Minggu, 11 Desember 2016

BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

BAB I
Pendahuluan
Lembaga keuangan adalah sebuah wadah di mana terdapat jasa dalam proses mengelola keuangan untuk tujuan tertentu. Seperti yang kita tahu, peranan lembaga keuangan dalam kehidupan terutama bank sangatlah penting. Hal ini akibat semakin berkembangnya sistem ketataniagaan yang mau tidak mau melibatkan lembaga keuangan atau bank di dalamnya. Namun pesatnya perkembangan bank tidak diimbangi dengan pesatnya kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang biasanya terdapat di wilayah desa atau kecamatan. Pada umumnya bank konvensional sangat selektif dan hanya berorientasi untuk mendapat keuntungan dengan sedikit resiko, oleh karenanya masyarakat ekonomi lemah sulit untuk mendapat jasa keuangan bank.
  Dalam upayanya untuk merangkul masyarakat ekonomi lemah, pemerintah juga mengatur untuk didirikannya Bank Perkreditan Rakyat yang lingkup kerjanya lebih terpusat pada wilayah tertentu saja, misalnya di kabupaten, kecamatan dan desa. Hal ini bertujuan agar semakin meratanya layanan jasa keuangan bagi seluruh masyarakat. Praktek bunga yang diterapkan setiap bank, baik bank umum ataupun bank perkreditan rakyat tetap menjadi andalan dalam rangka mencari keuntungan. Sistem bunga yang diterapkan bank akhirnya  mendapat respon dari kaum muslim, yang mana sudah jelas bahwa bunga/riba adalah haram hukumnya. Maka dengan munculnya pemikiran untuk mendirikan bank yang berprinsip syariah secara nasional terlebih dahulu didirikan sebuah lembaga keuangan yaitu bank perkreditan rakyat syariah pada tahun 1990. Diharapkan bahwa berdirinya bank perkreditan rakyat syariah menjadi salah satu solusi dalam rangka melayani jasa keuangan yang bebas dari praktek riba sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat.
Dari paparan di atas, penulis akan menggali lebih dalam lagi tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pembahasan meliputi pengertian BPRS, sejarah dan perkembangan BPRS di Indonesia, ciri-ciri BPRS, manajemen permodalan BPRS, peran BPRS dalam pemberdayaan ekonomi umat serta hambatan perkembangan dan strategi pengembangan BPRS di Indonesia.





BAB II
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
1.            Pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat[1].
Sedangkan pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dalam lembaga keuangan konvensional tidak menggunakan istilah “pembiayaan” tapi istilah perkreditan. Perkreditan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga[2].
Jadi, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Yang perlu diperhatikan adalah kepanjangan dari BPRS yang berupa Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Semua peraturan perundang-undangan yang menyebut BPRS dengan Bank Perkreditan Rakyat Syariah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah[3].
BPR berada ditengah- tengah masyarakat desa, dikampung- kampong, dipasar- pasar serta melaksanakan perannya dalam memberikan pelayanan perbankan kepada lapisan masyarakt yang terendah seperti kepada petani, peternak, nelayan, pengerajin, pedagang dan pengusaha- pengusaha kecil lainnya yang sebagina besar berasal dari bangsa Indonesia.[4]
Sebelum lahirnya BPR Syari’ah di Indonesia, masyarakat terlebih dahulu mengenal adanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Menurut UU No. 21 Tahun 2008 disebutkan bahwa BPR adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dimana BPR konvensional masih menerapkan sistem bunga dalam operasionalnya. Maka dari itu, harus dibedakan antara BPR Konvensional dan BPR Syari’ah. Perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sebagai berikut:[5]
a.       Akad dan aspek legalitas.
Dalam BPR Syari’ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum hanya berdasarkan hukum positif
b.      Adanya Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya yang bertujuan mengawasi praktik operasional BPR Syari’ah agar tidak menyimpang dari prinsip Syari’ah.
c.       Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah maupun Pengadilan Agama.
d.      Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat ataupun dapat menimbulkan kemadharatan bagi pihak lain.
e.       Praktik operasional BPR Syari’ah, baik untuk penghimpunan maupun penyaluran pembiayaan, menggunakan sistem bagi hasil dan tidak menggunakan sistem bunga.
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prisnsip Syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya dapat berupa : Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI No. 6/17/PBI/2004). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) yaitu Bank Syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[6]. Yang perlu diperhatikan dari ketentuan diatas adalah kepanjangan dari BPR Syari’ah yang berupa Bank Perkreditan Syari’ah. Ini berarti semua peraturan perundangan-undangan yang menyebut BPR Syari’ah dengan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS)[7].
Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Bank Syari’ah telah mengatur secara khusus eksistensi Bank Syari’ah di Indonesia. Undang-Undang tersebut melengkapi dan menyempurnakan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang belum spesifik sehingga perlu diatur khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Menurut Pasal 18 UU No. 21 Tahun 2008, Bank Syari’ah terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah.
Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum disebutkan pengertian dari Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah Bank Syari’ah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[8].
Sedangkan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Perbankan Syari’ah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syari’ah[9], demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian[10].
1.      Tinjauan dan Karakteristik BPR Syari’ah
Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syari’ah di dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut:
a.       Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b.      Menambah lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
c.       Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai[11].
d.      Untuk mempercepat perputaran aktivitas perekonomian karena sektor real akan bergairah[12].
Dalam aktivitas operasional perbankannya berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dilarang:[13]
a.       Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
b.      Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
c.       Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia.
d.      Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi Syari’ah.
e.       Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pemiayaan Rakyat Syari’ah.
f.        Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha yang telah diatur dalam Undang-Undang.

2.      Kegiatan Usaha BPR Syari’ah
Adapun kegiatan usaha dari BPR Syari’ah intinya hampir sama dengan kegiatan dari Bank Umum Syari’ah, yaitu berupa penghimpunan dana, penyaluran dana, dan kegiatan di bidang jasa. Yang membedakannya adalah bahwa BPR Syari’ah tidak diperkenankan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, misalnya ikut dalam kegiatan kliring, inkaso, dan menertibkan giro[14].
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR Syari’ah versi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah diatur dalam Pasal 21, yaitu bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah meliputi :[15]
a.       Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1)      Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah; dan
2)      Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
b.      Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1)      Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah.
2)      Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna’.
3)      Pembiayaan berdasarkan akad qardh.
4)      Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5)      Pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah.
c.       Menempatkan dana pada Bank Syari’ah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
d.      Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah yang ada di Bank Umum Syari’ah , Bank Umum Konvensional dan UUS.
e.       Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syari’ah lainnya yang sesuai dengan prinsip Syari’ah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Kegiatan usaha BPR Syari’ah secara teknis operasional berkaitan dengan produk-produknya mendasarkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip Syari’ah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syari’ah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Lebih teknis lagi mengacu SEBI No. 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 perihal pelaksanaan prinsip dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syari’ah.
Perlu ditekankan disini bahwa setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan prinsip Syari’ah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain. Dengan demikian untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud di atas secara a contrario dapat ditafsirkan harus ada izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia[16].
3.      Pembiayaan di BPR Syari’ah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit[17]. Pengertian pembiayaan adalah pendaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan[18].
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a.       Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b.      Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa-beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
c.       Transaksi jual-beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.
d.      Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh.
e.       Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan atau bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dalam pelaksanaan pembiayaan, Bank Syari’ah harus memenuhi:[19]
a.       Aspek Syari’ah, berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah Bank Syari’ah harus tetap berpedoman pada syariat Islam (antara lain tidak mengandung unsure maisir, gharar, dan riba serta usahanya harus halal).
b.      Aspek ekonomi, berarti disamping mempertimbangkan hal-hal Syari’ah, Bank Syari’ah tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank Syari’ah maupun bagi nasabah bank Syari’ah.
Tujuan Pembiayaan adalah sebagai berikut:[20]
a.       Peningkatan ekonomi umat
b.      Tersedianya dana bagi peningkatan usaha
c.       Meningkatkan produktifitas
d.      Membuka lapangan kerja baru
e.       Terjadi distribusi pendapatan
Secara garis besar, pembiayaan dibagi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
a.       Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembiayaan rumah, kendaraan bermotor, pembiayaan pendidikan, dan apapun yang sifatnya konsumtif.
b.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembeliaan barang modal dan lainnya yang mempunyai tujuan memberdayakan sektor real. Salah satu fungsi utama dari perbankan adalah menyalurkan dana yang telah dihimpunnya kepada masyarakat melalui pembiayaan kepada nasabah.
Jenis-jenis pembiayaan pada dasarnya dapat dikelompokan menurut beberapa aspek, diantaranya:[21]
a.       Pembiayaan menurut tujuan, yaitu :
1      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha.
2      Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif.
b.      Pembiayaan menurut jangka waktu, yaitu :
1      Pembiayaan jangka pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan sampai dengan 1 tahun.
2      Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun.
3      Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari 5 tahun.
Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu:
a)      Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:
1      Pembiayaan murabahah.
2      Pembiayaan musyarakah.
b)      Pembiayaan dengan prinsip jual beli (piutang). Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:
1      Pembiayaan murabahah.
2      Pembiayaan salam.
3      Pembiayaan istishna.
c)      Pembiayaan dengan prinsip sewa. Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:
1      Pembiayaan ijarah.
2      Pembiayaan ijarah muntahiya bittamlik/wa iqtina
2.            Landasan Hukum
Pada dasarnya, pendirian BPR Syariah mempunyai tujuan yang utama. Yang pertama yaitu menghindari riba; dan yang kedua yaitu mengamalkan prinsip-prinsip syariah dalam perbankan khususnya Bank Perkreditan Rakyat untuk tujuan kemaslahatan.
Di dalam Al-Qur’an, beberapa ayat yang menyinggung tentang pelarangan riba, di antaranya QS Ar-Rum [30]:39, QS. Al-Baqarah [2]:275, QS. Al-Baqarah [4]:130, QS. An-Nisa[4]: 146, QS. Al-Baqarah [2]:276, dan QS. Al-Baqarah [2]:278.
Selanjutnya, banyak hadits yang terkait dengan pelarangan riba. Salah satunya yaitu:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang member makan riba, penulis dan saksi riba. Kemudian mereka bersabda: mereka semua adalah sama (HR.Muslim)
            Untuk pengamalan prinsip-prinsip syariah, hal ini merupakan kewajiban bagi kita untuk menuangkannya ke semua aspek kehidupan, termasuk di dalam perbankan.ketentuan ini mengacu pada kaidah fiqih, yang artinya ‘apabila hukum syara’ dilaksanakan, maka pastilah akan tercipta kemaslahatan[22].
Bank syariah berdiri pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hokum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan hokum Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Sesuai dengan perkembangan perbankan maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun1992 tentang perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah[23].
Masih banyak pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah oleh karena dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah, pemerintah mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indanesia mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah dan beberapa cabang syariah dari bank konvensional, seperti BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah, Bank Jabar Syariah dsb.
Pada tahun-tahun berikutnya, Bank Indonesia (BI) merevisi aturan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Ketentuan baru ini dibuat untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas mengenai syarat dan tata cara pendirian BPRS. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang mulai berlaku 1 Juli 2009[24].

3.            Sejarah dan Perkembangan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia
Menurut Warkum Sumitro, berdirinya BPRS di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari BPR-BPR pada umumnya. BPR yang status hukumnya disahkan melalui Paket Kebijakan Keuangan Moneter dan Perbankan (PAKTO tanggal 27 Oktober 1998 pada hakikatnya merupakan modifikasi (model baru) dari Lumbung Desa dan Bank Desa yang ada sejak 1980-an[25].
Lumbung desa sebagai sistem perkreditan rakyat zaman dahulu, dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat tani di pedesaan, karena pada waktu itu peredaran uang belum menjangkau masyarakat tani di pedesaan sehingga pinjaman dalam bentuk padi lebih menguntungkan dan lebih praktis daripada pinjaman dalam bentuk uang. Selain itu pinjaman padi tidak mengganggu kestabilan harga padi yang menjadi penghasilan utama masyarakat desa[26].
Kepastian bagi peluang beroperasinya BPR tanpa bunga yang sesuai dengan keinggina umat islam tersebut tampak dengan penjelasan lisan dari pemerintah pada rapat kerja dengan komisi VII DPR RI Tgl 5 Juli 1990, bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan atau beroperasinya bank(termasuk BPR) yang berprinsip syariah selama hal tersebut memenuhi criteria kesehatan bank sesuai dengan ketentuan bank Indonesia[27].
Setelah penjelasan lisan pemerintah tersebut pada bulan Agustus 1990 para ulama dan ekonom muslim beserta praktisi perbankan mulai menyusun program pendirian BPRS. Dengan berbagai upaya akhirnya program tersebut terealisasi dengan menetapkan tiga lokasi yang mempunyai potensi berdirinya BPRS, sebagai langkah awal yang lebih kongkret. BPRS itu yakni PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Ketiga BPR tersebut akhirnya pada tgl 8 Okt. 1990 telah mendapat izin dari Menteri Keuangan RI.
Karena struktur ekonomi, sosial dan administrasi masyarakat desa sudah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari proses pembangunan, maka keberadaan BPR tidak lagi persis sama seperti lumbung desa zaman dahulu. Namun demikian, paling tidak keberadaan BPR pada masa sekarang dan yang akan datang diharapkan mampu menjadi alternatif pengganti yang terbaik bagi fungsi dan peranan lumbung desa dan Bank Desa dalam melindungi petani dari gejolak harga padi dan resiko kegagalan dalam produksi serta ketergantungan petani terhadap para rentenir[28].
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas mengenai status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 huruf C yang berbunyi sebagai berikut; “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”[29]. Seiring dengan bergulirnya sistem ekonomi Islam sebagai sistem alternatif dalam mengelola perekonomian, maka kehadiran BPRS juga sangat diharapkan[30].
Keberadaan BPRS secara khusus dijabarkan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir, tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 32/4/KPPB tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah[31].
Perkembangan bank syariah dari awal keberadaannya hingga November 2001 terdapat  81 BPRS. BPRS tersebut distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang beradadi Indonesia[32].
4.            Manajemen Permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Untuk mendirikan dan memiliki BPRS berdasarkan (Pasal 4) Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 modal yang harus disetor adalah:[33]
a.              Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi;
b.              Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas;
c.              Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
Dalam mendirikan BPRS, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain:[34]
a.              Persyaratan Umum
1)            BPRS yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan RI dan mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
2)            Bentuk badan hukum BPRS, perusahaan daerah, koperasi dan Perseroan Terbatas (PT).
3)            Didirikan dan dimiliki oleh Pemda, koperasi dan Perseroan Terbatas (PT).
4)            Tempat kedudukan BPRS di kecamatan di luar ibu kota negara, ibu kota Dati I dan Dati II.
5)            Wilayah pelayanan mencakup desa-desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS.
6)            Usaha meliputi tabungan dan deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pengusaha kecil.
7)            Modal disetor minimal Rp 50.000.000.
8)            Penanaman modal aktiva tidak boleh melebihi 50% dari modal sendiri.
9)            Mayoritas direksi harus berpengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun.
b.              Permohonan Izin Prinsip
1)            BPRS berbentuk Perseroan Terbatas
a)            Siapkan modal disetor minimal Rp 15.000.000 atau 30% dari total modal disetor.
b)            Siapkan minimal dua nama yang akan dipakai BPRS dan selanjutnya mintakan persetujuan ke Departemen Kehakiman.
2)            BPRS tidak berbentuk Perseroan Terbatas
Menyesuaikan diri dengan ketentuan yang telah digariskan oleh departemen terkait.
3)            Permohonan izin prinsip
Mengajukan permohonan tertulis dialamtkan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
a)            Rencana akte pendirian dan Anggaran Dasar (AD) BPRS.
b)            Rencana kerja BPRS pada tahun pertama.
c)            Daftar calon direksi, dewan komisaris dan pengawas Syariah.
d)            Photocopy bukti setoran sebesar Rp 15.000.000 pada rekening Menteri Keuangan pada bank pemerintah, yang merupakan 30% dari modal disetor minimum dan telah dilegalisir oleh Bank Pemerintah yang bersangkutan.
c.              Permohonan Izin Usaha
Mengajukan permohonan izin usaha dan diajukan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
1)            Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000 pada rekening Menteri Keuangan pada bank pemerintah, yang merupakan 70% dari modal disetor minimum dan telah dilegalisir oleh bank pemerintah bersangkutan.
2)            Copy Anggaran Dasar (AD) BPRS yang telah disahkan Menteri Kehakiman RI.
3)            Photocopy NPWP BPRS.
4)            Menyampaikan prosedur dan sistem tata kerja BPRS disertai warkat yang akan digunakan.
5)            Mengirimkan data pengurus BPRS.
6)            Photocopy situasi dan kondisi perkantoran dan peralatan BPRS.
d.              Persiapan Pra Opersional BPRS
BPRS yang telah memperoleh izin usaha harus ke Pemda setempat untuk memperoleh: WDP (Wajib Daftar Perusahaan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha), serta harus telah melakukan kegiatan opersionalnya selambat-lambatnya tiga bulan sejak dikeluarkannya izin dimaksud. BPRS harus melakukan market development serta membuat brosur produk bank dan mempersiapkan logo bank.
e.              Laporan Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada hari pertama operasi harus dilaporkan kepada Bank Indonesia setempat dengan melampirkan Neraca Awal.

5.            Produk-Produk BPR Syariah
Pada dasarnya, konsep dasar operasional BPR Islam, sama dengan konsep dasar operasional pada Bank Muamalat Indonesia, yaitu: 1) Sistem Simpanan murni (al-wadiah), 2) Sistem bagi hasil, 3) sistem jual beli dan marjin keuntungan, 4) sistem sewa, dan 5) sistem upah (fee).[35]
Untuk produk-produk[36]yang ditawarkan BPR Syariah secara garis besar, yaitu:
a.       Mobilisasi Dana Masyarakat
Bank akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
·         Simpanan amanah
Bank menerima titipan amanah berupa dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalah wadi’ah yakni titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari bagi hasil yang didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.
·         Tabungan wadi’ah
Bank menerima tabungan pribadi maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang dihitung harian dan dibayar setiap bulan. 
·         Deposito wadi’ah / deposito mudharabah
Bank menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah atau mudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan akad wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap bulan.
b.      Penyaluran Dana
·         Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha) dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan kerja.
·         Pembiayaan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal.
·         Pembiayaan bai bitsaman ajil
Proses jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan yang disepakati bersama.
·         Pembiayaan murabahah
Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
·         Pembiayaan qardhul hasan
Perjanjian antara bank dan nasabah yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.
·         Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
·         Pembiayaan Al-Hiwalah
Penggambil alihan hutang nasabah kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan nasabah belum mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk melunasi hutangnya. Pembiayaan ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang, dimana BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar dan cara pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
c.       Jasa Perbankan Lainnya
Secara bertahap bank akan menyediakan jasa untuk memperlancar pembayaran berupa proses transfer dan inkaso, pembayaran rekening air, listrik, telepon, angsuran KPR, dll.
Bank juga mempersiapkan bentuk pelayanan berupa dana talang berdasarkan pembiayaan bai salam.
6.            Peran BPRS dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Tujuan pendirian BPRS antara lain:[37]
a.              Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
b.              Mengurangi urbanisasi.
c.              Menambah lapangan kerja, terutama di kecamatan-kecamatan.
d.              Meningkatkan pendapatan perkapita.
e.              Membina semangat ukhuwah islamiah melalui kegiatan ekonomi.
f.               Diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan perbankan bagi masyarakat pedesaan.
g.              Menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan.
h.              Melayani kebutuhan modal dengan prosedur pemberian kredit yang mudah dan sederhana.
i.                Menampung dan menghimpun tabungan masyarakat. Dengan demikian BPRS dapat turut memobilisasi modal untuk keperluan pembangunan dan turut mendidik rakyat dalam berhemat dan menabung; dengan menyediakan tempat yang dekat, aman dan mudah untuk menyimpan uang bagi penabung kecil.



7.            Hambatan Perkembangan dan Strategi Pengembangan BPRS di Indonesia
Sebagai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil, BPRS memiliki beberapa hambatan dalam perkembangannya. Pertama, manajemen bank yang kurang profesional. Kedua, risiko yang lebih besar atau ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan BPR konvensional. Ketiga, jaringan operasi yang terbatas, khususnya transaksi sesama bank syariah. Jumlah BPRS di Indonesia masih sangat terbatas sehingga menghambat pengembangannya. Bank syariah tidak dapat melakukan transaksi dengan bank konvensional dengan sistem bunga. Konsekuensinya adalah bank syariah tidak dapat memberikan pelayanan yang luas kepada masyarakat, tidak dapat melakukan kerjasama antar bank syariah, tidak dapat melakukan transaksi penempatan antar bank syariah, dan sulit mengatasi likuiditas[38].
Adapun strategi pengembangan BPRS yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.              Sosialisasi BPRS, bukan hanya dari produknya, tetapi juga sistem yang digunakan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan informasi melalui media massa. Selain itu, BPRS juga bisa bersosialisasi melalui kerjasama dengan lembaga pendidikan atau non-pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPRS.
b.              Mengadakan pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah sebagai wujud meningkatkan kualitas SDM. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan syariah atau kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan syariah.
c.              Pemetaan potensi dan optimalisasi ekonomi daerah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPRS mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat kesinambungan kerja BPRS dengan BMT.
d.              Mengadakan kegiatan rutin keagamaan sebagai wujud meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Hal ini pun dapat membantu dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada.




BAN III
KESIMPULAN
            Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah dapat didefinisikan sebagai sebuah lembaga keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.
            Sejak tahun 1992, yaitu pada saat diluncurkannya UU Perbankan No. 7/1992, operasi Perbankan di Indonesia diperkaya an bentuk oeperasi yang berdasarkan pada Syariah Islam, yaitu sistem bagi-hasil (profit-sharing system). UU perbankan yang baru No. 10/1998 semakin kondusif tumbuhnya bank syariah dengan diperkenankannya bank konvensional beroperasi dengan dual system, yaitu sistem konvensional dan sistem bagi-hasil. Namun demikian, sebagai bank yang relatif baru dalam menggunakan sistem bagi-hasil, BPR Syariah menghadapi banyak tantangan dan memiliki beberapa kelemahan di samping kesempatan dan kekuatan yang dimilikinya, oleh karena itu manajemen yang profesional dan amanah sangat diperlukan dalam mengoperasikannya.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Ahmad Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008),
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008)
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi Cetakan Pertama, (Yogyakarta: EKONESIA, 2003)
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011)
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Trend pembentukan Bank Umum Syari’ah Pasca UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), (Yogyakarta : BPFE, 2009), hal. 41.
Lihat di http://grhoback.blogspot.com/2010/05/landasan-hukum-bank-syariah.html
M. Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 88
Menurut pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 yang dimaksud prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
______________________Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisi, 2008)
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP, 2002)
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012)
Pandu Suharto, peran, masalah dan prospek bank perkreditan rakyat, Lembaga pengembangan perbankan indonesia,Jakarta, 1991.
Sutan Remy syahdeini, Perbankan Syariah dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002)
Warkum Sumitro, asas-asas perbankan islam dan lembaga- lembaga terkait BAMUI & takaful di indonesia, cet. Ke II, (Jakarta PT Raja Grafindo persada, 1997)
______________, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004)
Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009)






[1] Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 6
[2] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 78
[3] Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariahop.cit., h. 7
[4] Pandu Suharto, peran, masalah dan prospek bank perkreditan rakyat, Lembaga pengembangan perbankan indonesia,Jakarta, 1991. Hal 45
[5] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP, 2002), hal. 56
[6] Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Trend pembentukan Bank Umum Syari’ah Pasca UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), (Yogyakarta : BPFE, 2009), hal. 41.
[7] Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari’ah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2009), hal. 7.
[8] Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 3.
[9] Menurut pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 yang dimaksud prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.
[10] Ahmad Ifham, Opcit, hal. 3.
[11] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi Cetakan Pertama, (Yogyakarta: EKONESIA, 2003), hal. 85.
[12] Muhammad, Opcit, hal. 56.
[13] Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal. 200.
[14] Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Opcit,,h. 41.
[15] Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Ibid, h. 53-54.
[16] Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Ibid, h. 55.
[17] Muhammad Syafii Antonio, Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 160 .
[18] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP YKPN, 2002), hal. 17.
[19] Muhammad, Ibid, h. 16.
[20] Sutan Remy syahdeini, Perbankan Syariah dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 20.
[21] Muhammad, op.cit, h. 22.
[22] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, , hal.31
[23] Lihat di http://grhoback.blogspot.com/2010/05/landasan-hukum-bank-syariah.html
[25] M. Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 88
[26] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 125
[27] Warkum Sumitro, asas-asas perbankan islam dan lembaga- lembaga terkait BAMUI & takaful di indonesia, cet. Ke II, (Jakarta PT Raja Grafindo persada, 1997)hal.78
[28] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, hal. 126
[29] Ahmad Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008), h. 40
[30] M. Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesiaop.cit., h.89
[31] Ahmad Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, loc.cit.
[32] Muhammad Islail
[33] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008), h.189
[34] Ahmad Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariahop.cit., h.41-43
[35] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2008). hal. 100
[36]  Hal. 99-100
[37] Ibid., h. 43-44
[38] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisi, 2008), h. 124-125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar