Minggu, 11 Desember 2016

ISLAMIC BANK

BAB I
PENDAHULUAN
Kerangka kegiatan muamalat dapat dibagi menjadi tiga bagian dasar, yaitu: politik, social, dan ekonomi. Dari kegiatan ekonomi dapat diambil tiga turunan yaitu: konsumsi, simpanan, dan investasi. Berbeda dengan yang lainnya, islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat (tengah-tengah), tidak berlebihan tidak juga keterlaluan. Dengan tegas Al-quran melarang terjadinya perbuatan tabzir, dalam surat Al-isra ayat 27, “sesungguhnya orang-orang yang melakukan itu adalah saudara-saudaranya setan.”
Doktrin Al-quran ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong terpupuknya surplus konsumen dalam bentuk simpanan, untuk dihimpun, kemudian dipergunakan dalam membiayai investasi, baik untuk perdagangan, produk, dan jasa.
Dalam kontek inilah kehadiran lembaga keuangan mutlak adanya (dharurah), karena ia bertindak sebagai intermediate antara unit suplay dengan unit demand. Siklus keterkaitan antara pola konsumsi, simpanan, investasi, dan lembaga keuangan.[1]
Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam produk-produknya harus sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Bank dengan system bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang sangat tepat ditengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat.[2] Konsep kebersamaan dalam menghadapi resiko dan memperoleh keuantungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat strategis bagi perkembangan bank syariah dimasa yang akan mendatang. Hal ini disebabkan  oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama isla, tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu bank syariah dengan system bagi hasil lebih mengutamakan stabilitas dan rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan system bunga mempunyai kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cendrung diskriminatif.
Secara umum, konsep dasar fungsi kepatuhan berfungsi sebagai pelaksana dan pengelola risiko kepatuhan yang berkoordinasi dengan satuan kerja dalam manajemen resiko. Fungsi kepatuhan melakukan tugas pengawasan yang bersifat preventif dan menjadi elemen penting dalam pengelolaan dan operasional bank syariah, pasar modal, asuransi syariah, pegadaian syariah serta lembaga keuangan syariah non bank (koperasi jasa keuangan syariah). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur yang dilakukan oleh perbankan Islam telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan Bank Indonesia, Pemerintah, Bapepam-LK, Fatwa MUI, serta penetapanhukum yang telah ditetapkan dalam standar
internasional IFSB, AAOIFI, Syariah Supervisory Board (SSB).[3]
Kepatuhan syariah adalah bagian dari pelaksanaan framework manajemen resiko, dan mewujudkan budaya kepatuhan dalam mengelola resiko perbankan Islam. Kepatuhan syariah (shariah compliance) juga memiliki standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic Financial Service Board (IFSB) dimana kepatuhan syariah merupakan bagian dari tata kelola lembaga (corporate governance).[4] Kepatuhan syariah merupakan manifestasi pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud karakteristik, integritas dan kredibilitas di bank syariah. Dimana budaya kepatuhan tersebut adalah nilai, perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap seluruh ketentuan Bank Indonesia.[5]
Elemen yang memiliki otoritas dan wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).[6] Dewan Pengawas Syariah melengkapi tugas pengawasan yang diberikan oleh komisaris, dimana kepatuhan syariah semakin penting untuk dilakukan dikarenakan adanya permintaan dari nasabah agar bersifat inovatif dan berorientasi bisnis dalam menawarkan instrumen dan produk baru serta untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum Islam.[7]
Dewan pengawas syariah (DPS) terdiri dari pakar syariah yang mengawasi aktivitas dan operasional institusi finansial untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Dewan syariah mengemban tugas dan tanggungjawab besar dan berfungsi sebagai bagian stakeholders, karena mereka adalah pelindung hak investor dan pengusaha yang meletakkan keyakinan dan kepercayaan dalam institusi finansial. Keberadaan dewan pengawas syariah memiliki lima isu tata kelola perusahaan, yaitu independen, kerahasiaan, kompetensi, konsistensi dan keterbukaan.[8]
BAB II
ISLAMIC BANK
1.      Prinsip dasar perbankan syariah
Bank syariah memiliki perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan bank nonsyariah (bank yang beroperasi dengan sistem bunga). Pada dasarnya, segala dunia usaha, termasuk perbankan Islam, bertujuan untuk menciptakan keuntungan (profit oriented). Namun, guna menghasilkan keuntungan tersebut terdapat beberapa hal yang harus dihindari oleh bank syariah karena bertentangan dengan syariat Islam. Salah satunya adalah bunga bank yang dalam istilah Islam disebut dengan riba. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang menyebutkan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Di samping riba, semua transaksi dalam perbankan syariah juga harus sesuai dengan syariat Islam yang antara lain menghindari transaksiyang mengandung unsur haram, perjudian/spekulasi (ميسر maisir), serta ketidak jelasan /manipulative (غرر  gharar).[9]
Apabila dibandingkan dengan bank nonsyariah, bank syariah memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai hal di bawah ini:[10]
a)      Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, tetapi sistem loss and profit sharing.[11] Dengan prinsip ini, maka bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga tertentu  bagi para penabung dan para debitur. Hal ini merupakan perbedaan utama antara bank syariah dan bank nonsyariah. Sistem loss and profit sharing relatif lebih rumit apabila dibandingkan dengan sistem bunga. Dengan sistem ini, masyarakat nasabah seolah berada dalam ketidakpastian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila mereka menabung di bank syariah. Demikian juga para debitur, tidak mendapatkan beban bunga dengan nilai nominal yang tetap apabila mereka mengambil kredit atau pinjaman pada bank syariah. 
b)      Bank syariah lebih menekankan pada pengembangan sektor riel. Karena diharamkannya bunga, maka bank syariah mencari strategi lain untuk menghasilkan keuntungan. Strategi ini dapat berupa pengembangan sektor riel untuk dibiayainya ataupun jual beli dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi nasabah. Penekanan bank syariah pada investasi sektor riel ini berdampak sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Masyarakat nasabah tidak dididik untuk konsumtif, tetapi lebih dididik untuk mengembangkan usaha sektor riel yang dijalankannya.
c)      Bank syariah hanya bersedia membiayai investasi yang halal. Bank syariah lebih selektif dalam memiliki investasi yang akan dibiayainya. Faktor yang menjadi ukuran untuk dapat dibiayai oleh bank syariah bukan hanya faktor keuntungan, tetapi juga faktor kehalalan bidang usaha yang akan dibiayai. Bidang usaha yang haram, misalnya usaha perjudian dan prostitusi, tidak akan dapat dibiayai dari bank syariah. Sekalipun bidang usaha tersebut sangat menguntungkan, bank syariah tetap tidak mau membiayainya. Hal ini berbeda dengan bank nonsyariah yang tidak memedulikan mengenai halal-tidaknya bidang usaha yang akan dibiayainya.
d)      Bank syariah tidak hanya profit oriented,  tetapi juga berorientasi pada falah, sedangkan bank nonsyariah hanya berorientasi pada keuntungan. Falah memiliki cakupan yang sangat luas, yakni kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bahkan, kebaikan hidup tersebut bukan hanya untuk bank syariah bersangkutan, tetapi juga bagi nasabahnya. Orientasi pada falah ini pada akhirnya menuntun bank syariah untuk peduli terhadap usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh nasabah sehingga antara keduanya dapat sama-sama mendapatkan manfaat atau keuntungan.
e)      Hubungan antara Bank syariah dan nasabah adalah atas dasar kemitraan (ta’awun). Dengan hubungan kemitraan ini maka tidak terdapat pihak yang merasa dieksploitasi oleh pihak lain. Pihak nasabah tidak tereksploitasi karena harus membayar bunga dalam jumlah tertentu seperti halnya hubungan antara nasabah dengan bank nonsyariah. Bahkan bank syariah ikut peduli terhadap kinerja dunia usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh nasabah (apalagi jika akad yang disepakati adalah musyarakah dan mudharabah). Pihak bank syariah juga tidak merasa tereksploitasi oleh penabung karena harus membayar bunga seperti yang diperjanjikan (misal dalam deposito). Imbalan yang diberikan kepada penabung adalah sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan pihak bank dalam mengelola dana nasabah tersebut. Antara nasabah dan bank syariah  berada dalam kondisi saling menolong dan bekerja sama (ta’awun).
f)       Seluruh produk dan operasional bank syariah didasarkan pada syariat. Produk bank syariah harus merupakan  produk perbankan yang halal. Operasional bank syariah pun harus sesuai dengan syariat Islam, misalnya etika pelayanan dan pakaian yang dikenakan para pegawai bank Islam juga harus sesuai dengan syariat Islam. Untuk menjaga agar produk dan operasional bank Islam tetap berada dalam koridor syariat, maka bank syariah dilengkapi/diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini merupakan internal control untuk menjaga kehalalan produk dan operasional bank syariah. Di samping itu, secara nasional juga terdapat Dewan Syariah Nasional yang menjadi rujukan bagi dewan syariah pada bank dalam melakukan pengawasan terhadap bank syariah.[12]

2.      Teori akad dan instumen keuangan
Gambaran hokum islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah adalah tercakup dalam bentuk kontrak (aqad) dan bentuk instrument keuangan. Dua hal ini akan memberi jalan bagi akademis maupun investor yang ingin konsisten menggunakan prinsip islam dalam menilai instrument investasi yang tersedia di pasar modal. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar diatas
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi­kan perbankan kepada nasabahnya[13].

1.      Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
  1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
  2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
  3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam,dan istishna serta produk yang mengguna­kan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank di­tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prin­sip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk per­bankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyara­kah dan mudharabah.
A.    Prinsip Jual Beli (Ba’i)           
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menja­di bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a.      Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai muraba­hah. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di­tambah keuntungan.[14] Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan da­lam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
Produk dengan murabahah merupakan produk yang paling popular dan banyak digunakan oleh perbankan islam di seluruh dunia. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah :
·         Murabahah merupakan suatu mekanisme pembiayaan investasi jangka pendek yan gcukup memudahkan serta menguntungkan pihak bank islam dibandingkan dengan konsep profit and loss sharing atau bagi hasil
·         Mark-up dalam murabahah ditetapkan sedemikian rupa yang memastikan bahwa bank islam akan dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan berbasis bunga yang menjadi saingan bank islam
·         Murabahah menjauhkan dari ketidak pastian yang ada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan system PLS.
·         Murabahah tidak memungkinkan bank islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukan mitra si nasabah, sebab hubungan antara meraka bukan hubungan antara kreditir dan debitur.[15]

b.      Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diper­jualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam trans­aksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan bar­ang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa­bah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjual­nya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridg­ing financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berla­kunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.

Ketentuan umum Salam:[16]
·         Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
·         Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
·         Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau di­pesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.

c.       Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali(­termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syar­iah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[17]
Ketentuan umum:
Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati di­cantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah sela­ma berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pe­sanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.[18]

d.      Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perban­kan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang dii­kuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.


2.      Prinsip Penghimpun dana
a.      Wadiah
Wadiah dapat diartikan titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hokum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, wadiah dapat diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak. Dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda itu sudak dijaga sebagaimna selayaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantikannya, tetapi jika kerusakan di akibatkan kelalaian , maka ia wajib menggantikannya.[19]
Dalam prinsip wadiah yang dirapkan adalah prinsip wadiah yad dhamanah, yaitu prinsip penghimpunan dana pada perbankan islam yang diterapkan pada produk  rekening giro ataupun pada saving account ( tabungan berjangka). Dalam kasus wadiah yad dhamana, pihak yang dititip yaitu bank islam bertanggung jawab penuh atas harta yang dititipkan kepadanya, dan ia boleh memanfaatkan atas harta yang dititipkan dan bank boleh memberikan insentif kepada nasabah jika mendapati keuntungan.[20]

b.      Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksimusyara­kah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara ber­sama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah se­mua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima­na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.[21]
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasa­ma dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal ber­hak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindak­an seperti:
·         Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
·         Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
·         Memberi pinjaman kepada pihak lain.
·         Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di­gantikan oleh pihak lain.
·         Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
§  Menarik diri dari perserikatan
§  Meninggal dunia,
§  Menjadi tidak cakap hukum
·         Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
·         Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse­but bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
c.       Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabahMudhara­bah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dima­na pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama de­ngan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.[22]
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab un­tuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan se­bagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola mo­dal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal ha­nya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah mo­dal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudhar­abah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak ha­rus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan me­rusak ajaran Islam.

Ketentuan umum
·         Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang       atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
·         Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
§  (Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
§  (Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
·         Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
·         Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa­jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
·         Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
·         Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
·         Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak        diperkenankan mengalami saldo negatif.
·         Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de­posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan­jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
·         Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·         Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di­ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat­an penyaluran dana simpanan khusus.
·         Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau      pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
·         Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
·         Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·         Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
·         Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
·         Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil
3.      Prinsip jasa
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya di­perlukan juga akad jasa. Akad jasa ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mem­permudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad jasa ini diboleh­kan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan un­tuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini seke­dar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.      Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat me­lanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seo­rang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

b.      Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pem­bayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
·         Milik nasabah sendiri.
·         Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
·         Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke­lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi keku­rangannya.
c.       Qardh                   
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum ke­berangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengem­balikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me­nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya se­cara cicilan melalui pemotongan gajinya.
d.      Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apa­bila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tang­gung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-­masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha­rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
e.       Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mem­persyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana un­tuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
Aplikasi dalam bank islam dapat dijelaskan sebagai berikut:[23]
·         Dalam rangka menjalankan usahanya, seorang pengusaha memerlukan pinjaman kepada pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan kepada penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
·         Kafalah pada kartu kredit. Bank menjamin nasabah ( pemegang kartu) untuk belanja tampa uang cash kepada pihak ketiga. Karena jaminan itu, bank syariah dapat mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.

4.      Isu dan kritik terhadap perbankan syariah
Terlepas dari perdebatan mengenai eksistensi ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan, faktanya pada saat ini dunia akademik dan keilmuan menyaksikan berbagai kegiatandan kajian yang begitu marak mengenai topik yang satu ini. Secara metodologis epistemologi ekonomi Islam itu telah dapat dipertanggungjawaban secara keilmuan, bahkan secara faktual–empiris eksistensinya sebagai wacana perdebatan tidak ada yang bisa membantahnya. Menurut Timur Kuran, ada tiga pilar utama dalam ekonomi Islam, Yakni norma atau etika dalam kegiatan ekonomi, bunga nol persen (bebas bunga), dan zakat.[24]
Dalam skala makro, norma yang diajarkan dalam ekonomi Islam dibebaskan menjadi dua, yakni norma dalam kegiatan produksi (termasuk didalamnya jual beli dan perdagangan) dan norma dalam konsumsi. Dalam hal yang pertama ekonomi Islam mengajarkan tentang asas kebebasan dalam berproduksi dan berdagang namun tetap harus menghindarkan diri dari merugikan pihak lain, upah yang adil, harga yang masuk akal, dan keuntunngan yang wajar; sedangkan dalam yang terakhir norma yang diajarkan adalah mengenai larangan membelanjakan harta kepada hal-hal yang terlarang (seperti zina dan minuman keras), konsumsi yang wajar (tidak berlebih-lebihan), dan sedekah untuk kepentingan sosial.[25] Sementara itu, zakat dianggap sebagai elemen utama, untuk tidak mengatakan satu-satunya, kebijakan fiskal. Sedangkan bunga nol persen kemudian diinfestasikan terutama dalm bentuk sistem perbankan Islam, di mana dalam konteks Indonesia ia kemudian menjadi perbankan syariah.
Dalam skala mikro, kegiatan pilar ekonomi Islam di atas juga bisa digunakan untuk melihat perwujudan islamisasi yang terjadi pada sistem perbankan. Menurut Zainul Arifin, perbankan syariah beroperasi atas dasar tiga prinsip utama, yakni; larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi, menjalankan bisnis yang sah menurut syari’ah, dan memberikan zakat.  Ketiga prisip utama tersebut jelas ekuivalen dengan ketiga pilar utama yang disebutkan oleh Timur Kuran di atas.[26]
Larangan terhadap riba, atau istilah lainnya bunga nol persen, merupakan isu utama dan terpenting dalam perbankan syariah. Sistem bunga yang mendasari perbankan konvensional diganti dengan sistem bagi hasil (PLS) di dalam perbankan syariah. Sistem ini merupakan pengembangan dari konsep musharakah  dan mudharabah  yang terdapat dalam fikihmuamalah. di dalam perbankan syariah, musharakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan suatu proyek, dimana nasabah mengalihkan dana beserta bagian keuntungannya untuk bank. Disamping pembiayan proyek, sistem musharakah juga bisa diwujudkan dalam bentuk modal ventura, yakni penanaman modal dalam suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu.[27] Setelah habis jangka waktunya bank melakukan divestasi (menjual bagian sahamnya), baik secara serentak maupun bertahap.
Sedangkan mudarabah  biasa diterapkan baik dalam produk-produk penghimpunan dana maupun pembiayaan. Pada aspek yang pertama, mudārabah diterapkan pada tabungan berjangka dan deposito special (special investment). Semantara pada aspek yang terakhir ia diaplikasikan (seperti modal kerja perdagangan dan jasa) dan investasi khusus (mudarabah muqayyadah). Prinsipnya, kedua belah pihak harus siap berbagi keuntungan maupun kerugian dari hasil usaha yang dibiayai, baik antara nasabah (penabung ) dengan bank maupun antara nasbah bank nasabah peminjam (debitur selaku mudarib II).
Masih terkait dengan mudarabah, penting pula disebutkan di sini mengenai sistem pembiayaan modal kerja yang agak berbeda. Jika di dalam bank konvensional penyalurannya dilakukan melalui pemberian pinjaman (kredit) sejumlah uang yang dibutuhkan, untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga; maka di dalam bank syariah pemberian modal kerja dilakukan melalui skema mudarabah (trusrt financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu dan bagi hasil dilakukan secara periodik menurut nisbah yang telah disepakati bersama. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan dana milik bank beserta porsi bagi hasil yang belum diberikan.
Prinsip utama bank syariah berikutnya, bahwa bisnis yang dijalankan harus merupakan bisnis yang sah menurut syariah, memiliki kaitan yang sangat erat dengan norma atau etika bisnis yang diajarkan dalam ekonomi Islam. Atas dasar prinsip ini bank syari’ah harus menghindarkan dari praktek bisnis yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti membiayai usaha yangmemproduksi minuman keras, usaha prostitusi, dan usaha perjudian. Kendati dalam bidang mu'amalah (bisnis dan perdagangan ) ajaran Islam memberikan kesempatan umat Islam untuk berkreasi seluas-luasnya, namun para konseptor perbankan syariah kelihatannya lebih suka menerapkan bentuk-bentuk bisnis yang telah ada dalam fikih mu'amalah.
Hal ini dapat dilihat dalam kerangka umum yang membingkai sistem operasional perbankan syariah yang berupa prinsip titipan atau simpanan (depository/wadi'ah) sistem bagi hasil (profit sharing), sistem jual beli dengan margin keuntungan (sale and purchase), sistem sewa (operasional lease and financial lease). Oleh karena didasarkan pada konsep-konsep yang terdapat dalam fikih mu'amalah, maka kelima prinsip pokok tersebut diyakini sesuai dengan syari’ah.[28]
Prinsip simpanan di dasarkan konsep titipan (wadi'ah).  Ada dua wadi'ah , yaitu wadi'ahyad al-amanah (trustee depository) dan wadi'ah yad al-damanah. Pada jenis yang pertama harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan (bank) sehingga pihak yang terakhir ini diperkenankan membebankan biaya kepada yang menitipkan . Aplikasi perbankan yang sesuai dengan konsep ini adalah safe deposit box. Aplikasi jenis kedua yang memiliki sifat yang sebaliknya, di mana bank dapat memanfaatkan harta titipan tersebut untuk kegiatan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan, namun tidak ada keharusan bagi bank untuk memberikan keuntungan tersebut kepada pihak yang menitipkan. Sebab, dasar pokok akad ini adalah titipan, bukannya bagi hasil (mudarabah), yang bisa diambil sewaktu-waktu. Produk perbankan yang sesuai dengan dengan wadi'ah yad al-damamah adalah giro dan tabungan.[29]
Adapun sistem bagi hasil, sebagaimana telah diuraikan di atas, didasarkan terutama pada konsep musharakah dan mudarabah. Semantara sistem jual beli dalam perbankan syari’ah merujuk pada bentuk-bentuk yang dikenal dalam fikih mu'amalah seperti bay' al-murabahah, bay' al-salam, adan bay' al-isti'nā'. Murabahah KPP (Kepada Pemesanan Pembelian) yang merupakan aplikasi konsep bay' al-murabahah di dalam praktek perbankan, di mana penjual (dalam hal ini adalah pihak bank) mengadakan barang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pembeli (nasabah) yang memesannya. Mekanisme semacam ini umum diterapkan pada produk pembiayaan pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun mancanegara, seperti melalui letter of credit (L/C). Murabahah KPP paling banyak digunakan, karena sederhana dantidak terlalu asing bagi mereka yang sudah terbiasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya.
Sementara itu bay' al-salam termanifestasikan dalam bentuk Salam parallel, yakni dua transaksi salam yang dilakukan secara berantai, antara nasabah (pemesan) dengan bank dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya. Bay' al-salam biasanya diterapkan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Melalui skema bay' al-salam bank membeli hasil-hasil pertanian (padi, jagung, cabe, dan sebagainya) untuk kemudian menjualnya pada pihak ketiga secara salam pula, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, ataupun grosir.
Sebagaimana dalam bay' al-salam, bay' al-istisna' juga bisa dilakukan secara parallel, artinya setelah menerima pesanan dari pembeli, pihak pembuat barang kemudian mengadakan subkontrak untuk melaksanakannya (membuatnya). Dalam konteks perbankan, pihak bank selalu menerima pesanan dari nasabah (pembeli) kemudian melakukan akad sejenis dengan pihak subkontrak. Konsekuensinya, bank tetap menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab kepada nasabah (pemesan); sementara subkontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak bank dan tidak ada hubungan hukum denhgan pemesan; bank boleh memungut keuntungan bila ada.[30]
Adapun berkenaan dengan sistem sewa, bank syariah menawarkan dua bentuk, yaitu al-ijarah (operational lease) dan al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik  (financial lease with purchase option). Sistem sewa yang kedua lebih umum dipraktekkan dalam perbankan Islam, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan dan pihak bankpun tidak direpotkan dengan pemeliharan asset, baik saat leasing maupun sesudahnya. Adapun bentuk-bentuk jasa yang ditawarkan bank syariah meliputi wakalah, (deputyship), kafilah  (guaranty), hawalah (transfer service), rahn  (mortgage),dan qard (soft and benevolent loan). Hawalah diterapakn pada factoring  , post-dated check  , dan bill discounting. Sedangkan Rahn diterapkan dalam dua hal, pertama sebagai produk pelengkap, artinya ia berfungsi sebagai jaminan(collateral) terhadap produk lain. Dalam pembiayaan bay' al-murabahah, misalnya, bank dapat menahan barang milik nasabah sebagai konsekuensi dari akad tersebut. Kedua produk yang berdiri sendiri yang mirip dengan sistem pegadain konvensional.[31]
Adapun qard dapat diaplikasikan sebagai dana talangan bagi nasabah yang memerlukan dana cepat sementar ia tidak dapat menarik dananya (misalnya karena tersimpan dalam bentuk deposito). Nasabah akan secepatnya mengembalikan dana tersebut sesuai dengan jumlah yang dipinjamnya. Di samping itu skema qard juga dapat diterapkan utnuk membantu usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial.53 Oleh karena produk ini tidak dapat memberikan keuntungan finansial, maka pendanaanya dapat diambil dari modal bank, untuk dana talangan.
Sedangkan untuk membantu usaha yang sangat kecil dan keperluan sosial, sumber dananya bisa berasal dari umat yang berupa zakat, infak, sadekah. Di samping itu, ia juga bisa berasal dari pendapatan-pendapatan bank yang diragukan kehalalannya, seperti jasa nostro di bank koresponden konvensional, bunga jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya.[32]
Demikianlah, prinsip yang menghancurkan bank syariah menjalankan usaha yang halal agaknya kemudian dimaknai sebagai tuntunan agar seluruh bisnis yang dijalankannya mengacu pada konmsep-konsep bisnis dan perdagangan yang terdapat dalam fikih mu'amalah. Apa yang tampak kemudian adalah formalisme institusional terhadap konsep-konsep bisnis masa lampau yang dilakukan di alam moderen. Jika diringkas, secara umum islamisasi perbankan tersebut meliputi tiga hal pokok dalam sistem operasionalnya, yaitu (i) profit sharing sewbagai karakter dasar, (ii) sistem penghimpunan dana, dan (iii) sistem pembiayaan. Sebagaimana telah diuraiakn sebelumnya, profit sharing dalam perbankan Islam didasarkan terutama pada konsep mudarabah di mana bank Islam berfungsi sebagai mitra, baik bagi nasabah penabung maupun bagi nasabah pengguna dana. Oleh karena itu, atas bagi hasil, maka keuntungan yang diperoleh nasabah tidak selalu sama besarnya dari waktu ke waktu.
Adapun sistem penghimpunan dana meliputi: (i) modal, (ii) titipan, (iii) investasi. Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik bank yang dilakukan melalui penyertaan modal (musharakah fi sahm al-sharikah atau equity participation) pada saham perseroan bank. Pada akhir tutup buk, mereka akan memperoleh bagi hasil dari usaha bank (deviden). Sedangkan sumber dana yang berupa titipan (wadi'ah) bisa dalam bentuk tabungan, deposito, ataupun giro. Tabungan pada bank Islam memiliki dua alternatif akad, wadi'ah atau mudarabah. Terserah pada penabung untuk memilihnya. Sementara itu giro hanya didasarkan atas akad wadi'ah saja, baik yad-amanah maupun yad al-damanah sedangkan deposito didasarkan pada akad mudarabah saja. Sumber dana bank Islam yang berasal dari investasi diperoleh dengan skema mudarabah di mana sahib al-mal (penabung) bertindak sebagai investor.[33]
Adapun mengenai sistem pembiayaan, menurut sifat penggunaannya, ia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pembiayaan konsumtif dan pembiayaan produktif. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif ini bisa dibagi menjadi dua pula, yaitu pembiayaan modal kerja (baik yang digunakan untuk meningkatkan produksi secara kualitatif atau kuantitatif, maupun untuk keperluan pemasaran produk) dan pembiayaan investasi (digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal/capital goods). Oleh karena begitu kom pleknya aspek lebih memilih untuk menerapkan skema musharakah mutanaqisah atau al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik dari pada skema mudarabah.
Adapun terhadap kebutuhan akan barang-barang konsumsi bank Islam menyediakan skema (i) bay' bi thanan ajil (jual beli dengan angsuran, salah satu bentuk murabahah), (ii) al-ijarah al-muntahi'ah bi al-tamlik (sewa beli), (iii) al-mushārakah al-mutanaqiah (decreasing participation), dan (iv) rahn.
Prinsip ulama lainnya dalm perbankan syari’ah adalah membayar zakat. Dalam hal ini bank syariah sebuah badan hukum yang memiliki harta kekayaan, senantiasa menyisihkan sebagian keuntungan yang didapatkan untuk zakat. Dana zakat inilah yang digunakan oleh pihak bank untuk membantu usaha yang kecil dan keperluan sosial yang sebagaiman telah disebutkan di muka. Di samping itu bank syariah juaga memfasilitasi pengelolaan dana-dana zakat, infak, dan sadaqah dari masyarakat. Tentu saja dana-dana tersebut hanya disalurkan kepada orang-orang yang memang berhak dan layak menerima.



BAB III
PENUTUP

Perbankan syari’ah atau perbankan Islam kiranya perlu dikembangkan lagi dari aspek teknik operasionalnya mengarah kepada profesionalisme. Karena kecenderungan yang tampak selama ini dari islamisasi masih terfokus pada instrumen kelembagaan dalam bentuk penggantian istilah-istilah teknis perbankan dengan istilah yang berasal dari fikih mu’amalah, pembersihan kegiatan usahanya dari berbagai bentuk bisnis yang haram, penghapusan bunga (riba), dan penyaluran zakat. Oleh karena konsep perbankan memang sejak semula tidak bisa dilepaskan dari instrumen pembungaan, maka penolakan bank syari’ah terhadap bunga menjadikannya “kebingungan” terhadap jati dirinya, antara lembaga perbankan dengan lembaga perdagangan.
Konsep dasar perbankan syari’ah yang diambil dari fikih mu’amalah, terkesan agak dipaksakan penerapannya di dalam sistem operasional bank, meskipun sebenarnya kita tidak diharuskan oleh agama untuk menerapkan konsep-konsep mua’amalah tersebut secara formal-institusional semacam itu. Sebab di dalam bidang mu’amalah kita diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berkreasi, tak terkecuali dalam masalah perbankan dan lembaga keuangan modern pada umumnya. Tidak ada salahnya kita meninggalkan konsep-konsep dalam fikih mu’amalah yang dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang atau setidaknya memodifikasinya sedemikian rupa, sehingga memenuhi tuntutan ekonomi modern, tentu saja dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip syari’ah.
Pola pikir kita tidak perlu terlalu terpaku dengan model dan sistem perbankan yang selama ini dikenal. Islamisasi lembaga keungan tidak mesti dimaknai sebagai islamisasi lembaga perbankan dan yang semacamnya. Jika para ekonom muslim dapat menciptakan lembaga lain yang lebih islami---tentu saja yang sunbstantif dan komprehensif---dan dapat menggantikan fungsi perbankan, tentu itulah hal yang kita harapkan. Islamisasi yang lebih substansif pada dasarnya adalah dalam bentuk instrumen pembiayaan yang menggabungkan etika islam, tentang “resiko yang lebih rendah bagi investor”, dengan tuntutan akan pembiayaan yang lebih efisien. Pola pikir semacam inilah yang perlu dikembangkan terus di masa yang akan datang, terutama kritik menyikapi lembaga perbankan syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996)
______________, menyoal bank syariah, kritik atas interpretasi bunga bank kaum neo revivalis, (Jakarta: pramdi 2014)
Adiwarman Karim,  Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada 2004)
Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban Dewan Pengurus Syariah Sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah Bagi Bank Syariah, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 3, Oktober 2009,
Hasbi Hasan, pemikiran dan perkembangan hokum ekonomi syariah di dunia islam kontemporer, ( Jakarta, gramata publishing, 2011)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta:Rajawali Press,2008),
Hennie Van Greuning dan Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah (Risk Analysis For Islamic Banks), (Jakarta: Salemba Empat, 2011).
Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century,( Plain field: The Islamic Society of North America,1999)
Muhammad, manajemen bank syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011),
Muhammad Baqir al-Sadr , Iqtisaduna, vol. 1.
Neni Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani, Vol. XI No. 1 Maret 2009, 21–38 ISSN : 1410 – 9832. 
Nurul Huda, lembaga keuangan islam, ( Jakarta: kencana 2010)
Sumar’in, konsep kelembagaan bank syariah, ( Yogyakarta, graha ilmu, 2012)
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, ( Jakarta: salemba empat 2011)
Syafii Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta. Gema Persada.2001)
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, (Jakarta:Rajawali Press,2008)
Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic Banking and Finance, Autum 1985
Zulkifli Hasan, “Shariah Governance In The Islamic Financial Institutions In Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic Science University of Malaysia, 2012)
The Muslim Student, Contemporary Aspects of Economic Thinking in Islam, (Association of  United States and Canada,1976)
Seminar dan konferensi bagi regulator dan pemangku kepentingan industri, Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009.
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum, Tanggal 12 Januari 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah, Pasal 32 Ayat 3.






[1] Muhammad, manajemen bank syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011), hal. 83
­­[2] Sumar’in, konsep kelembagaan bank syariah, ( Yogyakarta, graha ilmu, 2012) hal. 63
[3] Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban Dewan Pengurus Syariah Sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah Bagi Bank Syariah, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 3, Oktober 2009, hal. 477.
[4] Seminar dan konferensi bagi regulator dan pemangku kepentingan industri, Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009, hal. 3.
[5] Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum, Tanggal 12 Januari 2011.
[6] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah, Pasal 32 Ayat 3.
[7] Hennie Van Greuning dan Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah (Risk Analysis For Islamic Banks), (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal. 177.
[8] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, (Jakarta:Rajawali Press,2008) hal. 365.

[9] Ibid, hal 66, lihat juga, hasbi hasan, pemikiran dan perkembangan hokum ekonomi syariah di dunia islam kontemporer, ( Jakarta, gramata publishing, 2011) hal. 72
[10] Achad subekan, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/21054-mengenal-prinsip-dasar-bank-syariah
[11] Sumar’in, konsep kelembagaan bank syariah, hal. 67
[12] Ibid, hal 66
[13] The Muslim Student, Contemporary Aspects of Economic Thinking in Islam, (Association of  United States and Canada,1976), p. 76-79
[14] Nurul Huda, Lembaga Keuanga Islam, ( Jakarta: kencana, 2010) hal. 41
[15] Nurul Huda, lembaga keuangan islam, ( Jakarta: kencana 2010) hal 44. Baca juga Abdullah Saeed, menyoal bank syariah, kritik atas interpretasi bunga bank kaum neo revivalis, (Jakarta: pramdi 2014) hal. 121
[16] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, ( Jakarta: salemba empat 2011) hal. 196
[17] Nurul Huda, hal. 52
[18] Sri Nurhayati, hal. 2010
[19] Nurul Huda, hal. 87
[20] Adiwarman Karim,  Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada 2004) hal. 88
[21] Sri Nurhayati, hal. 142
[22] Nurul Huda, hal. 91
[23] Nurul Huda, hal 109-110
[24] Muhammad Baqir al-Sadr , Iqtisaduna, vol. 1, part, 1,op.cit., p.95
[25] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest : A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996). p. 53
[26] Ibid, p. 55
[27] Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century,( Plain field: The Islamic Society of North America,1999)
[28] Zianuddin Ahmad, The Present State of Islamic Finance Movement, Journal of Islamic Banking and Finance, Autum 1985, p. 91
[29] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta:Rajawali Press,2008), hal. 126
[30] Syafii Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta. Gema Persada.2001) hal. 172
[31] Ibid, hal.102-106
[32] Neni Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani, Vol. XI No. 1 Maret 2009, 21–38 ISSN : 1410 – 9832. 
[33] Zulkifli Hasan, “Shariah Governance In The Islamic Financial Institutions In Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic Science University of Malaysia, 2012) p. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar