BAB I
Pendahuluan
Lembaga keuangan adalah sebuah wadah di mana
terdapat jasa dalam proses mengelola keuangan untuk tujuan tertentu. Seperti
yang kita tahu, peranan lembaga keuangan dalam kehidupan terutama bank
sangatlah penting. Hal ini akibat semakin berkembangnya sistem ketataniagaan
yang mau tidak mau melibatkan lembaga keuangan atau bank di dalamnya. Namun
pesatnya perkembangan bank tidak diimbangi dengan pesatnya kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang biasanya
terdapat di wilayah desa atau kecamatan. Pada umumnya bank konvensional sangat
selektif dan hanya berorientasi untuk mendapat keuntungan dengan sedikit
resiko, oleh karenanya masyarakat ekonomi lemah sulit untuk mendapat jasa
keuangan bank.
Dalam upayanya untuk merangkul
masyarakat ekonomi lemah, pemerintah juga mengatur untuk didirikannya Bank
Perkreditan Rakyat yang lingkup kerjanya lebih terpusat pada wilayah tertentu
saja, misalnya di kabupaten, kecamatan dan desa. Hal ini bertujuan agar semakin
meratanya layanan jasa keuangan bagi seluruh masyarakat. Praktek bunga yang
diterapkan setiap bank, baik bank umum ataupun bank perkreditan rakyat tetap
menjadi andalan dalam rangka mencari keuntungan. Sistem bunga yang diterapkan
bank akhirnya mendapat respon dari kaum muslim, yang mana sudah jelas
bahwa bunga/riba adalah haram hukumnya. Maka dengan munculnya pemikiran untuk
mendirikan bank yang berprinsip syariah secara nasional terlebih dahulu
didirikan sebuah lembaga keuangan yaitu bank perkreditan rakyat syariah pada
tahun 1990. Diharapkan bahwa berdirinya bank perkreditan rakyat syariah menjadi
salah satu solusi dalam rangka melayani jasa keuangan yang bebas dari praktek
riba sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat.
Dari paparan di atas, penulis akan menggali
lebih dalam lagi tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pembahasan
meliputi pengertian BPRS, sejarah dan perkembangan BPRS di Indonesia, ciri-ciri
BPRS, manajemen permodalan BPRS, peran BPRS dalam pemberdayaan ekonomi umat serta
hambatan perkembangan dan strategi pengembangan BPRS di Indonesia.
BAB II
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
1.
Pengertian Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat[1].
Sedangkan pembiayaan adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil. Dalam lembaga keuangan konvensional tidak
menggunakan istilah “pembiayaan” tapi istilah perkreditan. Perkreditan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga[2].
Jadi, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Yang
perlu diperhatikan adalah kepanjangan dari BPRS yang berupa Bank Perkreditan
Rakyat Syariah. Semua peraturan perundang-undangan yang menyebut BPRS dengan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah[3].
BPR
berada ditengah- tengah masyarakat desa, dikampung- kampong, dipasar- pasar
serta melaksanakan perannya dalam memberikan pelayanan perbankan kepada lapisan
masyarakt yang terendah seperti kepada petani, peternak, nelayan, pengerajin,
pedagang dan pengusaha- pengusaha kecil lainnya yang sebagina besar berasal
dari bangsa Indonesia.[4]
Sebelum lahirnya BPR Syari’ah di Indonesia, masyarakat terlebih
dahulu mengenal adanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Menurut UU No. 21 Tahun
2008 disebutkan bahwa BPR adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dimana BPR konvensional masih
menerapkan sistem bunga dalam operasionalnya. Maka dari itu, harus dibedakan
antara BPR Konvensional dan BPR Syari’ah. Perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah (BPRS) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sebagai berikut:[5]
a.
Akad
dan aspek legalitas.
Dalam BPR Syari’ah akad yang
dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam. Sering nasabah berani melanggar kesepakatan atau
perjanjian yang telah dilakukan bila hukum hanya berdasarkan hukum positif
b.
Adanya
Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya yang bertujuan mengawasi
praktik operasional BPR Syari’ah agar tidak menyimpang dari prinsip Syari’ah.
c.
Penyelesaian
sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
maupun Pengadilan Agama.
d.
Bisnis
dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat ataupun dapat
menimbulkan kemadharatan bagi pihak lain.
e.
Praktik
operasional BPR Syari’ah, baik untuk penghimpunan maupun penyaluran pembiayaan,
menggunakan sistem bagi hasil dan tidak menggunakan sistem bunga.
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prisnsip Syari’ah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya
dapat berupa : Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2
PBI No. 6/17/PBI/2004). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan Bank
Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) yaitu Bank Syari’ah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[6].
Yang perlu diperhatikan dari ketentuan diatas adalah kepanjangan dari BPR
Syari’ah yang berupa Bank Perkreditan Syari’ah. Ini berarti semua peraturan
perundangan-undangan yang menyebut BPR Syari’ah dengan Bank Perkreditan Rakyat
Syari’ah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS)[7].
Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Bank Syari’ah telah
mengatur secara khusus eksistensi Bank Syari’ah di Indonesia. Undang-Undang
tersebut melengkapi dan menyempurnakan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang belum spesifik
sehingga perlu diatur khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Menurut Pasal 18
UU No. 21 Tahun 2008, Bank Syari’ah terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syari’ah.
Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum disebutkan
pengertian dari Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah Bank Syari’ah
yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[8].
Sedangkan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Perbankan
Syari’ah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syari’ah[9],
demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian[10].
1.
Tinjauan
dan Karakteristik BPR Syari’ah
Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syari’ah di
dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut:
a.
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b.
Menambah
lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
c.
Membina
semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai[11].
d.
Untuk
mempercepat perputaran aktivitas perekonomian karena sektor real akan bergairah[12].
Dalam aktivitas operasional perbankannya berdasarkan UU No. 21
Tahun 2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dilarang:[13]
a.
Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
b.
Menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
c.
Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin
Bank Indonesia.
d.
Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
Syari’ah.
e.
Melakukan
penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas Bank Pemiayaan Rakyat Syari’ah.
f.
Melakukan
usaha lain diluar kegiatan usaha yang telah diatur dalam Undang-Undang.
2.
Kegiatan
Usaha BPR Syari’ah
Adapun kegiatan usaha dari BPR Syari’ah intinya hampir sama dengan
kegiatan dari Bank Umum Syari’ah, yaitu berupa penghimpunan dana, penyaluran
dana, dan kegiatan di bidang jasa. Yang membedakannya adalah bahwa BPR Syari’ah
tidak diperkenankan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, misalnya ikut
dalam kegiatan kliring, inkaso, dan menertibkan giro[14].
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR Syari’ah versi
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah diatur dalam Pasal
21, yaitu bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah meliputi :[15]
a.
Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk:
1)
Simpanan
berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah; dan
2)
Investasi
berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip Syari’ah.
b.
Menyalurkan
dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1)
Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah.
2)
Pembiayaan
berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna’.
3)
Pembiayaan
berdasarkan akad qardh.
4)
Pembiayaan
penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5)
Pengambilalihan
utang berdasarkan akad hawalah.
c.
Menempatkan
dana pada Bank Syari’ah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau
investasi berdasarkan akad mudharabah dan atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
d.
Memindahkan
uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui
rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah yang ada di Bank Umum Syari’ah , Bank
Umum Konvensional dan UUS.
e.
Menyediakan
produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syari’ah lainnya yang sesuai dengan
prinsip Syari’ah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Kegiatan usaha BPR Syari’ah secara teknis operasional berkaitan
dengan produk-produknya mendasarkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip Syari’ah dalam kegiatan penghimpunan
dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syari’ah sebagaimana telah
diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Lebih teknis lagi mengacu SEBI No.
10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 perihal pelaksanaan prinsip dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syari’ah.
Perlu ditekankan disini bahwa setiap pihak dilarang melakukan
kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan
prinsip Syari’ah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur
dalam undang-undang lain. Dengan demikian untuk dapat melakukan
kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud di atas secara a contrario dapat
ditafsirkan harus ada izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia[16].
3.
Pembiayaan
di BPR Syari’ah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan
defisit unit[17].
Pengertian pembiayaan adalah pendaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak
lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri
maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan[18].
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a.
Transaksi
bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b.
Transaksi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa-beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik.
c.
Transaksi
jual-beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.
d.
Transaksi
pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh.
e.
Transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan atau bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah
(UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dalam pelaksanaan pembiayaan, Bank Syari’ah harus memenuhi:[19]
a.
Aspek
Syari’ah, berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah Bank
Syari’ah harus tetap berpedoman pada syariat Islam (antara lain tidak
mengandung unsure maisir, gharar, dan riba serta usahanya harus halal).
b.
Aspek
ekonomi, berarti disamping mempertimbangkan hal-hal Syari’ah, Bank Syari’ah
tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank Syari’ah maupun bagi
nasabah bank Syari’ah.
Tujuan Pembiayaan adalah sebagai berikut:[20]
a.
Peningkatan
ekonomi umat
b.
Tersedianya
dana bagi peningkatan usaha
c.
Meningkatkan
produktifitas
d.
Membuka
lapangan kerja baru
e.
Terjadi
distribusi pendapatan
Secara garis besar, pembiayaan dibagi dua jenis, yaitu sebagai
berikut:
a.
Pembiayaan
konsumtif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat
konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembiayaan rumah, kendaraan bermotor,
pembiayaan pendidikan, dan apapun yang sifatnya konsumtif.
b.
Pembiayaan
produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif,
seperti pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembeliaan barang modal dan lainnya
yang mempunyai tujuan memberdayakan sektor real. Salah satu fungsi utama dari
perbankan adalah menyalurkan dana yang telah dihimpunnya kepada masyarakat
melalui pembiayaan kepada nasabah.
Jenis-jenis pembiayaan pada dasarnya dapat dikelompokan menurut
beberapa aspek, diantaranya:[21]
a.
Pembiayaan
menurut tujuan, yaitu :
1 Pembiayaan
modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam
rangka pengembangan usaha.
2 Pembiayaan
investasi yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau
pengadaan barang konsumtif.
b.
Pembiayaan
menurut jangka waktu, yaitu :
1 Pembiayaan
jangka pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan sampai dengan 1
tahun.
2 Pembiayaan
jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 tahun sampai
dengan 5 tahun.
3 Pembiayaan
jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari 5
tahun.
Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk
aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu:
a)
Pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil. Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:
1 Pembiayaan
murabahah.
2 Pembiayaan
musyarakah.
b)
Pembiayaan
dengan prinsip jual beli (piutang). Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini
meliputi:
1 Pembiayaan
murabahah.
2 Pembiayaan
salam.
3 Pembiayaan
istishna.
c)
Pembiayaan
dengan prinsip sewa. Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:
1 Pembiayaan
ijarah.
2 Pembiayaan
ijarah muntahiya bittamlik/wa iqtina
2.
Landasan Hukum
Pada dasarnya,
pendirian BPR Syariah mempunyai tujuan yang utama. Yang pertama yaitu
menghindari riba; dan yang kedua yaitu mengamalkan prinsip-prinsip syariah
dalam perbankan khususnya Bank Perkreditan Rakyat untuk tujuan kemaslahatan.
Di dalam
Al-Qur’an, beberapa ayat yang menyinggung tentang pelarangan riba, di antaranya
QS Ar-Rum [30]:39, QS. Al-Baqarah [2]:275, QS. Al-Baqarah [4]:130, QS.
An-Nisa[4]: 146, QS. Al-Baqarah [2]:276, dan QS. Al-Baqarah [2]:278.
Selanjutnya,
banyak hadits yang terkait dengan pelarangan riba. Salah satunya yaitu:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan
riba, orang yang member makan riba, penulis dan saksi riba. Kemudian mereka
bersabda: mereka semua adalah sama (HR.Muslim)
Untuk pengamalan prinsip-prinsip syariah, hal ini merupakan kewajiban bagi kita
untuk menuangkannya ke semua aspek kehidupan, termasuk di dalam
perbankan.ketentuan ini mengacu pada kaidah fiqih, yang artinya ‘apabila
hukum syara’ dilaksanakan, maka pastilah akan tercipta kemaslahatan[22].
Bank syariah
berdiri pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil
sebagai landasan hokum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73
tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan
hokum Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Sesuai dengan perkembangan perbankan
maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan disempurnakan dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
tahun1992 tentang perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan
perbankan syariah[23].
Masih banyak
pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah oleh karena dalam
undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah, pemerintah
mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan pemerintah nomor
30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indanesia mulai tahun 1999
banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank syariah.
Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah Mandiri,
Bank Mega Syariah dan beberapa cabang syariah dari bank konvensional, seperti
BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah, Bank Jabar Syariah dsb.
Pada
tahun-tahun berikutnya, Bank Indonesia (BI) merevisi aturan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS). Ketentuan baru ini dibuat untuk memberikan landasan
hukum yang lebih jelas mengenai syarat dan tata cara pendirian BPRS. Aturan
baru ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang mulai berlaku 1 Juli 2009[24].
3.
Sejarah dan
Perkembangan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia
Menurut Warkum Sumitro, berdirinya BPRS di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari BPR-BPR pada umumnya. BPR yang status
hukumnya disahkan melalui Paket Kebijakan Keuangan Moneter dan Perbankan (PAKTO
tanggal 27 Oktober 1998 pada hakikatnya merupakan modifikasi (model baru) dari
Lumbung Desa dan Bank Desa yang ada sejak 1980-an[25].
Lumbung desa sebagai sistem perkreditan rakyat
zaman dahulu, dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat tani di pedesaan,
karena pada waktu itu peredaran uang belum menjangkau masyarakat tani di
pedesaan sehingga pinjaman dalam bentuk padi lebih menguntungkan dan lebih
praktis daripada pinjaman dalam bentuk uang. Selain itu pinjaman padi tidak
mengganggu kestabilan harga padi yang menjadi penghasilan utama masyarakat desa[26].
Kepastian
bagi peluang beroperasinya BPR tanpa bunga yang sesuai dengan keinggina umat
islam tersebut tampak dengan penjelasan lisan dari pemerintah pada rapat kerja
dengan komisi VII DPR RI Tgl 5 Juli 1990, bahwa tidak ada halangan untuk
mendirikan atau beroperasinya bank(termasuk BPR) yang berprinsip syariah selama
hal tersebut memenuhi criteria kesehatan bank sesuai dengan ketentuan bank
Indonesia[27].
Setelah
penjelasan lisan pemerintah tersebut pada bulan Agustus 1990 para ulama dan
ekonom muslim beserta praktisi perbankan mulai menyusun program pendirian BPRS.
Dengan berbagai upaya akhirnya program tersebut terealisasi dengan menetapkan
tiga lokasi yang mempunyai potensi berdirinya BPRS, sebagai langkah awal yang
lebih kongkret. BPRS itu yakni PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu,
Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung dan PT. BPR
Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Ketiga BPR tersebut akhirnya pada
tgl 8 Okt. 1990 telah mendapat izin dari Menteri Keuangan RI.
Karena struktur ekonomi, sosial dan
administrasi masyarakat desa sudah banyak mengalami perubahan sebagai akibat
dari proses pembangunan, maka keberadaan BPR tidak lagi persis sama seperti
lumbung desa zaman dahulu. Namun demikian, paling tidak keberadaan BPR pada
masa sekarang dan yang akan datang diharapkan mampu menjadi alternatif
pengganti yang terbaik bagi fungsi dan peranan lumbung desa dan Bank Desa dalam
melindungi petani dari gejolak harga padi dan resiko kegagalan dalam produksi
serta ketergantungan petani terhadap para rentenir[28].
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang merubah
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas
mengenai status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 huruf
C yang berbunyi sebagai berikut; “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia”[29]. Seiring
dengan bergulirnya sistem ekonomi Islam sebagai sistem alternatif dalam
mengelola perekonomian, maka kehadiran BPRS juga sangat diharapkan[30].
Keberadaan BPRS secara khusus dijabarkan dalam
bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei
1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah, dan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir, tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 32/4/KPPB tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah[31].
Perkembangan
bank syariah dari awal keberadaannya hingga November 2001 terdapat 81
BPRS. BPRS tersebut distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang
beradadi Indonesia[32].
4.
Manajemen
Permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Untuk mendirikan dan memiliki BPRS berdasarkan
(Pasal 4) Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 modal yang harus disetor
adalah:[33]
a.
Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk
BPRS yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan
Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi;
b.
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk
BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada
huruf a di atas;
c.
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di
atas.
Dalam mendirikan BPRS, ada beberapa hal yang
harus dipenuhi, antara lain:[34]
a.
Persyaratan Umum
1)
BPRS yang telah memperoleh izin dari Menteri
Keuangan RI dan mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
2)
Bentuk badan hukum BPRS, perusahaan daerah,
koperasi dan Perseroan Terbatas (PT).
3)
Didirikan dan dimiliki oleh Pemda, koperasi dan
Perseroan Terbatas (PT).
4)
Tempat kedudukan BPRS di kecamatan di luar ibu
kota negara, ibu kota Dati I dan Dati II.
5)
Wilayah pelayanan mencakup desa-desa dan
perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS.
6)
Usaha meliputi tabungan dan deposito berjangka
dan memberikan kredit kepada pengusaha kecil.
7)
Modal disetor minimal Rp 50.000.000.
8)
Penanaman modal aktiva tidak boleh melebihi 50%
dari modal sendiri.
9)
Mayoritas direksi harus berpengalaman dalam
operasional bank minimal satu tahun.
b.
Permohonan Izin Prinsip
1)
BPRS berbentuk Perseroan Terbatas
a)
Siapkan modal disetor minimal Rp 15.000.000
atau 30% dari total modal disetor.
b)
Siapkan minimal dua nama yang akan dipakai BPRS
dan selanjutnya mintakan persetujuan ke Departemen Kehakiman.
2)
BPRS tidak berbentuk Perseroan Terbatas
Menyesuaikan
diri dengan ketentuan yang telah digariskan oleh departemen terkait.
3)
Permohonan izin prinsip
Mengajukan
permohonan tertulis dialamtkan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
a)
Rencana akte pendirian dan Anggaran Dasar (AD)
BPRS.
b)
Rencana kerja BPRS pada tahun pertama.
c)
Daftar calon direksi, dewan komisaris dan
pengawas Syariah.
d)
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 15.000.000 pada
rekening Menteri Keuangan pada bank pemerintah, yang merupakan 30% dari modal
disetor minimum dan telah dilegalisir oleh Bank Pemerintah yang bersangkutan.
c.
Permohonan Izin Usaha
Mengajukan
permohonan izin usaha dan diajukan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
1)
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000 pada
rekening Menteri Keuangan pada bank pemerintah, yang merupakan 70% dari modal
disetor minimum dan telah dilegalisir oleh bank pemerintah bersangkutan.
2)
Copy Anggaran Dasar (AD) BPRS yang telah disahkan
Menteri Kehakiman RI.
3)
Photocopy NPWP BPRS.
4)
Menyampaikan prosedur dan sistem tata kerja
BPRS disertai warkat yang akan digunakan.
5)
Mengirimkan data pengurus BPRS.
6)
Photocopy situasi dan
kondisi perkantoran dan peralatan BPRS.
d.
Persiapan Pra Opersional BPRS
BPRS yang telah memperoleh izin usaha harus ke
Pemda setempat untuk memperoleh: WDP (Wajib Daftar Perusahaan) dan SITU (Surat
Izin Tempat Usaha), serta harus telah melakukan kegiatan opersionalnya
selambat-lambatnya tiga bulan sejak dikeluarkannya izin dimaksud. BPRS harus
melakukan market development serta membuat brosur produk bank
dan mempersiapkan logo bank.
e.
Laporan Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada hari pertama
operasi harus dilaporkan kepada Bank Indonesia setempat dengan melampirkan
Neraca Awal.
5.
Produk-Produk
BPR Syariah
Pada dasarnya,
konsep dasar operasional BPR Islam, sama dengan konsep dasar operasional pada
Bank Muamalat Indonesia, yaitu: 1) Sistem Simpanan murni (al-wadiah), 2)
Sistem bagi hasil, 3) sistem jual beli dan marjin keuntungan, 4) sistem sewa,
dan 5) sistem upah (fee).[35]
Untuk
produk-produk[36]yang
ditawarkan BPR Syariah secara garis besar, yaitu:
a.
Mobilisasi Dana Masyarakat
Bank akan
mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah,
adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan
untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
·
Simpanan amanah
Bank
menerima titipan amanah berupa dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan
titipan ini adalah wadi’ah yakni titipan yang tidak menanggung
resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari bagi hasil yang didapat melalui
pembiayaan kepada nasabah.
·
Tabungan wadi’ah
Bank menerima
tabungan pribadi maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad
penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan
kadar profit kepada nasabah yang dihitung harian dan dibayar setiap
bulan.
·
Deposito wadi’ah /
deposito mudharabah
Bank
menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah atau mudharabah,
dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara dalam
jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan akad wadi’ah mendapat
nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi
hasil yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap bulan.
b.
Penyaluran Dana
·
Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha)
dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai
dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian
dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan
kerja.
·
Pembiayaan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana
modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola bersama-sama.
Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal.
·
Pembiayaan bai bitsaman ajil
Proses jual beli antara bank dan nasabah,
dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu barang oleh nasabah, kemudian
nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan yang disepakati
bersama.
·
Pembiayaan murabahah
Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank
menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja yang
dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual
bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
·
Pembiayaan qardhul hasan
Perjanjian antara bank dan nasabah yang layak
menerima pembiayaan kebajikan, dimana nasabah yang menerima hanya membayar
pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.
·
Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan dengan prinsip jual beli, dimana
BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah
ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai
kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme
pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
· Pembiayaan Al-Hiwalah
Penggambil alihan hutang nasabah kepada pihak
ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan nasabah belum mampu untuk
membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk melunasi hutangnya. Pembiayaan
ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang, dimana BPRS dalam hal ini akan
mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar dan cara pembayarannya
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
c.
Jasa Perbankan Lainnya
Secara bertahap
bank akan menyediakan jasa untuk memperlancar pembayaran berupa proses transfer
dan inkaso, pembayaran rekening air, listrik, telepon, angsuran KPR, dll.
Bank juga
mempersiapkan bentuk pelayanan berupa dana talang berdasarkan pembiayaan bai
salam.
6.
Peran BPRS
dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Tujuan pendirian BPRS antara lain:[37]
a.
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam,
terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
b.
Mengurangi urbanisasi.
c.
Menambah lapangan kerja, terutama di
kecamatan-kecamatan.
d.
Meningkatkan pendapatan perkapita.
e.
Membina semangat ukhuwah islamiah melalui
kegiatan ekonomi.
f.
Diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jasa
pelayanan perbankan bagi masyarakat pedesaan.
g.
Menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi
pedesaan.
h.
Melayani kebutuhan modal dengan prosedur
pemberian kredit yang mudah dan sederhana.
i.
Menampung dan menghimpun tabungan masyarakat.
Dengan demikian BPRS dapat turut memobilisasi modal untuk keperluan pembangunan
dan turut mendidik rakyat dalam berhemat dan menabung; dengan menyediakan
tempat yang dekat, aman dan mudah untuk menyimpan uang bagi penabung kecil.
7.
Hambatan
Perkembangan dan Strategi Pengembangan BPRS di Indonesia
Sebagai bank yang menjalankan prinsip bagi
hasil, BPRS memiliki beberapa hambatan dalam perkembangannya. Pertama,
manajemen bank yang kurang profesional. Kedua, risiko yang lebih
besar atau ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan BPR
konvensional. Ketiga, jaringan operasi yang terbatas, khususnya
transaksi sesama bank syariah. Jumlah BPRS di Indonesia masih sangat terbatas
sehingga menghambat pengembangannya. Bank syariah tidak dapat melakukan
transaksi dengan bank konvensional dengan sistem bunga. Konsekuensinya adalah
bank syariah tidak dapat memberikan pelayanan yang luas kepada masyarakat,
tidak dapat melakukan kerjasama antar bank syariah, tidak dapat melakukan
transaksi penempatan antar bank syariah, dan sulit mengatasi likuiditas[38].
a.
Sosialisasi BPRS, bukan hanya dari produknya,
tetapi juga sistem yang digunakan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan
informasi melalui media massa. Selain itu, BPRS juga bisa bersosialisasi
melalui kerjasama dengan lembaga pendidikan atau non-pendidikan yang mempunyai
relevansi dengan visi dan misi BPRS.
b.
Mengadakan pelatihan-pelatihan mengenai lembaga
keuangan syariah sebagai wujud meningkatkan kualitas SDM. Hal ini bisa
dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan syariah atau kursus pendek
(shortcourse) lembaga keuangan syariah.
c.
Pemetaan potensi dan optimalisasi ekonomi
daerah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPRS mengelola
sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat
kesinambungan kerja BPRS dengan BMT.
d.
Mengadakan kegiatan rutin keagamaan sebagai
wujud meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran Islam dalam bidang ekonomi.
Hal ini pun dapat membantu dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang
ada.
BAN III
KESIMPULAN
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah dapat didefinisikan sebagai sebuah lembaga
keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang
operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.
Sejak tahun 1992, yaitu pada saat diluncurkannya UU Perbankan No. 7/1992,
operasi Perbankan di Indonesia diperkaya an bentuk oeperasi yang berdasarkan
pada Syariah Islam, yaitu sistem bagi-hasil (profit-sharing system). UU
perbankan yang baru No. 10/1998 semakin kondusif tumbuhnya bank syariah dengan
diperkenankannya bank konvensional beroperasi dengan dual system,
yaitu sistem konvensional dan sistem bagi-hasil. Namun demikian, sebagai bank
yang relatif baru dalam menggunakan sistem bagi-hasil, BPR Syariah menghadapi
banyak tantangan dan memiliki beberapa kelemahan di samping kesempatan dan kekuatan
yang dimilikinya, oleh karena itu manajemen yang profesional dan amanah sangat
diperlukan dalam mengoperasikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga
Keuangan Syari’ah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Ahmad
Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2008),
Burhanuddin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta, 2008)
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga
Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi Cetakan Pertama, (Yogyakarta:
EKONESIA, 2003)
Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011)
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Trend
pembentukan Bank Umum Syari’ah Pasca UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 (Konsep,
Regulasi, dan Implementasi), (Yogyakarta : BPFE, 2009), hal. 41.
Lihat di
http://grhoback.blogspot.com/2010/05/landasan-hukum-bank-syariah.html
M.
Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di
Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 88
Menurut pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008
yang dimaksud prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insani, 2011)
______________________, Bank
Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta:
Ekonisi, 2008)
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP,
2002)
Nur Rianto Al Arif, Lembaga
Keuangan Syari’ah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2012)
Pandu Suharto, peran, masalah dan prospek bank
perkreditan rakyat, Lembaga
pengembangan perbankan indonesia,Jakarta, 1991.
Sutan Remy syahdeini, Perbankan
Syariah dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti, 2002)
Warkum Sumitro, asas-asas perbankan islam dan lembaga- lembaga
terkait BAMUI & takaful di indonesia, cet. Ke II, (Jakarta PT Raja Grafindo persada, 1997)
______________, Asas-Asas
Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004)
Zubairi
Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009)
[1] Zubairi
Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009), h. 6
[2] Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.
78
[3] Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan
Syariah, op.cit., h. 7
[4]
Pandu Suharto, peran,
masalah dan prospek bank perkreditan rakyat, Lembaga
pengembangan perbankan indonesia,Jakarta, 1991. Hal 45
[5]
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP, 2002), hal. 56
[6]
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Trend pembentukan Bank Umum Syari’ah Pasca
UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 (Konsep, Regulasi, dan Implementasi),
(Yogyakarta : BPFE, 2009), hal. 41.
[7]
Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari’ah Titik Temu Hukum Islam dan
Hukum Nasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2009), hal. 7.
[8]
Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 3.
[9]
Menurut pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 yang dimaksud prinsip syari’ah adalah
prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.
[10]
Ahmad Ifham, Opcit, hal. 3.
[11]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi
Cetakan Pertama, (Yogyakarta: EKONESIA, 2003), hal. 85.
[12]
Muhammad, Opcit, hal. 56.
[13]
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah Suatu Kajian Teoritis Praktis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal. 200.
[14]
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Opcit,,h. 41.
[15]
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Ibid, h. 53-54.
[16]
Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Ibid, h. 55.
[17]
Muhammad Syafii Antonio, Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), hal. 160 .
[18]
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP YKPN,
2002), hal. 17.
[19]
Muhammad, Ibid, h. 16.
[20]
Sutan Remy syahdeini, Perbankan Syariah dan Kedudukannya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal.
20.
[21]
Muhammad, op.cit, h. 22.
[22]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, , hal.31
[23]
Lihat di http://grhoback.blogspot.com/2010/05/landasan-hukum-bank-syariah.html
[25] M.
Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di
Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 88
[26]
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam &
Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 125
[27]
Warkum Sumitro, asas-asas
perbankan islam dan lembaga- lembaga terkait BAMUI & takaful di indonesia, cet. Ke II, (Jakarta PT Raja Grafindo persada, 1997)hal.78
[28]
Warkum
Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, hal.
126
[29] Ahmad
Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2008), h. 40
[30] M.
Ma’ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di
Indonesia, op.cit., h.89
[31] Ahmad
Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, loc.cit.
[32]
Muhammad Islail
[33] Burhanuddin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta, 2008), h.189
[34]
Ahmad
Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, op.cit.,
h.41-43
[35]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah:
Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2008). hal. 100
[36]
Hal. 99-100
[37]
Ibid., h. 43-44
[38]
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Analisis Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisi, 2008), h.
124-125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar