BAB I
PENDAHULUAN
Kerangka
kegiatan muamalat dapat dibagi menjadi tiga bagian dasar, yaitu: politik,
social, dan ekonomi. Dari kegiatan ekonomi dapat diambil tiga turunan yaitu:
konsumsi, simpanan, dan investasi. Berbeda dengan yang lainnya, islam mengajarkan
pola konsumsi yang moderat (tengah-tengah), tidak berlebihan tidak juga
keterlaluan. Dengan tegas Al-quran melarang terjadinya perbuatan tabzir, dalam
surat Al-isra ayat 27, “sesungguhnya orang-orang yang melakukan itu adalah
saudara-saudaranya setan.”
Doktrin
Al-quran ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong terpupuknya surplus
konsumen dalam bentuk simpanan, untuk dihimpun, kemudian dipergunakan dalam
membiayai investasi, baik untuk perdagangan, produk, dan jasa.
Dalam kontek
inilah kehadiran lembaga keuangan mutlak adanya (dharurah), karena ia
bertindak sebagai intermediate antara unit suplay dengan unit
demand. Siklus keterkaitan antara pola konsumsi, simpanan, investasi, dan
lembaga keuangan.[1]
Bank syariah
merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara
antara yang berkelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam
produk-produknya harus sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Bank dengan system
bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang
sangat tepat ditengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat.[2]
Konsep kebersamaan dalam menghadapi resiko dan memperoleh keuantungan, serta
adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat strategis bagi
perkembangan bank syariah dimasa yang akan mendatang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk
Indonesia adalah beragama isla, tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang
cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu bank
syariah dengan system bagi hasil lebih mengutamakan stabilitas dan
rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan system bunga mempunyai
kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cendrung diskriminatif.
Secara umum, konsep dasar fungsi kepatuhan berfungsi
sebagai pelaksana dan pengelola risiko kepatuhan yang berkoordinasi dengan
satuan kerja dalam manajemen resiko. Fungsi kepatuhan melakukan tugas
pengawasan yang bersifat preventif dan menjadi elemen penting dalam
pengelolaan dan operasional bank syariah, pasar modal, asuransi syariah,
pegadaian syariah serta lembaga keuangan syariah non bank (koperasi jasa
keuangan syariah). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem dan prosedur yang dilakukan oleh perbankan Islam telah sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan Bank Indonesia, Pemerintah,
Bapepam-LK, Fatwa MUI, serta penetapanhukum yang telah ditetapkan dalam standar
internasional IFSB, AAOIFI, Syariah Supervisory Board (SSB).[3]
Kepatuhan syariah adalah bagian dari pelaksanaan
framework manajemen resiko, dan mewujudkan budaya kepatuhan dalam mengelola
resiko perbankan Islam. Kepatuhan syariah (shariah compliance) juga
memiliki standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic
Financial Service Board (IFSB) dimana kepatuhan syariah merupakan bagian
dari tata kelola lembaga (corporate governance).[4]
Kepatuhan syariah merupakan manifestasi pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam
lembaga yang memiliki wujud karakteristik, integritas dan kredibilitas di bank
syariah. Dimana budaya kepatuhan tersebut adalah nilai, perilaku dan tindakan
yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap seluruh ketentuan
Bank Indonesia.[5]
Elemen yang memiliki otoritas dan wewenang dalam
melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah
(DPS).[6] Dewan
Pengawas Syariah melengkapi tugas pengawasan yang diberikan oleh komisaris,
dimana kepatuhan syariah semakin penting untuk dilakukan dikarenakan adanya
permintaan dari nasabah agar bersifat inovatif dan berorientasi bisnis dalam
menawarkan instrumen dan produk baru serta untuk memastikan kepatuhan terhadap
hukum Islam.[7]
Dewan pengawas syariah (DPS) terdiri dari pakar
syariah yang mengawasi aktivitas dan operasional institusi finansial untuk
memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Dewan syariah mengemban
tugas dan tanggungjawab besar dan berfungsi sebagai bagian stakeholders,
karena mereka adalah pelindung hak investor dan pengusaha yang meletakkan
keyakinan dan kepercayaan dalam institusi finansial. Keberadaan dewan pengawas
syariah memiliki lima isu tata kelola perusahaan, yaitu independen,
kerahasiaan, kompetensi, konsistensi dan keterbukaan.[8]
BAB II
ISLAMIC BANK
1.
Prinsip
dasar perbankan syariah
Bank syariah
memiliki perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan bank nonsyariah
(bank yang beroperasi dengan sistem bunga). Pada dasarnya, segala dunia usaha,
termasuk perbankan Islam, bertujuan untuk menciptakan keuntungan (profit oriented).
Namun, guna menghasilkan keuntungan tersebut terdapat beberapa hal yang harus
dihindari oleh bank syariah karena bertentangan dengan syariat Islam. Salah
satunya adalah bunga bank yang dalam istilah Islam disebut dengan riba.
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang menyebutkan bahwa “Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Di samping riba, semua
transaksi dalam perbankan syariah juga harus sesuai dengan syariat Islam yang
antara lain menghindari transaksiyang mengandung unsur haram,
perjudian/spekulasi (ميسر maisir),
serta ketidak jelasan /manipulative (غرر gharar).[9]
Apabila
dibandingkan dengan bank nonsyariah, bank syariah memiliki perbedaan yang
sangat mencolok. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai hal
di bawah ini:[10]
a)
Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga,
tetapi sistem loss and profit sharing.[11]
Dengan prinsip ini, maka bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga
tertentu bagi para penabung dan para debitur. Hal ini merupakan
perbedaan utama antara bank syariah dan bank nonsyariah. Sistem loss
and profit sharing relatif lebih rumit apabila dibandingkan
dengan sistem bunga. Dengan sistem ini, masyarakat nasabah seolah berada dalam
ketidakpastian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila mereka menabung
di bank syariah. Demikian juga para debitur, tidak mendapatkan beban bunga
dengan nilai nominal yang tetap apabila mereka mengambil kredit atau pinjaman
pada bank syariah.
b)
Bank syariah lebih menekankan pada pengembangan
sektor riel. Karena diharamkannya bunga, maka bank syariah mencari strategi
lain untuk menghasilkan keuntungan. Strategi ini dapat berupa pengembangan
sektor riel untuk dibiayainya ataupun jual beli dalam pemenuhan kebutuhan
konsumsi nasabah. Penekanan bank syariah pada investasi sektor riel ini
berdampak sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya.
Masyarakat nasabah tidak dididik untuk konsumtif, tetapi lebih dididik untuk
mengembangkan usaha sektor riel yang dijalankannya.
c)
Bank syariah hanya bersedia membiayai investasi
yang halal. Bank syariah lebih selektif dalam memiliki investasi yang akan
dibiayainya. Faktor yang menjadi ukuran untuk dapat dibiayai oleh bank syariah
bukan hanya faktor keuntungan, tetapi juga faktor kehalalan bidang usaha yang
akan dibiayai. Bidang usaha yang haram, misalnya usaha perjudian dan
prostitusi, tidak akan dapat dibiayai dari bank syariah. Sekalipun bidang usaha
tersebut sangat menguntungkan, bank syariah tetap tidak mau membiayainya. Hal
ini berbeda dengan bank nonsyariah yang tidak memedulikan mengenai
halal-tidaknya bidang usaha yang akan dibiayainya.
d)
Bank syariah tidak hanya profit
oriented, tetapi juga berorientasi pada falah, sedangkan
bank nonsyariah hanya berorientasi pada keuntungan. Falah memiliki
cakupan yang sangat luas, yakni kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bahkan,
kebaikan hidup tersebut bukan hanya untuk bank syariah bersangkutan, tetapi
juga bagi nasabahnya. Orientasi pada falah ini pada akhirnya
menuntun bank syariah untuk peduli terhadap usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh
nasabah sehingga antara keduanya dapat sama-sama mendapatkan manfaat atau
keuntungan.
e)
Hubungan antara Bank syariah dan nasabah adalah
atas dasar kemitraan (ta’awun). Dengan hubungan kemitraan ini maka
tidak terdapat pihak yang merasa dieksploitasi oleh pihak lain. Pihak nasabah
tidak tereksploitasi karena harus membayar bunga dalam jumlah tertentu seperti
halnya hubungan antara nasabah dengan bank nonsyariah. Bahkan bank syariah ikut
peduli terhadap kinerja dunia usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh nasabah
(apalagi jika akad yang disepakati adalah musyarakah dan mudharabah).
Pihak bank syariah juga tidak merasa tereksploitasi oleh penabung karena harus
membayar bunga seperti yang diperjanjikan (misal dalam deposito). Imbalan yang
diberikan kepada penabung adalah sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan pihak
bank dalam mengelola dana nasabah tersebut. Antara nasabah dan bank
syariah berada dalam kondisi saling menolong dan bekerja sama (ta’awun).
f)
Seluruh produk dan operasional bank syariah
didasarkan pada syariat. Produk bank syariah harus merupakan produk
perbankan yang halal. Operasional bank syariah pun harus sesuai dengan syariat
Islam, misalnya etika pelayanan dan pakaian yang dikenakan para pegawai bank
Islam juga harus sesuai dengan syariat Islam. Untuk menjaga agar produk dan
operasional bank Islam tetap berada dalam koridor syariat, maka bank syariah
dilengkapi/diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini merupakan internal
control untuk menjaga kehalalan produk dan operasional bank syariah.
Di samping itu, secara nasional juga terdapat Dewan Syariah Nasional yang
menjadi rujukan bagi dewan syariah pada bank dalam melakukan pengawasan
terhadap bank syariah.[12]
2.
Teori
akad dan instumen keuangan
Gambaran hokum
islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah adalah tercakup dalam bentuk
kontrak (aqad) dan bentuk instrument keuangan. Dua hal ini akan memberi jalan
bagi akademis maupun investor yang ingin konsisten menggunakan prinsip islam
dalam menilai instrument investasi yang tersedia di pasar modal. Berdasarkan
prinsip-prinsip dasar diatas
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran
Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan
jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya[13].
1.
Penyaluran Dana
Dalam
menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah
terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya
yaitu:
- Transaksi pembiayaan yang
ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
- Transaksi pembiayaan yang
ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
- Transaksi pembiayaan untuk
usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa,
dengan prinsip bagi hasil.
Pada
kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk
dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli
seperti murabahah, salam,dan istishna serta produk yang
menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan
pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya
keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil
keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk
perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyarakah dan mudharabah.
A.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip
jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau
benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi
jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan
barang seperti:
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah
bi tsaman ajil atau
lebih dikenal sebagai murabahah. Murabahah berasal
dari kata ribhu (keuntungan) adalah
transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak
sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga
beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.[14]
Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga
jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara
pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi
ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara
tangguh.
Produk
dengan murabahah merupakan produk yang paling popular dan banyak digunakan oleh
perbankan islam di seluruh dunia. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah :
·
Murabahah merupakan suatu mekanisme pembiayaan
investasi jangka pendek yan gcukup memudahkan serta menguntungkan pihak bank
islam dibandingkan dengan konsep profit and loss sharing atau bagi hasil
·
Mark-up dalam murabahah ditetapkan sedemikian rupa
yang memastikan bahwa bank islam akan dapat memperoleh keuntungan yang
sebanding dengan keuntungan berbasis bunga yang menjadi saingan bank islam
·
Murabahah menjauhkan dari ketidak pastian yang ada
pendapatan dari bisnis-bisnis dengan system PLS.
·
Murabahah tidak memungkinkan bank islam untuk mencampuri
manajemen bisnis, karena bank bukan mitra si nasabah, sebab hubungan antara
meraka bukan hubungan antara kreditir dan debitur.[15]
b. Salam
Salam adalah
transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan
tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual.
Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas,
kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam
praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai
atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank
dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing).
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan
dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya
akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada
seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan
umum Salam:[16]
·
Pembelian hasil produksi harus diketahui
spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 /
kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
·
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau
tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan
cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti
barang yang sesuai dengan pesanan.
·
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang
dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka
dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada
pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.
Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
c. Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya
dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali(termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[17]
Ketentuan umum:
Spesifikasi
barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga
jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh
berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan
dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan
tetap ditanggung nasabah.[18]
d.
Prinsip Sewa
(Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi
pada dasarnya prinsip ijarah sama
saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada
akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada
nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti
dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada
awal perjanjian.
2.
Prinsip Penghimpun
dana
a. Wadiah
Wadiah
dapat diartikan titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu
maupun badan hokum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki. Selain itu, wadiah dapat diartikan akad seseorang kepada pihak
lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak. Dari pengertian
ini, maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan,
padahal benda itu sudak dijaga sebagaimna selayaknya, maka si penerima titipan
tidak wajib menggantikannya, tetapi jika kerusakan di akibatkan kelalaian ,
maka ia wajib menggantikannya.[19]
Dalam prinsip
wadiah yang dirapkan adalah prinsip wadiah yad dhamanah, yaitu prinsip
penghimpunan dana pada perbankan islam yang diterapkan pada produk rekening giro ataupun pada saving account (
tabungan berjangka). Dalam kasus wadiah yad dhamana, pihak yang dititip yaitu
bank islam bertanggung jawab penuh atas harta yang dititipkan kepadanya, dan ia
boleh memanfaatkan atas harta yang dititipkan dan bank boleh memberikan
insentif kepada nasabah jika mendapati keuntungan.[20]
b. Musyarakah
Bentuk
umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau
serikat atau kongsi). Transaksimusyarakah dilandasi
adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan
dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh
bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.[21]
Secara
spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana,
barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan
(equipment) , atau intangible asset (seperti
hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat
dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi
masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini
sangat fleksibel.
Ketentuan umum:
Semua
modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal
dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan
seperti:
·
Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
·
Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain
tanpa ijin pemilik modal lainnya.
·
Memberi pinjaman kepada pihak lain.
·
Setiap pemilik modal dapat mengalihkan
penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
·
Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri
kerjasama apabila:
§ Menarik diri
dari perserikatan
§ Meninggal
dunia,
§ Menjadi tidak
cakap hukum
·
Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan
jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
·
Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan
dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama
bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
c. Mudharabah
Secara
spesifik terdapat bentuk musyarakah yang
popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua
atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan
suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan
keahlian dari mudharib.[22]
Transaksi
jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang
kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat
kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan
yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah
modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal
dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih
berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat
kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus
menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing
pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan
betul-betul akan merusak ajaran Islam.
Ketentuan umum
·
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah
selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang
atau barang yang dinyatakan nilainya dalam
satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya
dan disepakati bersama.
·
Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
§ (Perhitungan
dari pendapatan proyek (revenue sharing)
§ (Perhitungan
dari keuntungan proyek (profit sharing)
·
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan
dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik
modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan
pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
·
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap
pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika
nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau
menunda pembayaran kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat
berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana
yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada
pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum
dalam produk ini adalah:
·
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana
mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian
keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila
telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
·
Untuk tabungan mudharabah, bank dapat
memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau
alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
·
Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat
oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak
diperkenankan mengalami saldo negatif.
·
Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan
sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang,
setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila
pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad
baru.
·
Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan
dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Mudharabah Muqayyadah on
Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya
disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan
dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik
jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·
Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu
yang harus diikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan
penyaluran dana simpanan khusus.
·
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana
mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau
pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut
harus dicantumkan dalam akad.
·
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan
bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
·
Untuk deposito mudharabah, bank wajib
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
Mudharabah Muqayyadah off
Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya,
dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari
kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai
berikut :
·
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan
bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
·
Dana simpanan khusus harus disalurkan secara
langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
·
Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan
kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah
bagi hasil
3.
Prinsip jasa
Untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad jasa. Akad jasa ini
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad jasa ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar
untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a. Hiwalah (Alih
Utang-Piutang)
Hiwalah adalah
transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah
fasilitas hiwalah lazimnya untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk
mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan
penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara
yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada
pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank
untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik
proyek.
b. Rahn (Gadai)
Tujuan
akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang
digadaikan wajib memenuhi kriteria :
·
Milik nasabah sendiri.
·
Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan
berdasarkan nilai riil pasar.
·
Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan
oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang
digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan.
Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus
bertanggungjawab.
Apabila
nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas
perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan
seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan
tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari
kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
c. Qardh
Qardh adalah
pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam
perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai
pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
Sebagai
pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu
kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik
bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual
beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
d. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi
perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili
dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan
transfer uang.
Bank
dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum.
Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka
penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan
dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian
dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan
karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila
bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh
bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali
dengan seizin nasabah.
Tugas,
wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank.
Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus
dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat
pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa
berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan
bank.
e. Kafalah (Garansi
Bank)
Garansi
bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana
untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank
dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa
yang diberikan.
Aplikasi dalam
bank islam dapat dijelaskan sebagai berikut:[23]
·
Dalam
rangka menjalankan usahanya, seorang pengusaha memerlukan pinjaman kepada pihak
lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan kepada penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
·
Kafalah
pada kartu kredit. Bank menjamin nasabah ( pemegang kartu) untuk belanja tampa
uang cash kepada pihak ketiga. Karena jaminan itu, bank syariah dapat
mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.
4.
Isu
dan kritik terhadap perbankan syariah
Terlepas dari
perdebatan mengenai eksistensi ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan,
faktanya pada saat ini dunia akademik dan keilmuan menyaksikan berbagai
kegiatandan kajian yang begitu marak mengenai topik yang satu ini. Secara
metodologis epistemologi ekonomi Islam itu telah dapat dipertanggungjawaban
secara keilmuan, bahkan secara faktual–empiris eksistensinya sebagai wacana
perdebatan tidak ada yang bisa membantahnya. Menurut Timur Kuran, ada tiga
pilar utama dalam ekonomi Islam, Yakni norma atau etika dalam kegiatan ekonomi,
bunga nol persen (bebas bunga), dan zakat.[24]
Dalam skala
makro, norma yang diajarkan dalam ekonomi Islam dibebaskan menjadi dua, yakni
norma dalam kegiatan produksi (termasuk didalamnya jual beli dan perdagangan)
dan norma dalam konsumsi. Dalam hal yang pertama ekonomi Islam mengajarkan
tentang asas kebebasan dalam berproduksi dan berdagang namun tetap harus
menghindarkan diri dari merugikan pihak lain, upah yang adil, harga yang masuk
akal, dan keuntunngan yang wajar; sedangkan dalam yang terakhir norma yang
diajarkan adalah mengenai larangan membelanjakan harta kepada hal-hal yang
terlarang (seperti zina dan minuman keras), konsumsi yang wajar (tidak
berlebih-lebihan), dan sedekah untuk kepentingan sosial.[25]
Sementara itu, zakat dianggap sebagai elemen utama, untuk tidak mengatakan
satu-satunya, kebijakan fiskal. Sedangkan bunga nol persen kemudian
diinfestasikan terutama dalm bentuk sistem perbankan Islam, di mana dalam
konteks Indonesia ia kemudian menjadi perbankan syariah.
Dalam skala
mikro, kegiatan pilar ekonomi Islam di atas juga bisa digunakan untuk melihat
perwujudan islamisasi yang terjadi pada sistem perbankan. Menurut Zainul
Arifin, perbankan syariah beroperasi atas dasar tiga prinsip utama, yakni;
larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi, menjalankan bisnis yang
sah menurut syari’ah, dan memberikan zakat.
Ketiga prisip utama tersebut jelas ekuivalen dengan ketiga pilar utama
yang disebutkan oleh Timur Kuran di atas.[26]
Larangan
terhadap riba, atau istilah lainnya bunga nol persen, merupakan isu utama dan
terpenting dalam perbankan syariah. Sistem bunga yang mendasari perbankan
konvensional diganti dengan sistem bagi hasil (PLS) di dalam perbankan syariah.
Sistem ini merupakan pengembangan dari konsep musharakah dan mudharabah yang terdapat dalam fikihmuamalah. di dalam
perbankan syariah, musharakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan
suatu proyek, dimana nasabah mengalihkan dana beserta bagian keuntungannya
untuk bank. Disamping pembiayan proyek, sistem musharakah juga bisa
diwujudkan dalam bentuk modal ventura, yakni penanaman modal dalam suatu
perusahaan untuk jangka waktu tertentu.[27]
Setelah habis jangka waktunya bank melakukan divestasi (menjual bagian
sahamnya), baik secara serentak maupun bertahap.
Sedangkan mudarabah biasa diterapkan baik dalam produk-produk
penghimpunan dana maupun pembiayaan. Pada aspek yang pertama, mudārabah
diterapkan pada tabungan berjangka dan deposito special (special investment).
Semantara pada aspek yang terakhir ia diaplikasikan (seperti modal kerja
perdagangan dan jasa) dan investasi khusus (mudarabah muqayyadah).
Prinsipnya, kedua belah pihak harus siap berbagi keuntungan maupun kerugian
dari hasil usaha yang dibiayai, baik antara nasabah (penabung ) dengan bank maupun
antara nasbah bank nasabah peminjam (debitur selaku mudarib II).
Masih terkait
dengan mudarabah, penting pula disebutkan di sini mengenai sistem
pembiayaan modal kerja yang agak berbeda. Jika di dalam bank konvensional
penyalurannya dilakukan melalui pemberian pinjaman (kredit) sejumlah uang yang
dibutuhkan, untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga; maka di
dalam bank syariah pemberian modal kerja dilakukan melalui skema mudarabah
(trusrt financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka
waktu tertentu dan bagi hasil dilakukan secara periodik menurut nisbah yang
telah disepakati bersama. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan dana milik
bank beserta porsi bagi hasil yang belum diberikan.
Prinsip utama
bank syariah berikutnya, bahwa bisnis yang dijalankan harus merupakan bisnis
yang sah menurut syariah, memiliki kaitan yang sangat erat dengan norma atau
etika bisnis yang diajarkan dalam ekonomi Islam. Atas dasar prinsip ini bank
syari’ah harus menghindarkan dari praktek bisnis yang dinilai tidak sesuai
dengan ajaran Islam, seperti membiayai usaha yangmemproduksi minuman keras,
usaha prostitusi, dan usaha perjudian. Kendati dalam bidang mu'amalah (bisnis
dan perdagangan ) ajaran Islam memberikan kesempatan umat Islam untuk berkreasi
seluas-luasnya, namun para konseptor perbankan syariah kelihatannya lebih suka
menerapkan bentuk-bentuk bisnis yang telah ada dalam fikih mu'amalah.
Hal ini dapat
dilihat dalam kerangka umum yang membingkai sistem operasional perbankan
syariah yang berupa prinsip titipan atau simpanan (depository/wadi'ah) sistem
bagi hasil (profit sharing), sistem jual beli dengan margin
keuntungan (sale and purchase), sistem sewa (operasional lease and
financial lease). Oleh karena didasarkan pada konsep-konsep yang terdapat
dalam fikih mu'amalah, maka kelima prinsip pokok tersebut diyakini sesuai
dengan syari’ah.[28]
Prinsip
simpanan di dasarkan konsep titipan (wadi'ah). Ada dua wadi'ah , yaitu wadi'ahyad
al-amanah (trustee depository) dan wadi'ah yad al-damanah.
Pada jenis yang pertama harta atau barang yang dititipkan
tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan (bank) sehingga pihak yang
terakhir ini diperkenankan membebankan biaya kepada yang menitipkan . Aplikasi
perbankan yang sesuai dengan konsep ini adalah safe deposit box. Aplikasi
jenis kedua yang memiliki sifat yang sebaliknya, di mana bank
dapat memanfaatkan harta titipan tersebut untuk kegiatan usaha
yang dapat menghasilkan keuntungan, namun tidak ada keharusan bagi bank untuk
memberikan keuntungan tersebut kepada pihak yang menitipkan. Sebab,
dasar pokok akad ini adalah titipan, bukannya bagi hasil (mudarabah),
yang bisa diambil sewaktu-waktu. Produk perbankan yang
sesuai dengan dengan wadi'ah yad al-damamah adalah giro dan
tabungan.[29]
Adapun sistem
bagi hasil, sebagaimana telah diuraikan di atas, didasarkan terutama pada
konsep musharakah dan mudarabah. Semantara sistem
jual beli dalam perbankan syari’ah merujuk pada bentuk-bentuk yang dikenal
dalam fikih mu'amalah seperti bay' al-murabahah, bay'
al-salam, adan bay' al-isti'nā'. Murabahah KPP (Kepada
Pemesanan Pembelian) yang merupakan aplikasi konsep bay' al-murabahah di
dalam praktek perbankan, di mana penjual (dalam hal ini adalah pihak bank)
mengadakan barang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pembeli (nasabah) yang
memesannya. Mekanisme semacam ini umum diterapkan pada produk pembiayaan
pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun mancanegara, seperti
melalui letter of credit (L/C). Murabahah KPP paling banyak
digunakan, karena sederhana dantidak terlalu asing bagi mereka yang sudah
terbiasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya.
Sementara itu bay'
al-salam termanifestasikan dalam bentuk Salam parallel, yakni
dua transaksi salam yang dilakukan secara berantai, antara nasabah
(pemesan) dengan bank dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau
pihak ketiga lainnya. Bay' al-salam biasanya diterapkan pada pembiayaan
bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Melalui
skema bay' al-salam bank membeli hasil-hasil pertanian (padi, jagung,
cabe, dan sebagainya) untuk kemudian menjualnya pada pihak ketiga secara salam
pula, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, ataupun grosir.
Sebagaimana
dalam bay' al-salam, bay' al-istisna' juga bisa dilakukan secara
parallel, artinya setelah menerima pesanan dari pembeli, pihak pembuat barang
kemudian mengadakan subkontrak untuk melaksanakannya (membuatnya). Dalam
konteks perbankan, pihak bank selalu menerima pesanan dari nasabah (pembeli)
kemudian melakukan akad sejenis dengan pihak subkontrak. Konsekuensinya, bank
tetap menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab kepada nasabah
(pemesan); sementara subkontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak bank dan
tidak ada hubungan hukum denhgan pemesan; bank boleh memungut keuntungan bila
ada.[30]
Adapun
berkenaan dengan sistem sewa, bank syariah menawarkan dua bentuk, yaitu al-ijarah
(operational lease) dan al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik (financial lease with purchase option). Sistem
sewa yang kedua lebih umum dipraktekkan dalam perbankan Islam, karena
lebih sederhana dari sisi pembukuan dan pihak bankpun tidak direpotkan dengan
pemeliharan asset, baik saat leasing maupun sesudahnya. Adapun
bentuk-bentuk jasa yang ditawarkan bank syariah meliputi wakalah,
(deputyship), kafilah (guaranty),
hawalah (transfer service), rahn
(mortgage),dan qard (soft and benevolent loan). Hawalah
diterapakn pada factoring , post-dated
check , dan bill discounting. Sedangkan
Rahn diterapkan dalam dua hal, pertama sebagai produk pelengkap, artinya
ia berfungsi sebagai jaminan(collateral) terhadap produk lain. Dalam
pembiayaan bay' al-murabahah, misalnya, bank dapat menahan
barang milik nasabah sebagai konsekuensi dari akad tersebut. Kedua produk yang
berdiri sendiri yang mirip dengan sistem pegadain konvensional.[31]
Adapun qard
dapat diaplikasikan sebagai dana talangan bagi nasabah yang memerlukan
dana cepat sementar ia tidak dapat menarik dananya (misalnya karena
tersimpan dalam bentuk deposito). Nasabah akan secepatnya mengembalikan dana
tersebut sesuai dengan jumlah yang dipinjamnya. Di samping itu skema qard
juga dapat diterapkan utnuk membantu usaha yang sangat kecil atau
membantu sektor sosial.53 Oleh karena produk ini tidak dapat memberikan
keuntungan finansial, maka pendanaanya dapat diambil dari modal bank, untuk
dana talangan.
Sedangkan untuk
membantu usaha yang sangat kecil dan keperluan sosial, sumber dananya bisa
berasal dari umat yang berupa zakat, infak, sadekah. Di samping itu, ia juga
bisa berasal dari pendapatan-pendapatan bank yang diragukan kehalalannya,
seperti jasa nostro di bank koresponden konvensional, bunga jaminan L/C
di bank asing, dan sebagainya.[32]
Demikianlah,
prinsip yang menghancurkan bank syariah menjalankan usaha yang halal agaknya
kemudian dimaknai sebagai tuntunan agar seluruh bisnis yang dijalankannya
mengacu pada konmsep-konsep bisnis dan perdagangan yang terdapat dalam fikih
mu'amalah. Apa yang tampak kemudian adalah formalisme institusional terhadap
konsep-konsep bisnis masa lampau yang dilakukan di alam moderen. Jika
diringkas, secara umum islamisasi perbankan tersebut meliputi tiga hal pokok
dalam sistem operasionalnya, yaitu (i) profit sharing sewbagai karakter
dasar, (ii) sistem penghimpunan dana, dan (iii) sistem pembiayaan. Sebagaimana
telah diuraiakn sebelumnya, profit sharing dalam perbankan Islam
didasarkan terutama pada konsep mudarabah di mana bank Islam
berfungsi sebagai mitra, baik bagi nasabah penabung maupun bagi nasabah
pengguna dana. Oleh karena itu, atas bagi hasil, maka keuntungan yang diperoleh
nasabah tidak selalu sama besarnya dari waktu ke waktu.
Adapun sistem
penghimpunan dana meliputi: (i) modal, (ii) titipan, (iii) investasi. Modal
adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik bank yang dilakukan melalui
penyertaan modal (musharakah fi sahm al-sharikah atau equity
participation) pada saham perseroan bank. Pada akhir tutup buk, mereka akan
memperoleh bagi hasil dari usaha bank (deviden). Sedangkan sumber dana yang
berupa titipan (wadi'ah) bisa dalam bentuk tabungan, deposito,
ataupun giro. Tabungan pada bank Islam memiliki dua alternatif akad, wadi'ah
atau mudarabah. Terserah pada penabung untuk memilihnya.
Sementara itu giro hanya didasarkan atas akad wadi'ah saja, baik yad-amanah
maupun yad al-damanah sedangkan deposito didasarkan pada
akad mudarabah saja. Sumber dana bank Islam yang berasal dari
investasi diperoleh dengan skema mudarabah di mana sahib
al-mal (penabung) bertindak sebagai investor.[33]
Adapun mengenai
sistem pembiayaan, menurut sifat penggunaannya, ia dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu pembiayaan konsumtif dan pembiayaan produktif. Menurut keperluannya,
pembiayaan produktif ini bisa dibagi menjadi dua pula, yaitu pembiayaan modal
kerja (baik yang digunakan untuk meningkatkan produksi secara kualitatif atau
kuantitatif, maupun untuk keperluan pemasaran produk) dan pembiayaan investasi
(digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal/capital goods).
Oleh karena begitu kom pleknya aspek lebih memilih untuk menerapkan skema musharakah
mutanaqisah atau al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik
dari pada skema mudarabah.
Adapun terhadap
kebutuhan akan barang-barang konsumsi bank Islam menyediakan skema (i) bay'
bi thanan ajil (jual beli dengan angsuran, salah satu bentuk murabahah),
(ii) al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik (sewa beli), (iii) al-mushārakah
al-mutanaqiah (decreasing participation), dan (iv) rahn.
Prinsip ulama
lainnya dalm perbankan syari’ah adalah membayar zakat. Dalam hal ini bank
syariah sebuah badan hukum yang memiliki harta kekayaan, senantiasa menyisihkan
sebagian keuntungan yang didapatkan untuk zakat. Dana zakat inilah yang
digunakan oleh pihak bank untuk membantu usaha yang kecil dan keperluan sosial
yang sebagaiman telah disebutkan di muka. Di samping itu bank syariah juaga
memfasilitasi pengelolaan dana-dana zakat, infak, dan sadaqah dari masyarakat.
Tentu saja dana-dana tersebut hanya disalurkan kepada orang-orang yang memang
berhak dan layak menerima.
BAB III
PENUTUP
Perbankan
syari’ah atau perbankan Islam kiranya perlu dikembangkan lagi dari aspek teknik
operasionalnya mengarah kepada profesionalisme. Karena kecenderungan yang
tampak selama ini dari islamisasi masih terfokus pada instrumen kelembagaan
dalam bentuk penggantian istilah-istilah teknis perbankan dengan istilah yang
berasal dari fikih mu’amalah, pembersihan kegiatan usahanya dari berbagai
bentuk bisnis yang haram, penghapusan bunga (riba), dan penyaluran zakat. Oleh
karena konsep perbankan memang sejak semula tidak bisa dilepaskan dari
instrumen pembungaan, maka penolakan bank syari’ah terhadap bunga menjadikannya
“kebingungan” terhadap jati dirinya, antara lembaga perbankan dengan lembaga
perdagangan.
Konsep dasar
perbankan syari’ah yang diambil dari fikih mu’amalah, terkesan agak dipaksakan
penerapannya di dalam sistem operasional bank, meskipun sebenarnya kita tidak
diharuskan oleh agama untuk menerapkan konsep-konsep mua’amalah tersebut secara
formal-institusional semacam itu. Sebab di dalam bidang mu’amalah kita diberi
kebebasan seluas-luasnya untuk berkreasi, tak terkecuali dalam masalah
perbankan dan lembaga keuangan modern pada umumnya. Tidak ada salahnya kita
meninggalkan konsep-konsep dalam fikih mu’amalah yang dinilai tidak lagi
relevan dengan kondisi sekarang atau setidaknya memodifikasinya sedemikian
rupa, sehingga memenuhi tuntutan ekonomi modern, tentu saja dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip syari’ah.
Pola pikir kita
tidak perlu terlalu terpaku dengan model dan sistem perbankan yang selama ini
dikenal. Islamisasi lembaga keungan tidak mesti dimaknai sebagai islamisasi
lembaga perbankan dan yang semacamnya. Jika para ekonom muslim dapat
menciptakan lembaga lain yang lebih islami---tentu saja yang
sunbstantif dan komprehensif---dan dapat menggantikan fungsi perbankan, tentu
itulah hal yang kita harapkan. Islamisasi yang lebih substansif pada dasarnya
adalah dalam bentuk instrumen pembiayaan yang menggabungkan etika islam,
tentang “resiko yang lebih rendah bagi investor”, dengan tuntutan akan
pembiayaan yang lebih efisien. Pola pikir semacam inilah yang perlu
dikembangkan terus di masa yang akan datang, terutama kritik menyikapi lembaga
perbankan syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study of the Prohibition of Riba and
its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996)
______________,
menyoal bank syariah, kritik atas interpretasi bunga bank kaum neo
revivalis, (Jakarta: pramdi 2014)
Achad
subekan, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/21054-mengenal-prinsip-dasar-bank-syariah
Adiwarman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada 2004)
Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban Dewan Pengurus Syariah Sebagai
Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah Bagi Bank Syariah, Jurnal Mimbar Hukum,
Volume 21 Nomor 3, Oktober 2009,
Hasbi
Hasan, pemikiran dan perkembangan hokum ekonomi syariah di dunia islam
kontemporer, ( Jakarta, gramata publishing, 2011)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta:Rajawali
Press,2008),
Hennie Van Greuning dan Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah
(Risk Analysis For Islamic Banks), (Jakarta: Salemba Empat, 2011).
Khursid
Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century,(
Plain field: The Islamic Society of North America,1999)
Muhammad, manajemen bank syariah,
(Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011),
Muhammad Baqir al-Sadr , Iqtisaduna,
vol. 1.
Neni
Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia : Peluang
dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani, Vol. XI No. 1 Maret
2009, 21–38 ISSN : 1410 – 9832.
Nurul Huda, lembaga keuangan
islam, ( Jakarta: kencana 2010)
Sumar’in, konsep kelembagaan bank
syariah, ( Yogyakarta, graha ilmu, 2012)
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah
di Indonesia, ( Jakarta: salemba empat 2011)
Syafii Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta.
Gema Persada.2001)
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan
Praktek, (Jakarta:Rajawali Press,2008)
Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement,
Journal of Islamic Banking and Finance, Autum 1985
Zulkifli Hasan, “Shariah Governance In The Islamic Financial
Institutions In Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic Science
University of Malaysia, 2012)
The Muslim Student, Contemporary Aspects of Economic Thinking in
Islam, (Association of United States
and Canada,1976)
Seminar dan konferensi bagi regulator dan pemangku kepentingan industri, Islamic
Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah Governance
Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December
2009.
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 Tentang
Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum, Tanggal 12 Januari 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan
Syariah, Pasal 32 Ayat 3.
[1]
Muhammad, manajemen bank syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011),
hal. 83
[3] Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban
Dewan Pengurus Syariah Sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah Bagi Bank
Syariah, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 3, Oktober 2009, hal. 477.
[4] Seminar dan konferensi bagi regulator dan pemangku
kepentingan industri, Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding
Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic
Financial Services, December 2009, hal. 3.
[5] Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum, Tanggal 12
Januari 2011.
[6] Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah, Pasal 32 Ayat
3.
[7]
Hennie Van Greuning dan
Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah (Risk Analysis For Islamic
Banks), (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal. 177.
[8] Zamir Iqbal dan Abbas
Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek,
(Jakarta:Rajawali Press,2008) hal. 365.
[9] Ibid,
hal 66, lihat juga, hasbi hasan, pemikiran dan perkembangan hokum
ekonomi syariah di dunia islam kontemporer, ( Jakarta, gramata publishing,
2011) hal. 72
[10]
Achad subekan, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/21054-mengenal-prinsip-dasar-bank-syariah
[11]
Sumar’in, konsep kelembagaan bank syariah, hal. 67
[12] Ibid,
hal 66
[13]
The Muslim Student, Contemporary Aspects of Economic Thinking in Islam, (Association
of United States and Canada,1976), p.
76-79
[14]
Nurul Huda, Lembaga Keuanga Islam, ( Jakarta: kencana, 2010) hal. 41
[15]
Nurul Huda, lembaga keuangan islam, ( Jakarta: kencana 2010) hal 44.
Baca juga Abdullah Saeed, menyoal bank syariah, kritik atas interpretasi
bunga bank kaum neo revivalis, (Jakarta: pramdi 2014) hal. 121
[16]
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, ( Jakarta: salemba empat
2011) hal. 196
[17]
Nurul Huda, hal. 52
[18]
Sri Nurhayati, hal. 2010
[19]
Nurul Huda, hal. 87
[20]
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis
Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada 2004) hal. 88
[21]
Sri Nurhayati, hal. 142
[22]
Nurul Huda, hal. 91
[23]
Nurul Huda, hal 109-110
[24]
Muhammad Baqir al-Sadr , Iqtisaduna, vol. 1, part, 1,op.cit., p.95
[25]
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study of the Prohibition of
Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996). p. 53
[26] Ibid,
p. 55
[27]
Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st
Century,( Plain field: The Islamic Society of North America,1999)
[28]
Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of
Islamic Banking and Finance, Autum 1985, p. 91
[29]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta:Rajawali Press,2008), hal. 126
[31]
Ibid, hal.102-106
[32]
Neni Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia :
Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani, Vol. XI No. 1
Maret 2009, 21–38 ISSN : 1410 – 9832.
[33]
Zulkifli Hasan, “Shariah Governance In The Islamic Financial Institutions In
Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic Science University of Malaysia,
2012) p. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar