Minggu, 11 Desember 2016

pajak dalam meningkatkan pembangunan dan pendapatan asli daerah muaro jambi” ( studi kasus dinas pendapatan asli daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi)

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar belakang
Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara  berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang  telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Zakat saat ini memang baru dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik (insya Allah akan terbit) dimasa mendatang yaitu zakat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang (credit tax). [1]
Dalam pandangan islam, pajak terpagi menjadi dua pendapat ulama yang telah menjabarkan tentang pajak. Sebagian ulama seperti imam nawawi dalam sahih muslim mengatakan “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak”.[2]
Namun menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, dalam bukunya Syifa’ul Ghalil, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.[3]
Dari pemaparan pendapat dua ulama di atas, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah).
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Pembangunan di suatu daerah bertujuan untuk membangun masyarakat seutuhnya, untuk itu diharapkan pembangunan tersebut tidak hanya mengejar kemajuan daerah saja, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, agar dapat berjalan serasi dan seimbang di segala bidang dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spitual.
Pembangunan derah merupakan kegiatan utama pemerintahan daerah, karena itu rencana pembangunan daerah membutuhkan partisipasi seluruh unsur pemerintah daerah yang ada di daerah tersebut,[4]  dan di dukung oleh masyarakatnya. Dengan pembangunan daerah yang serasi dan terpadu disertai perencanaan pembangunan yang baik, efisien dan efektif maka akan tercipta kemandirian daerah dan kemajuan yang merata diseluruh wilayah. Hal ini akan membuat pendaparan asli daerah (PAD) meningkat.
Dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang pemerintah daerah dalam bentuk pelaksanaan  kewenangan fiskal, daerah harus dapat mengenali potensi dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan guna untuk memenuhi PAD. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam membelajakan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal dalam koridor peraturan yang berlaku, termasuk diantaranya pajak daerah  dan retribusi daerah yang menjadi sumber utama PAD.
Pendapatan asli daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat. Kemampuan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya PAD yang di peroleh suatu daerah. Pada prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD pada APBN, maka semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah membuka peluang daerah provinsi, daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya membengun daerah guna mengimplementasikan makna otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa permasalahan maupun sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia setiap darah kabupaten/kota berbeda-beda satu sama lainnya. Perbedaan potensi sumber daya tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan pada masing-masing daerah,terlebih lagi dengan menguatnya egoisme kedaerahan telah mendorong daerah lebih banyak melihat kedalam.[5]
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta keserasian pembangunan antardaerah. Pada sisi lain, kewenangan dan pasilitas yang diperlukan untuk mejalankan peran tersebut relatif terbatas, akibatnya peran provinsi sebagai penyeimbang pembangunan di daerah belum dapat dijalankan secara optimal.
Pada sisi lain, daerah provinsi sebagai suatu unsur elemen bersekala regional, selama ini belum banyak melakukan kerja sama antarprovinsi. Padahal, setiap provinsi memiliki produk unggulan yang dibutuhkan oleh pasar dalam maupun luar negari.
Proses perencanaan pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menyusun perencanaan pembangunan yang berlangsung secara terus menerus dan saling berkaitan sehingga menbentuk suatu siklus. Proses pembangunan dimulai dari pengumpulan informasi untuk perencanaan yang akan dianalisis, perumasan kebijaksanaan hingga kegiatan peramalan berikut: a) pengupulan informasi untuk perencanaan; b) analisis keadaan dan identifikasi masalah; c) penyusunan kerangka makro perencanaan dan perkiraan sumber-sumber pembangunan; d) kebijakan dasar pembangunan; e) perencanaan sektoral, kebijakan program, proyek, kegiatan lainnya; f) perencanaan regional; g) program kerja, program pembiayaan, prosedur pelaksanaan, penuangan dalam perencanaan proyek-proyek; h) pelaksanaan rencana; i) kebijakan-kebijakan stabilisasi; k) komunikasi pendukung pembangunan; l) pengendalian pelaksanaan; m) pengawasan; n) tinjauan pelaksanaan; dan o) peramalan.[6]
Penerapan otonomi daerah dan disentralisasi fiscal yang tertuang dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 telahmulaidilaksanakan 1 januari 2001. Pelaksanaan otonomi daerah ini merupakan babak baru dalam pembangunan dan pemarataan daerah. Terlepas dari belum siapnya pemerintah daerah, otonomi daerah diyakini merupakan cara terbaik untuk mendorong pembangunan dan memperbesar ketimpangan pembangunan masing-masing daerah.
Dalam memperkecil daerah maka diperlukan indicator-indikator tambahan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan daerah secara komprehensip, seperti[7]
1.    Kualitas sumber daya manusia (SDM), semakin tinggi kualitas SDM suatu daerah maka kecenderungan pendapatannya akan semakin tinggi pula. Kualitas SDM penduduk dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu kualitas pendidikan dan kesehatan.
2.    Ketersediaan prasarana atau infrastruktur, kegiatan social ekonomi penduduk suatu wilayah mutlak ditunjan oleh ketersedian akses transportasi,fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Pajak adalah salah satu bentuk peran masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi dan sumber pendapatan daerah yang penting untuk menbiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam rangka intensifikasi kemampuan keuangan daerah, pemerintah daerah melakukan berbagai kebijakan perpajakan, diantaranya dengan menetapkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pemberian wewenang dalam mengenakan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk mengeoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah. Pajak daerah diharapkan bisa menjadi penopang utama PAD.
Dari proses yang ada semua harus dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, demi kemajuan pembangunan dan perekonomian. Kurangnya peran pemerintah dalam mengembangkan sumber pendapatan mengakibatkan PAD menurun. Seperti pada tahun 2015 PAD muaro jambi merosot dari Rp. 62 Miliar menjadi Rp. 56 Miliar. Ini dikarenakan pemerintah daerah kurang perperan dalam mengembangkan potensi daerah.[8]
Dari penjelasan diatas membuat penulis tertarik untuk mengangkat judul “pajak dalam meningkatkan pembangunan dan pendapatan asli daerah muaro jambi” ( studi kasus dinas pendapatan asli daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi).
B.           Rumusan masalah
1.    Seberapa besar potensi penerimaan pajak daerah muaro jambi?
2.    Apakah yang menghambat pelaksanaan perolehan pajak daerah muaro jambi?
3.    Apakah pajak daerah mempunyai peran dalam pembangunan?
4.    Apakah pajak daerah mempunyai peran dalam meningkatkan pendapatan asli daerah?


C.             Fokus penelitian
Peneliti menetapkan focus permasalahan yang akan diteliti berdasarkan latar belakang masalah. Yang menjadi focus penelitian ini adalah, untuk mengetahui poten siapa saja yang dihasilkan oleh pajak daerah dengan dilihat dari segi pembangunan daerah dan pajak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah muaro jambi.
D.           Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan penelitian
1.    Untuk mengetahui seberapa besar potensi penerimaan pajak daerah muaro jambi
2.    Untuk mengetaui apa saja yang mengahambat pelaksanaan perolehan pajak daerah.
3.    Untuk mengetahui peran pajak daerah dalam meningkatkan pembangunan.
4.    Untuk mengetahui berapa besar peran pajak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
Kegunaan penelitian
1.    Bagi pemerintah daerah
Memberikan informasi menganai besarnya peran pajak daerah yang diperolah kabupaten akan berpengaruh kepada pembangunan daerah. Baik dari segi sumber daya manusia, ekonomi, maupun infrastruktur.
2.    Bagi penulis/peneliti
Untuk mengetahui bagaimana suatu daerah dapat membangun daerahnya untuk perkembangan daerahnya dari sumber-sumber pendapatan pajak, serta sebagai penambah ilmu diluar pelajaran yang ada di perkuliahan.
3.    Bagi masyarakat
Diharapkan dengan penelitian ini masyarakat tahu bagainama dan dari mana sebuah daerah mendapatkan pemasukan, serta pentingnya pejak guna pembangunan daerah, dengan begitu masyarakat dapat lebih membantu pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan.



BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
1.    Landasan teori
a.     Pembangunan
Pembangunan adalah suatu usaha atau serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintah, menuju medernitas dalam rangka pembinaan bangsa.[9]
Pemikiran tentang pembangunan pada awalnya diartikan sama dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi secara keseluruhan mengandung unsure perubahan.Namun keempat hal tersubut mempunyai perbadaan yang cukup prinsip, kerena masing-masing mempunyai latar belakang, asas dan hakikat yang berdeda meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan.
Pembangunan adalah rentetan berbagai perubahan yang mempunyai tujuan tertentu. Pembangunan pada hakekatnya merupakan proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus yang merupakan kemajuan yang ingin dicapai. Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan arahan yang jelas mengenai makna dan hakekat pembangunan menurut pandangan bangsa Indonesia.
Pembangunan secara umum diartikan sebagai suatu usaha untuk lebih meningkatkan produktifitas sumber daya alam, sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara berupa sumber daya alam sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Dengan demikian pembangunan pada dasarnya dapat dikatakan usaha dasar untuk mengubah masa lampau yang buruk menjadi zaman baru yang lebih baik untuk mewariskan masa depan kepada generasi yang akan datang.
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.[10]Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan.[11]
Pembangunan sering diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de-ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya.
 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.



b.    Peranan
Seseorang hanya mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya secara efektif, jika mereka telah mengetahui secara pasti tentang perannya di dalam sebuah organisasi tempat kerjanya. Kata peranan berasal dari kata peran. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Dari arti ini dapat dimaknai bahwa peran di sini adalah tindakan seseorang yang melakukan tugas-tugasnya terhadap tugas yang diamanatkan. Lebih spesifik lagi adalah tindakan seseorang yang melakukan tugas fasilitas pada sebuah unit atau instansi.[12]
 Pengertian peranan adalah sebagai berikut:  “Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.”[13] Konsep tentang peran (role) dalam buku “Ensiklopedia Manajemen” mengungkapkan sebagai berikut:[14]
1.    Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen.
2.    Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
3.    Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.
4.    Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya.
5.    Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
            Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran yang mengenai hubungan dua variabel yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:[15]
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan  ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

c.    Pengertian Pajak
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sector partikelir kesector pemerintahan) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (tegen prestatie) untuk membiayai pengeluaran umum, dan digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar keuangan.[16]
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.
 Pengetian pajak menurut beberapa ahli :
1.    Prof Dr Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk secara langsung.[17]
2.    Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang) dapat dipaksakan  dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.[18]
Dari definisi definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, sebagai berikut :
a.    Iuran rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara/pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b.    Berdasarkan Undang Undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang Undang serta aturan pelaksanaannya. Oleh karena itu pemungutan pajak bisa dipaksakan. Sekalipun demikian walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya melalui Undang Undang.
c.    Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi secara individual dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam arti bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.
d.    Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, pajak diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah. Dan jika masih surplus digunakan untuk “public saving” dan public saving ini yang akan digunakan untuk membiayai  “public invesment”.
Dari ke-4 ( empat ) ciri tersebut diatas, ciri ke-2 ( dua ) merupakan ciri yang paling menonjol  dalam suatu negara modern karena pengalihan sumber-sumber (resources) dari sektor swasta ke sektor pemerintah harus selalu berdasarkan peraturan atau Undang Undang, yang mana peraturan atau Undang-Undang tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Hal ini telah memunculkan sebuah slogan di negara-negara maju bahwa dalam pemungutan pajak berlaku istilah “no taxation without representation” yang artinya tidak ada pajak tanpa persetujuan dari wakil rakyat.
Indonesia sebagai negara hukum telah menempatkan landasan pemungutan pajak dalam Undang Undang Dasar nya, yaitu  Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi bahwa “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan Undang Undang”. Hal ini dipertegas dalam penjelasan dari pasal 23 ayat (2) tersebut, yaitu “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari  mana didapatnya belanja buat hidup harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya”.
e.    Pengertian Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan daerah. Dengan demkian, pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan didaerah. Karena pemerintah daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka wewenang pemungutannya ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing yang diatur dalam undang-undang.
 Disamping pemungutan berbagai macam pajak, pemerintah masih dapat kewenangan untuk malakukan berbagai pungutan lain, antara lain :
1.    Retribusi, retribusi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang daerah dan Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan kepada pemerintah daerah. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, Retribusi yang dapat di sebut sebagai pajak Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
 Jenis Pos retribusi daerah dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu :
a.    Retribusi Jasa Umum
Ø  Retribusi Pelayanan Kesehatan
Ø  Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
Ø  Retribusi Penggantian Biaya Cetak  Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
Ø  Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
Ø  Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Ø  Retribusi Pelayanan Pasar
Ø  Retribusi Pengujian  Kendaraan Bermotor
Ø  Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
Ø  Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 
Ø  Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
Ø  Retribusi Pengolahan Limbah Cair
Ø  Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
Ø  Retribusi Pelayanan Pendidikan
Ø  Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
b.    Retribusi Jasa Usaha
Ø  Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
Ø  Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
Ø  Retribusi Tempat Pelelangan
Ø  Retribusi  Terminal
Ø  Retribusi Tempat Khusus Parkir
Ø  Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Ø  Retribusi Rumah Potong Hewan
Ø  Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
Ø  Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
Ø  Retribusi Penyebranga di Air
Ø  Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
c.    Retribusi Perizinan
Ø  Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Ø  Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
Ø  Retribusi Izin Gangguan
Ø  Retribusi Izin Trayek
Ø  Retribusi Izin Usaha Perikanan.
2.    Sumbangan atau iuran yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan pemerintah secara langsung dan nyata kepada sekelompok atau golongan pembayarnya atau golongan tertentu. Misalnya : SWP3D (Sumbangan Wajib Pembangunan dan Pemeliharaan Prasarana Daerah).
3.    Cukai yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu. Misalnya : cukai terhadap tembakau, cukai gula, cukai bensin, cukai minuman keras.
4.    Bea Meterai yaitu pajak yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan benda meterai ataupun cara lainnya (menggunakan mesin teraan atau pemeteraian kemudian).
Sesuai Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
1.    Pajak Provinsi terdiri dari:
a.    Pajak Kendaraan Bermotor;
b.    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c.    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d.    Pajak Air Permukaan; dan
e.    Pajak Rokok.

2.    Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a.    Pajak Hotel;
b.    Pajak Restoran;
c.    Pajak Hiburan;
d.    Pajak Reklame;
e.    Pajak Penerangan Jalan;
f.     Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g.    Pajak Parkir;
h.    Pajak Air Tanah;
i.      Pajak Sarang Burung Walet;
j.      Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k.    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
            Dari pengertian pajak daerah tersebut diatas maka dapat dimaknai bahwa pajak daerah merupakan wewenang daerah yang diatur dalam undang-undang dan hasilnya digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah itu sendiri.
f.     Sistem Perpajakan Daerah
Perpajakan daerah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem dan permasalahan pelaksanaan pajak-pajak. Masalah perpajakan dapat ditinjau dari berbagai perspektif yaitu hukum, politik, sosial, ekonomi, administrasi dan akuntansi. Namun, di banyak negara pada dasarnya perspektif yang digunakan untuk melihat masalah perpajakan ada 2 (dua) yaitu perspektif hukum dan perspektif ekonomi.
Pajak dari perspektif hukum merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif ini juga sering disebut dengan aspek legalitas.[19]
Pajak dari perspektif  ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam  penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Perspektif ini juga sering disebut pendekatan aspek keuangan daerah.
Sistem perpajakan daerah (tax system) adalah pola pelaksanaan perpajakan yang terkoordinasi secara serasi meliputi tax policy, tax law, dan tax administration. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk mewujudkan sistem perpajakan daerah yang baik dan sehat, maka ketiga faktor tersebut harus berjalan secara seimbang dan harmonis (sinergis). Sehingga dalam pelaksanaannya dapat menunjang penerimaan daerah.
Tax Policy adalah kebijakan mengenai perubahan sistem perpajakan yang berlakusesuai perkembangan, tujuan ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Tax policy hanyalah merupakan bagian dari fiscal policy, misalnya tax reform yang dilakukan tahun 1983. Adanya tax reform ini pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak, dalam rangka untuk mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan negara dan bangsa.
Tax Reform pajak daerah merupakan bagian dari tax reform  secara nasional, terjadi pada tahun 1983. Karena pada tahun 1983 ini terjadi perubahan yang sangat mendasar dari sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia, dari official assessment system (berlaku sampai dengan tahun 1984). Tujuan utama tax reform adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pajak, pajak untuk menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional. Upaya kebijakan pajak yang ditempuh menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain: 
a.    Penyederhanaan struktur perpajakan meliputi jenis, tarif dan tata cara pembayaran.
b.    Pemerataan pengenaan dan pembebanan pajak yang makin adil dan wajar.
c.    Mengusahakan adanya kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun fiskus.
d.    Pembenahan aparatur perpajakan baik prosedur, tata kerja, disiplin, penyelundupan maupun penyalahgunaan wewenang.
Tindak lanjut tax reform  untuk pajak daerah terjadi di tahun 1997, yaitu ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 
Sampai akhir tahun 1997, pungutan pajak daerah dan retribusi daerah masih menggunakan Undang-Undang Pajak Undang-Undang Pajak Daerah No. 11 Darurat (Drt) 1957 dan Undang-Undang Retribusi Daerah No. 12 Darurat (Drt) tahun 1957, untuk menyempurnakan Undang-Undang Pajak Daerah No. 11 Darurat (Drt) 1957 dan Undang-Undang Retribusi Daerah No. 12 Darurat (Drt) tahun 1957, maka Pemerintah menyusun Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu:
a.    Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b.    Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yaitu perubahan  Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
c.    Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu perubahan  Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak, sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1.    Official Assessment adalah sistem perpajakan dimana yang berperan aktif dalam proses perpajakan adalah fiskus, fiskus yang mengatur, menghitung dan menetapkan pajak dari suatu wajib pajak. Wajib pajak hanya menunggu adanya surat perintah membayar pajak untuk membayar pajak. Sistem ini di gunakan sebelum tax reform 1983.
2.    Self Assessment adalah sistem perpajakan dimana wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk mendaftarkan, menghitung, dan melaporkan pajaknya. Disini fiskus lebih pasif dan wp aktif. Sistem ini digunakan setelah adanya tax reform 1983.
3.    Witholding System, sistem ini sebenarnya hanyalah pembantu/melengkapi proses-prose yang berada dalam self assessment. Dimana proses perpajakan dipungun dan/atau dipotong oleh pihak ketiga misalnya bendahara.

g.    Dasar Hukum Pajak Daerah
Dalam sistem dan struktur perpajakan daerah dan retribusi yang lama, dasar hukum pemungutannya diatur dalam berbagai undang-undang/ordonansi, antara lain:
a.    Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;
b.    Ordonansi Pajak Potong 1936;
c.    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
d.    Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;
e.    Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-Daerah yang berhak bengurus rumah rangganya sendiri;
f.     Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah;
g.    Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah;
h.    Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
i.      Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
j.      Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah.
Peraturan perundang-undangan yang lama tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi pada waktu itu yang sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai bidang dan lebih-lebih lagi peraturan perundang-undangan tersebut tidak mungkin dapat menampung ataupun mengantisipasi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang.
 Dalam pembentukan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan undang-undang lainnya, yaitu:
1.    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
2.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3.    Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
Untuk pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota menerbitkan peraturan daerah untuk masing-masing pajak daerah dan retribusi daerah.



h.    Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kemandirian suatu daerah sangat ditentukan oleh upaya daerah dalam menggali dan meningkatkan sumber-sumber keuangan sendiri. Salah satu masalah yang dihadapi daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah adalah kelemahan dalam pengukuran atau penilaian atas pungutan daerah. Untuk mendukung upaya-upaya peningkatan PAD perlu diadakan pengukuran atau penilaian dan penetapan kriteria-kriteria penetapan sumber-sumber PAD khususnya pajak daerah dan retribusi daerah agar dapat dipungut secara berkesinambungan tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan.
Prinsip dan kriteria perpajakan daerah tidak jauh berbeda dengan kriteria pajak secara umum, yang membedakan keduanya adalah pihak pemungutnya. Pajak umum yang memungutnya adalah Pemerintah Pusat, sedangkan pajak daerah yang memungutnya adalah Pemerintah Daerah. 
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah pada dasarnya sama dengan sistem perpajakan yang dianut oleh kebanyakan negara di dunia, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan sebagai berikut:[20]
1.    Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya pendapatan masyarakat.
2.    Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkat kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3.    Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4.    Secara politis dapat ditermia oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5.    Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian.
Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampaisuatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat serta menyeluruh (dead-weight loss).
Kriteria  pajak daerah secara spesifik yang terdiri dari 4 (empat) hal yaitu :
1.    Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan dari daerah sendiri
2.    Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah
3.    Pajak yang ditetapkan atau dipungut oleh pemerintah daerah
4.    Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.
            Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan  kriteria-kriteria pajak daerah sebagai berikut:
a.    Bersifat pajak dan bukan retribusi, artinya bahwa pajak yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak.
b.    Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayanai masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
c.    Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, artinya bahwa pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas anatara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
d.    Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak pusat.
e.    Potensi memadai, artinta bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
f.     Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, artinya bahwa pajak tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi anat daerah maupun kegiatan ekspor impor.
g.    Memeperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, antara lain objek dan subjek pajak harus  jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak. Sedangkan kemampuan masyarakat maksudnya adalah kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak.
h.    Menjaga kelestarian lingkungan, artinya bahwa pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti pengenaan pajak tidah memberikan peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

2.    Penelitian yang relevan
a.    Sri sahayu dan I. Wahyudi, analisis efisiensi dan efektifitas penerimaan pajak daerah provinsi jambi ( studu pada dinas pendadapatan daerah propinsi jambi) Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkembangan penerimaan pajak daerah selama kurun waktu 2002 – 2009 mengalami peningkatan.  2. Kategori tingkat efektivitas penerimaan pajak daerah masing-masing sector secara umum masuk kedalam kategori sangat efektif, begitu juga dengan tingkat efisiensi yang masuk pada kategori sangat efisien. 3. Jenis pajak daerah yang paling efisien dan efektif berdasarkan hasil penelitian adalah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
b.    Heriberta, analisis penerimaan pajak penerangan jalan kota jambi 2001-2009, dalam penelitian ini menemukan 1.Rata-rata perkembangan penerimaan parkir dalam kawasan di Kota Jambi selama periode 2001-2009 yatiu 3,38 persen dan luar kawasan sebesar 13,20 persen. Ratarata perkembangan penerimaan parkir luar kawasan selama periode 2001-2009 sebesar 5,19 persen. 2. Rata-rata rasio penerimaan pajak penerangan jalandalam kawasan terhadap penerimaan pajak daerahadalah sebesar 6,41 persen. Tetapi jika dilihat dari rasionya ternyata selama tahun 2001-2009 kontribusi penerimaan parkir dalam kawasan terhadap pajak daerahmengalami penurunan tiap tahunnya sebesar 6,8 persen.
Dalam penelitain ini peneliti mengkaji seberapa besar potensi yang dihasilkan dari pajak daerah dalam upaya pembangunan daerah tersebut dan juga potensi pajak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Dalam hal ini peneliti berasumsi semakin besarnya potensi pajak daerah maka semakin besar pula tingkat pembangunan daerah tersebut, baik dalam segi meningkatkan sumber daya manusia untuk kemajuan pendidikan, maupun sumber daya alam dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.



BAB III
Metodologi penelitian
1.    jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, karena sifat penelitiannya adalah deskriptif yang menjelaskan data-data yang diperoleh apa adanya secara sistematis.
teknik penelitian yang dilakukan yaitu penelitian lapangan (field research), dimana penulis langsung terjun ke objek penelitian yaitu pada dinas pendapatan daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a.     Interview
yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
b.     Dokumentasi
yaitu mengumpulkan data berdasarkan laporan yang di terima dari perusahaan yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
2.    Sumber Data
Dalam penyusunan tesis ini, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu:
a.    Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dari yang bersangkutan.
b.    Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya yang berkaitan dengan materi penulisan tesis ini.



3.    teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka dalam pengumpulan data tesis ini penulis menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
4.    Teknik Analisa Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara terhadap pegawai dinas pendapatan daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi, dan juga melihat laporan tahunan.
Pendekatan deskriptif yaitu data penelitian yang berupa kata-kata, berupa wawancara, catatan-lapangan, dokumen resmi. Setelah itu data dikumpulkan, diolah, dan dijelaskan sesuai apa adanya. Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing.



DAFTAR PUSTAKA
Josepri wukaho,prospek otonomi daerah di negara republic Indonesia. Jakarta.rajawali pers. 2012
Komarudin. Ensiklopedia Manajemen.1994.
Mardiasmo. Perpajakan.Yogyakarta; Penerbit Andi. 2008
Raina damar sari, dkk.kinerja pembangun adaerah kabupaten/kota provinsi jambi. Jurnal perspektif pembiayaan dan pembangunan daerah Vol.2 No.3.Januari-maret 2015.
Nurmah.starategi pembangunan daerah. jakarta: raja garafindo persada. 2015
Nugroho dan Rochmin Dahuri. Pembangunan Wilayah. Perspektif Ekonomi. Sosial dan Lingkungan. Jakarta; LP3ES. 2004
Poerwodarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 2001
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama. 2005
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Soemitro. Asas-asas PerpajakanBandung; PT. Eresco 2003
Sidik, Machmut. Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan DaerahMelaluiPenggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah.Bandung; Makalah Seminar. 2002
Thomas Sumarsan. Perpajakan Indonesia. Jakarta; Esia Media 2009
Waluyo dan Wirawan.Perpajakan Indonesia :   Pembahasan   sesuai   dengan ketentuan pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan. Jakarta. 2002
Wijaya, penyelenggaraan otonomi di indonesia. jakarta; raja grafindo persada. 2007
i
 






 
 



[3] Ibid.
[4] Nurmah, starategi pembangunan daerah, ( jakarta: raja garafindo persada, 2015), hlm. 189
[5] Wijaya, penyelenggaraan otonomi di indonesia, ( jakarta; raja grafindo persada, 2007) hlm.56
[6]Ibid. Hal. 136
[7]Raina damarsari, dkk, kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota provinsi jambi, jurnal perspektif pembiayaan dan pembangunan daerah Vol.2 No.3, Januari-maret 2015.
[9]Nurman, strategi pembangunan daerah,( Jakarta; PT.raja grafindo persada,2015) hal. 87
[10]Nugroho dan Rochmin Dahuri,. Pembangunan Wilayah, PerspektifEkonomi, Sosial dan Lingkungan. (Jakarta; LP3ES, 2004) hal. 78
[11]Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah,. Perencanaan Pembangunan Daerah. (Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama. 2005) hal. 275)

[12]Poerwodarminto, W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta; Balai Pustaka, 2001) hal.854
[13]Soerjono Soekanto,. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003) hal 243
[14]Komarudin,. Ensiklopedia Manajemen,1994. Hal 768

[15]Waluyo dan Wirawan,  Perpajakan Indonesia :   Pembahasan   sesuai   dengan ketentuan pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan, (Jakarta. 2002) hal. 8
[16]Josepri wukaho,prospek otonomi daerah di negara republic Indonesia, (Jakarta, rajawali pers, 2007) hal. 143

[17]Thomas Sumarsan,. Perpajakan Indonesia. (Jakarta; Esia Media, 2009) hal.3
[18]Mardiasmo,  Perpajakan, (Yogyakarta; Penerbit Andi, 2008) hal.1

[19]Soemitro,. Asas-asas Perpajakan, (Bandung; PT. Eresco, 2003) hal.38

[20]Sidik, Machmut,. Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah, (Bandung; Makalah Seminar.2002) hal. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar