016. Abdul Kadir Hussain, CEO Mashreq Capital yang berbasis di Dubai, mengatakan meski negara-negara seperti UEA kemungkinan memiliki likuiditas yang lebih rendah (karena harga minyak rendah), mereka masih ingin mempertahankan infrastruktur strategis dan investasi dalam negeri. Setiap defisit potensial akan ditutupi oleh utang pasar umum, yang akan datang dalam bentuk sukuk.
            Keempat, ada tiga alasan untuk pertumbuhan investasi syariah. (1) Investasi syariah menarik bagi investor Muslim. (2) Investasi syariah menarik bagi investor yang ingin berinvestasi secara etis. Karena aturan syariah telah sesuai dengan Prinsip Investasi Bertanggung Jawab (UNPRI) PBB. Dan akhirnya, investasi syariah menjadi idaman investor yang ingin risikonya dikelola secara bijaksana. (3) Dana syariah sumber dananya jelas dan hanya dapat berinvestasi jika ada aset fisik. Sehingga investasi syariah berfungsi sebagai penyeimbang portofolio yang berisiko.
G.    Pendirian Bank-Bank Syariah
            Gagasan menjalankan praktik syariah di dunia perbankan terus mencuat sejak munculnya beberapa institusi syariah. Ia menjadi inspirasi bagi negara lain bahwa produk-produk bank syariah pada dasarnya lebih banyak menuai kebaikan dari berbagai lini ketimbang produk-produk bank konvensional. Beberapa institusi syariah yang dimaksud, yakni:[29]
            1. Mit Ghamr Bank
            Eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Kesuksesannya memberikan inspirasi bagi umat Islam seluruh dunia sehingga muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Rintisan perbankan syariah mulai terwujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Nejjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil. Namun, institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.
            2. Islamic Development Bank (IDB)
            Pada sidang menteri luar negeri di Karanchi, Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan pendirian bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan dan federasi bank Islam. Kemudian gagasan itu dikaji oleh 18 negara Islam yang mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan dan kerugian, dan proposal pendirian federasi Bank Islam (Feredation of Islamic Bank) dikaji para ahli dari 18 negara[30].
            Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam (FDI).
            Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk:
a.       Mengatur transaksi komersial antar negara Islam
b.      Mengatur institusi pembangunan dan investasi
c.       Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar Bank Sentral di Negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang terpadu
d.      Membantu mendirikan institusi sejenis Bank Sentral Syari’ah di negara Islam
e.       Mendukung upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan – kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam
f.        Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat
g.      Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral negara Islam
            Selain hal tersebut, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-Negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan trsebut akan berfungsi sebagai berikut:
a.       Mengatur investasi modal Islam
b.      Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di negara Islam
c.       Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya
d.      Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara Islam.
            Sebagai rekomendasi tambahan, proposal tersebut mengusulkan pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-Bank Islam (Association of Islamic Bank) sebagai badan konsultatif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syari’ah. Tugas badan ini diantaranya menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara Islam yang ingin mendirikan bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah. Bentuk dukungan teknis tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke negara tersebut, penyebaran atau sosialisasi sistem perbankan Islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antar negara Islam. [31]
Akhirnya, terbentuklah IDB pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Kini IDB yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi[32] itu telah memiliki 43 negara anggota. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Lembaga-lembaga syariah yang muncul setelah kelahiran IDB dapat dibedakan menjadi dua kategori:
Pertama, kategori bank Islam komersial (Islamic Commercial Bank), seperti: Faisal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank, Islamic International Bank for Inverstment and Developmene (Mesir). Kedua, kategori lembaga investasi dalam bentuk international holding companies, seperti: Daar Al-Islami (Jenewa), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama), Islamic Investment House (Amman)
3. Islamic Research and Training Institute (IRTI)
            IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di beberapa negara. Untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah riset dan pelatihan untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, baik dalam bidang perbangkan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disebut IRTI. Bank ini menyediakan bantuan finansial untuk pembangunan negara-negara anggotanya, membantu mereka mendirikan bank-bank Islam di negara masing-masing dan memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan, dan keuangan Islam.
Data yang dipakai adalah data sekunder yang dianalisis penulis dari referensi yang ada. Penelitian ini sebatas tinjauan atau studi pustaka (buku, artikel, dan jurnal terkait) yang memberikan gambaran terhadap topik yang dibahas.
Krisis perkembangan global ternyata menjadi pemicu bagi berkembangnya perbankan Islam. Ekonom-ekonom dari negara Barat mulai melirik perbankan syariah, bahkan mereka telah menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam menjalankannya. Beberapa negara yang tercatat sebagai negara yang menerapkan perbankan syariah, yaitu:
1.      Perbankan Syariah di Eropa
a.       Inggris
Negara yang mengalami perbankan syariah yang sangat aktif adalah Inggris. Seolah tidak ingin ketinggalan dengan negara-negara perintis perbankan syariah, Inggris memanfaatkan gelombang perkembangan perbankan syariah dan bahkan memosisikan diri untuk menjadi pusat keuangan Islam di Eropa.
Di tahun 2014, Inggris telah memiliki lima bank yang sepenuhnya melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah, yang melarang pembiayaan untuk barang-barang dan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam, seperti minuman keras, babi, tembakau, dan perjudian.Salah satu bank yang menjadi pionir bank syariah di London adalah Islamic Bank of Britain dan Kleinwort Benson (bank investasi yang pamornya semakin melejit setelah mendirikan dewan syariah, sehingga banyak menarik dana dari negara-negara Gulf di Timur Tengah). Di samping itu ada 17 lembaga keuangan terkenal, seperti Barclay, RBS, dan Lyold Banking Group yang telah membuka cabang khusus perbankan syariah atau perusahaan anak khusus untuk nasabah-nasabah muslim. Aset bank Islam di Inggris saat ini telah mencapai $ 18 miliar.
Terdapat empat fakta yang memicu pertumbuhan pesat bank syariah di Inggris. Pertama, London merupakan salah satu pusat keuangan dunia yang terkemuka. Kedua, Oleh karena hubungan sejarah yang erat dari masa lalu antara negara-negara Teluk di Timur Tengah (Gulf countries) dengan Inggris. Ketiga, para syekh kaya Arab banyak tinggal di London pada saat ini, dan banyak dari mereka membuka usaha di bidang keuangan. Keempat, pemerintah Inggris memberi perhatian sangat besar, antara lain dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang dapat mendorong pertumbuhan perbankan di Inggris.
b.      Switzerland
            Beberpa Bank Swiss termasuk UBS, telah memiliki cabang-cabang di Timur Tengah. Bank-bank tersebut menawarkan jasa-jasa perbankan syariah kepada orang-orang kaya Arab. Namun demikian, tak satupun bank Swiss yang beroperasi di negaranya sendiri, yang menggunakan prinsip syariah.
            Pada pertengahan 2006, otoritas Swiss memberikan izin kepada Faisal Private Bank. Bank tersebut dibuka di Geneva, sebagai bank pertama di Swiss yang melakukan usahanya dengan prinsip syariah. Bank ini memiliki sasaran penduduk di luar Swiss, khususnya sasarannya adalah pundi-pundi petrodollar dari negara-negara Teluk yang tertarik karena iklim keuangan yang stabil dari negara Switzerland.
c.        Turki
            Diterbitkannya undang-undang khusus, yaitu Decree 83/7506 pada tanggal 16 Desember 1983, yang diumumkan dalam Official Gazzate No 18256, telah membuka jalan bagi pendirian bank-bank Islam di Turki. Dari dibukanya Special Finance Houses, sampai beroperasinya bank syariah pertama di Turki yaitu Albaraka Turk Ozel Finance Kurumu pada tahun 1985.     
            Dari tahun ke tahun pengembangan perbankan syariah terus diperhatikan, terutama pada masa pemerintahan Perdana Menteri Turki pada saat itu, Turgut Ozal yang sangat antusias mewujudkan janjinya kepada para pendukukngnya yang beragama Islam yang taat. Meskipun banyak menuai kritikan dari pihak sekuler garis keras, undang-undang khusus yang mengatur system operasional bank syariah terus dilegalkan.
            Pada akhir tahun 2008, terdapat empat participation bank di Turki, yaitu Albaraka Turk, Bank Asya, Kuvyet Turk, dann Turkiye Finans. Pada tahun 2007, bank-bank tersebut secara bersama-sama menguasai 4,2% dari total simpanan (deposit) dan 3,3% dari total pinjaman (loan) dalam system perbankan Turki.
2.      Perbankan Syariah di Amerika
            Sifat fanatik Amerika terhadap Islam berpengaruh terhadap berkembangnya bank-bank syariah di negara tersebut. Meskipun, beberapa bank Amerika yang berada di negara Islam mempraktikkan prinsip syariah, namun tak satupun bank syariah berkembang di Amerika. Akan tetapi, sepertinya Amerika mulai melirik system perbankan syariah yang dapat menjadi solusi di saat krisis, dengan mulai mengubah persepsinya, saat ini Amerika memperbolehkan jasa-jasa keuangan Islam beroperasi di sana. Bahkan Untuk memberi lebih banyak informasi, Bank Islam Amerika menciptakan website (www.islamic-bank-usa.com)bagi non-muslim dalam mempelajari perbankan syariah.
3.      Perbankan Syariah di Australia
            Walaupun penganut Islam di Australia cenderung sedikit, tetapi para kaum muda Muslim di negara tersebut telah mempelopori didirikannya suatu koperasi yang disebut Muslim Community Co-operative (Australia) Ltd. atau disingkat MCCA pada Februari 1989. MCCA adalah penyedia jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah yang pertama yang beroperasi di Australia. Koperasi tersebut didirikan dengan modal pertama AUD 22.000.
            Pada tahun 1999 didirikan lembaga keuangan syariah lainnya di Australia yaitu the Muslim Community Credit Union Ltd. (MCCU) karena adanya kebutuhan dari masyarakat muslim untuk dapat memperoleh jasa-jasa perbankan syariah yang lebih luas daripada yang dapat ditawarkan MCCA.
4.      Perbankan Syariah di Timur Tengah
a.        Mesir
            Perbankan syariah muncul di Mesir sejak didirikannya Mit Ghamr Bank. Pendirian Mit Ghamr Savings Bank oleh Ahmed Al-Naggar dianggap sebagai tonggak sejarah pendirian bank Islam modern. Ia menawarkan lima jenis jasa perbankan yang didasarkan atas prinsip syariah. Juni 1967, The Ford Foundation memuji keberhasilan bank tersebut dalam memperoleh dukungan dari para petani dan penduduk. Dalam empat tahun berikutnya, bank ini memiliki pertumbuhan jumlah nasabah penyimpan dan dana simpanan.
            Amat disayangkan, sebagai akibat iklim politik di Mesir pada waktu itu, kegiatan usaha bank tersebut mengalami kemunduran dan akhirnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Egypt Central Bank pada pertengahan tahun 1967. Dengan pengambilaalihan tersebut maka system riba diterapkan dalam kegiatan usaha bank Mit Ghamr. Dampaknya nasabah bank berkurang drastis. Syukurnya, pada pemerintahan Anwar Al- Sadat tahun 1972, didirikanlah Nasser Social Bank. Bank ini menawarkan jasa-jasa perbankan syariah yang lebih luas ketimbang Mit Ghamr Bank. Ia menadapatkan dukungan penuh dari pemerintah antara lain berupa diberikannya subsidi oleh pemerintah dalam rangka melindungi kegiatan pembiayaannya.
            Pada tahun 2008, di Mesir terdapat dua institusi keuangan syariah, yaitu Faisal Islamic Bank of Egypt, Egyptian Saudi Finance Bank dan 13 bank konvensional tersebut yang menawarkan produk-produk islami. Meskipun persepsi masyarakat sempat rusak terhadap perbangkan Islam di Mesir pada tahun-tahun sebelumnya.
b.       Sudan
            Perbankan Islam di Sudan menjalani dua periode terpisah. Periode pertama adalah periode diberikannya dukungan penuh oleh pemerintah. Periode kedua adalah periode di mana sektor perbankan mengalami keprihatinan. Konsep perbankan Islam diperkenalkan di Sudan dengan pendirian Faisal Islamic Bank of Sudan (FIBS) pada tahun 1977. FIBS didirikan di bawah undang-undang khusus yang dikenal sebagai the FIBS Act of National People’s Council dan mulai beroperasi Mei 1978. Pada September 1984, seluruh system perbankan di Sudan diharuskan sudah melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip syariah. 
            Pada akhirnya, berdasarkan perjanjian perdamaian yang dinamakan Comprehensive Peace Agreement (CPA) ditandatangani oleh pemerintah Sudan dan the Sudan People’s Liberal Movement di Selatan Sudan, system perbankan di Sudan terdiri dari dual banking system, dengan perbankan Islam melanjutkan operasionalnya di Utara dan perbankan konvensional beroperasi di Selatan.
c.        Bahrain
            Bahrain telah menjadi pemimpin keuangan Islam global dengan terutama menjadi tuan rumah lembaga-lembaga keuangan Islam Timur Tengah. Pada akhirnya Sepetember 2007 seluruh aset bank-bank di Bahrain mencapai jumlah US$20,1 miliar. Di samping itu, Bahrai telah menduduki pasar utama bagi sukuk (obligasi syariah), termasuk sukuk jangka pendek pemerintah. Pada saat ini di Bahrain terdapat 29 bank-bank Islam, 50 Islamic Mutual Funds (Reksadana), dan 18 Tafakul (perusahaan asuransi Islam). Diperkirakan industry keuangan Islam di Bahrain akan tumbuh sebesar 20%.
5.      Perbankan Syariah di Asia
a.       Malaysia
            Bank Islam pertama yang beroperasi di Malaysia adalah Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), yang didirikan pada 1 Maret 1983 di bawah Companies Act 1965 dan mulai beroperasi 1 Juli 1965. Setelah satu decade beroperasi, BIMB terbukti menjadi lembaga perbankan yang tumbuh dengan baik dengan aktivitasnya berkembang dengan cepat ke seluruh negeri dengan memiliki 80 cabang dan pegawai 1.2000 orang. Bank tersebut telah terdaftar sahamnya di Kuala Lumpur Stock Exchange pada 17 Januari 1992.
            Terdapat 40 produk keuangan Islam yang ditawarkan bank-bank di Malaysia dengan menggunakan konsep seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, bai’bithaman ajil, ijarah, qardh ul-hasan, isthisna, dan ijarah thumma al-bai. Sampai saat ini produk-produk perbankan syariah terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Malaysia.
            Pangsa pasar perbankan syariah disbandingkan industry perbankan adalah sebesar 12,3% dengan nilai RM 147 miliar. Target resmi dari pangsa pasar perbankan Islam ditetapkan sebesar 20% pada tahun 2010. Pada saat ini terdapat 18 bank Islam dan 9 takaful beroperasi di Malaysia. Para pemain perbankan Islam meliputi 2 bank Islam dalam  negeri. 9 perusahaan anak yang melakukan kegiatan berdasarkan syariah, 3 bank Islam milik asing, dan 4 unit usaha syariah. Ada sebanyak 100 produk keuangan Islam (meliputi asset maupun liability) yang pada saat ini ditawarkan bank-bank Islam dengan menggunakan konsep Islam.
b.      Singapura
            Sekalipun mulai terlambat tapi Singapura bermaksud untuk mengikuti negara- negara lain dalam memberikan perhatiannya kepada perbankan Islam.
            Pada 2007, the Development Bank of Singapore (DBS) Group Holdings dan suatu kelompok investor dari Timur Tengah medirikan bank Islam pertama disebut Islamic Bank of Asia. Bank tersebut memiliki paid-up capital sebesar $ 418 juta dengan rencana akan ditingkatkan menjadi  $ 500 juta. DBS adalah bank terbesar DI Asia Tenggara, memiliki saham sebesar 60% dengan menempatkan modal di bank tersebut sebesar  $ 250 juta.
            Dalam rangka menumbuhkan perbankan syariah di Singapura, the Monetary Authority of Singapore (MAS) pada pertemuan puncak yang ke-6 dari Financial Service Board (FSB) yang diadakan 7 Mei 2009 mengumumkan bahwa MAS telah mengeluarkan seperangkat pedoman (guidelines) mengenai Application of Banking Regulations to Islamic Banking. Di samping itu, MAS memastikan bahwa terhadap sukuk dalam mata uang Singapura diberikan perlakuan perpajakan, peraturan, dan fasilitas likuiditas yang sama dengan Singapore Govenrment Securities.
c.       Hong Kong
            Donald Tsang, yaitu Chief Executive and Head of Government of Hong Kong, dalam pidato kebijakannya pada 2007 mengemukakan bahwa pengembangan perbankan Islam merupakan prioritas bagi Hong Kong. Selanjutnya Donald Sang bahwa Hong Kong Monetary Authority sedang menggarap sektor keuangan untuk mengenmbangkan produk-produk yang complied with Islamic finance’s strict rules, where interest payments and profits earned from Al/Cohol, pornography, pork, or gambling are all banned.
            Hong Leong Bank dari Malaysia merupakan bank pertama yang diperbolehkan menawarkan jasa-jasa perbankan Islam di Hong Kong. Bank tersebut berupaya untuk dapat merebut pasar di Cina daratan dan bagian barat dan utara Asia.

d.      Indonesia
Rintisan dan diskusi praktek perbankan islam di Indonesia dimulai awal periode 1970-an, beberapa tokoh yang telibat didiskusi dalam mewujudkan peran bank islam antara lain adalah karnaen A Perwataatnadjaa, M Dawam Raharjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan islam dipraktekkan dalam skala yang relative terbatas seperti di bandung ( Bait At-Tamwil Salman ITB) dan Jakarta ( Koperasi Ridho Gusti).[33]
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian bank islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990). Pada tanggal 18-20 agustus, majelis ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di cisarua, bogor, jawa barat.[34] Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI di Jakarta 22-25 agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank islam di Indonesia. Kelompok kerja tersebut adalam tim perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil keja tim perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang didirikan tanggal 1 November 1991). Dan secara resmi BMI beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.380.000,- sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[35]
Setelah dua tahun beroperasi, bank muamalat mengsponsori pendirian asuransi islam pertama di Indonesia, yaitu Serikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, bank muamalat mengsponsori lokakarya Ulama tentang reksa dana syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksa dana syariah oleh PT. Danareksa. Pada tahun yang sama pula, sebuah lembaga berbagai pembiayaan (multifinancen) syariah berdiri, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.[36]



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Banking A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation, Leiden: New York, Brill, 1996,
Abdus Samad and M. Kabir Hassan, “The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Study”, International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.3. 
Adiwaman azwar karim, sejarah pemikiran ekonomi islam, Jakarta: raja grafindo persada, 2006,
Ahmed El-Ashker, Rodney Wilson, Islamic Economics, Boston, brill, 2006.
Atang Abd.Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, (Bandung: Refika Aditama,2011).
Contemporary Bank Transactions and Islami’s View Thereon dalam Islamic Thought, Vol. II(394). (Aligarh, July 1967).
Fiqh Mu’amalat Al-maliyah Wa Al-mushrofiyyah, Damaskus 2007.
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta, Salemba Empat, 2013)
Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkemabangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011)
Jaya Miharja, Sistem Aktivitas Ekonomi Masyarakat, Arab Pra- Islam, El-Hikam, Vol. 3, No. 1, Januari- Juli 2010
Karen Armstrong, Islam a Short History, New York, Modern Library 2002, Hal.
Kharidul Muhdiiah, analisis Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik, Iqtishadia, Vol 8, No, 2, September 2015.
M.N. Siddiqi, Banking Without Interest , Leicester,UK, 1998.
Mairijani, analisis swot perkembangan bank syariah di negara-negara muslim, jurnal hokum islam, Volume 10, Nomor 1, Juni 2012
Muhammad Baqir al-Sadr, Iqtisaduna, vol. 1, part, 1,op.cit.,
Muhammad syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema insani,2001.
Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni 2012.
Nurul Huda, lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: kencana, 2010)
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah,(Yogyakarta, Graha Ilmi, 2012)
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia,(Yogyakarta:Fajar Media Press,2012).
Veithzal rivai, dan andi buchari, Islamic economics,  Jakarta, bumi aksara 2013.
World Islamic Banking Competitiveness Report,  2014-2015.
Yousef Alhozaimy, “The Islamisation of Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) and the Financial System in the Kingdom of Saudi Arabia, Experience from Selected Muslim Countries”,Bangor Business School, Bangor University, 14 September 2009. 
Zamir Ikbal, pengantar keuangan islam teori dan praktek, (Jakarta: kencana, 2008)
Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic Banking and Finance, Autum 1985





[1] Fiqh Mu’amalat Al-maliyah Wa Al-mushrofiyyah, Damaskus 2007 hal 23
[2] Ahmed El-Ashker, Rodney Wilson, Islamic Economics, Boston, brill, 2006. hal 14
[3] Jaya Miharja, Sistem Aktivitas Ekonomi Masyarakat, Arab Pra- Islam, El-Hikam, Vol. 3, No. 1, Januari- Juli 2010
[4] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia,(Yogyakarta:Fajar Media Press,2012),hal. 11
[5] Kharidul Muhdiiah, analisis Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik, Iqtishadia, Vol 8, No, 2, September 2015.
[6] Atang Abd.Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, (Bandung: Refika Aditama,2011),hal.41
[7] Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni 2012. Hal. 19
[8] Karen Armstrong, Islam a Short History, New York, Modern Library 2002, Hal. 55
[9] Adiwaman azwar karim, sejarah pemikiran ekonomi islam, Jakarta: raja grafindo persada, 2006, hal.10
[10] Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkemabangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011) Hal. 35
[11] Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni 2012. Hal. 21
[12] Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni 2012. Hal. 19

[13] Abdullah Saeed, Islamic Banking A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation, Leiden: New York, Brill, 1996, hal. 5
[14] Ibid, 7
[15] Contemporary Bank Transactions and Islami’s View Thereon dalam Islamic Thought, Vol. II(394). (Aligarh, July 1967), p. 10
[16] Veithzal rivai, dan andi buchari, Islamic economics,  Jakarta, bumi aksara 2013. Hal. 107

[17] M.N. Siddiqi, Banking Without Interest , Leicester,UK, 1998, p. 15
[18] Hasbi Hasan, Hal. 48
[19] Abdullah Saeed, Islamic Banking A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation, Leiden: New York, Brill, 1996, hal. 10
[20]Muhammad Baqir al-Sadr, Iqtisaduna, vol. 1, part, 1,op.cit., p.74
[21] Veithzal rivai, dan andi buchari, Islamic economics,  Jakarta, bumi aksara 2013. Hal. 107
[22] Abdus Samad and M. Kabir Hassan, “The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Study”, International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.3. 
[23]Yousef Alhozaimy, “The Islamisation of Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) and the Financial System in the Kingdom of Saudi Arabia, Experience from Selected Muslim Countries”,Bangor Business School, Bangor University, 14 September 2009. 
[24] Mairijani, analisis swot perkembangan bank syariah di negara-negara muslim, jurnal hokum islam, Volume 10, Nomor 1, Juni 2012
[25] Muhammad Yusuf, Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Mu’asir Keuangan dan Perbankan, Iqtishaduna, Volume III Nomor 1 juni 2012. Hal. 21

[26] Hasbi Hasan, Hal. 48
[27] Hasbi Hasan, Hal. 51-52
[28] World Islamic Banking Competitiveness Report,  2014-2015. Hal. 10
[29] Muhammad syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema insani,2001. Halm18-19
[30]Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of  the  Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ Brill, 1996).
[31]Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic Banking and Finance, Autum 1985, p. 48
[32] Zamir Ikbal, pengantar keuangan islam teori dan praktek, (Jakarta: kencana, 2008) hal.32
[33] Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah,(Yogyakarta, Graha Ilmi, 2012) hal 51
[34] Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta, Salemba Empat, 2013) hal. 33
[35] Nurul Huda, lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: kencana, 2010) hal 33
[36] Gita Danupranata, hal. 33

1 komentar:

  1. No Deposit Free Spins | Betpoint Casino | Best New Betting Sites 2021
    We tested our No Deposit Bonus codes. Betpoint vua nhà cái Casino offers a 100% match bonus ラッキーニッキー up to $1000. Read matchpoint now.

    BalasHapus