BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam
yang merupakan salah satu pendapatan negara berdasarkan ijtihad Ulil Amri
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak
(Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat
atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia
adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang
harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan
kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar.
Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan
atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain
atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di
Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah,
Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak
(Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok,
seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya,
Zakat yang telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak
terutang. Zakat saat ini memang baru dijadikan sebagai pengurang penghasilan
kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik (insya Allah akan terbit)
dimasa mendatang yaitu zakat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang (credit
tax). [1]
Dalam pandangan islam, pajak terpagi
menjadi dua pendapat ulama yang telah menjabarkan tentang pajak. Sebagian ulama
seperti imam nawawi dalam sahih muslim mengatakan “Bahwasanya
pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan
(pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan
tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak”.[2]
Namun menurut imam al-Ghazali dan imam
al-Juwaini, dalam bukunya Syifa’ul Ghalil, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats
Azh-Zhulmi pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim)
kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat
mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada
kas di dalam baitul mal.[3]
Dari pemaparan pendapat dua ulama di
atas, maka
jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban
atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika
datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada
kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah).
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai
“pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka
akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu
kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi
fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu,
maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Pembangunan di suatu daerah bertujuan
untuk membangun masyarakat seutuhnya, untuk itu diharapkan pembangunan tersebut
tidak hanya mengejar kemajuan daerah saja, melainkan mencakup seluruh aspek
kehidupan masyarakat, agar dapat berjalan serasi dan seimbang di segala bidang
dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan
spitual.
Pembangunan derah merupakan kegiatan
utama pemerintahan daerah, karena itu rencana pembangunan daerah membutuhkan
partisipasi seluruh unsur pemerintah daerah yang ada di daerah tersebut,[4] dan di dukung oleh masyarakatnya. Dengan
pembangunan daerah yang serasi dan terpadu disertai perencanaan pembangunan
yang baik, efisien dan efektif maka akan tercipta kemandirian daerah dan
kemajuan yang merata diseluruh wilayah. Hal ini akan membuat pendaparan asli
daerah (PAD) meningkat.
Dalam rangka menjalankan fungsi dan
wewenang pemerintah daerah dalam bentuk pelaksanaan kewenangan fiskal, daerah harus dapat
mengenali potensi dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah
daerah diharapkan diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan guna untuk
memenuhi PAD. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam
membelajakan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), sumber-sumber
penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal dalam koridor
peraturan yang berlaku, termasuk diantaranya pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi sumber
utama PAD.
Pendapatan asli daerah (PAD) dapat
dipandang sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat ketergantungan
suatu daerah kepada pemerintah pusat. Kemampuan suatu daerah dapat dilihat dari
besar kecilnya PAD yang di peroleh suatu daerah. Pada prinsipnya, semakin besar
sumbangan PAD pada APBN, maka semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada
pemerintah pusat.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan
undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah membuka
peluang daerah provinsi, daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan kreativitas
dan inovasinya membengun daerah guna mengimplementasikan makna otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa
permasalahan maupun sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya
manusia setiap darah kabupaten/kota berbeda-beda satu sama lainnya. Perbedaan
potensi sumber daya tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya kesenjangan
pembangunan pada masing-masing daerah,terlebih lagi dengan menguatnya egoisme
kedaerahan telah mendorong daerah lebih banyak melihat kedalam.[5]
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
di daerah diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk menjaga persatuan
dan kesatuan bangsa, serta keserasian pembangunan antardaerah. Pada sisi lain,
kewenangan dan pasilitas yang diperlukan untuk mejalankan peran tersebut
relatif terbatas, akibatnya peran provinsi sebagai penyeimbang pembangunan di
daerah belum dapat dijalankan secara optimal.
Pada sisi lain, daerah provinsi sebagai
suatu unsur elemen bersekala regional, selama ini belum banyak melakukan kerja
sama antarprovinsi. Padahal, setiap provinsi memiliki produk unggulan yang
dibutuhkan oleh pasar dalam maupun luar negari.
Proses perencanaan pembangunan merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menyusun perencanaan pembangunan yang
berlangsung secara terus menerus dan saling berkaitan sehingga menbentuk suatu
siklus. Proses pembangunan dimulai dari pengumpulan informasi untuk perencanaan
yang akan dianalisis, perumasan kebijaksanaan hingga kegiatan peramalan
berikut: a) pengupulan informasi untuk perencanaan; b) analisis keadaan dan
identifikasi masalah; c) penyusunan kerangka makro perencanaan dan perkiraan
sumber-sumber pembangunan; d) kebijakan dasar pembangunan; e) perencanaan
sektoral, kebijakan program, proyek, kegiatan lainnya; f) perencanaan regional;
g) program kerja, program pembiayaan, prosedur pelaksanaan, penuangan dalam
perencanaan proyek-proyek; h) pelaksanaan rencana; i) kebijakan-kebijakan
stabilisasi; k) komunikasi pendukung pembangunan; l) pengendalian pelaksanaan;
m) pengawasan; n) tinjauan pelaksanaan; dan o) peramalan.[6]
Penerapan otonomi daerah dan
disentralisasi fiscal yang tertuang dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999
telahmulaidilaksanakan 1 januari 2001. Pelaksanaan otonomi daerah ini merupakan babak baru dalam pembangunan dan pemarataan daerah. Terlepas dari belum siapnya
pemerintah daerah, otonomi daerah diyakini merupakan cara terbaik untuk mendorong pembangunan dan memperbesar ketimpangan pembangunan masing-masing daerah.
Dalam memperkecil
daerah maka diperlukan indicator-indikator tambahan yang dapat dijadikan ukuran
keberhasilan pembangunan daerah secara komprehensip, seperti[7]
1. Kualitas sumber daya
manusia (SDM), semakin tinggi kualitas SDM suatu daerah maka kecenderungan pendapatannya
akan semakin tinggi pula. Kualitas SDM penduduk dapat ditinjau dari dua sisi,
yaitu kualitas pendidikan dan kesehatan.
2. Ketersediaan prasarana
atau infrastruktur, kegiatan social ekonomi penduduk suatu wilayah mutlak
ditunjan oleh ketersedian akses transportasi,fasilitas pendidikan, kesehatan,
dan perumahan.
Pajak adalah salah satu bentuk peran
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi dan sumber pendapatan daerah yang
penting untuk menbiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam rangka
intensifikasi kemampuan keuangan daerah, pemerintah daerah melakukan berbagai
kebijakan perpajakan, diantaranya dengan menetapkan UU No. 28 Tahun 2009
tentang perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah. Pemberian wewenang dalam mengenakan pajak dan retribusi daerah,
diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk
mengeoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah. Pajak daerah
diharapkan bisa menjadi penopang utama PAD.
Dari proses yang ada semua harus
dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, demi
kemajuan pembangunan dan perekonomian. Kurangnya peran pemerintah dalam
mengembangkan sumber pendapatan mengakibatkan PAD menurun. Seperti pada tahun
2015 PAD muaro jambi merosot dari Rp. 62 Miliar menjadi Rp. 56 Miliar. Ini
dikarenakan pemerintah daerah kurang perperan dalam mengembangkan potensi
daerah.[8]
Dari penjelasan diatas membuat penulis
tertarik untuk mengangkat judul “pajak dalam meningkatkan pembangunan dan
pendapatan asli daerah muaro jambi” ( studi kasus dinas pendapatan asli daerah
dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi).
B.
Rumusan masalah
1. Seberapa besar potensi
penerimaan pajak daerah muaro jambi?
2. Apakah yang
menghambat pelaksanaan perolehan pajak daerah muaro jambi?
3. Apakah pajak daerah
mempunyai peran dalam pembangunan?
4. Apakah pajak daerah
mempunyai peran dalam meningkatkan pendapatan asli daerah?
C.
Fokus penelitian
Peneliti menetapkan
focus permasalahan yang akan diteliti berdasarkan latar belakang masalah. Yang
menjadi focus penelitian ini adalah, untuk mengetahui poten siapa saja yang
dihasilkan oleh pajak daerah dengan dilihat dari segi pembangunan daerah dan pajak
dalam meningkatkan pendapatan asli daerah muaro jambi.
D.
Tujuan dan kegunaan
penelitian
Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa
besar potensi penerimaan pajak daerah muaro jambi
2. Untuk mengetaui apa
saja yang mengahambat pelaksanaan perolehan pajak daerah.
3. Untuk mengetahui peran
pajak daerah dalam meningkatkan pembangunan.
4. Untuk mengetahui berapa
besar peran pajak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
Kegunaan penelitian
1. Bagi pemerintah daerah
Memberikan informasi
menganai besarnya peran pajak daerah yang diperolah kabupaten akan berpengaruh kepada
pembangunan daerah. Baik dari segi sumber daya manusia, ekonomi, maupun infrastruktur.
2. Bagi penulis/peneliti
Untuk mengetahui bagaimana
suatu daerah dapat membangun daerahnya untuk perkembangan daerahnya dari sumber-sumber
pendapatan pajak, serta sebagai penambah ilmu diluar pelajaran yang ada di
perkuliahan.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan dengan
penelitian ini masyarakat tahu bagainama dan dari mana sebuah daerah mendapatkan
pemasukan, serta pentingnya pejak guna pembangunan daerah, dengan begitu masyarakat
dapat lebih membantu pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan.
BAB II
LANDASAN
TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Landasan teori
a. Pembangunan
Pembangunan
adalah suatu usaha atau serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintah,
menuju medernitas dalam rangka pembinaan bangsa.[9]
Pemikiran tentang
pembangunan pada awalnya diartikan sama dengan modernisasi dan industrialisasi,
bahkan pembangunan dengan westernisasi. Pemikiran tersebut didasarkan pada aspek
perubahan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi secara keseluruhan
mengandung unsure perubahan.Namun keempat hal tersubut mempunyai perbadaan yang
cukup prinsip, kerena masing-masing mempunyai latar belakang, asas dan hakikat
yang berdeda meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan.
Pembangunan adalah rentetan
berbagai perubahan yang mempunyai tujuan tertentu. Pembangunan pada hakekatnya
merupakan proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus yang merupakan
kemajuan yang ingin dicapai. Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN)
memberikan arahan yang jelas mengenai makna dan hakekat pembangunan menurut
pandangan bangsa Indonesia.
Pembangunan secara umum
diartikan sebagai suatu usaha untuk lebih meningkatkan produktifitas sumber
daya alam, sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara berupa sumber
daya alam sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Dengan demikian
pembangunan pada dasarnya dapat dikatakan usaha dasar untuk mengubah masa
lampau yang buruk menjadi zaman baru yang lebih baik untuk mewariskan masa depan
kepada generasi yang akan datang.
Pembangunan dapat diartikan
sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih
banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai
aspirasinya yang paling manusiawi.[10]Mengenai
pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam
seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda
oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya,
Negara satu dengan Negara lain. Namun
secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk
melakukan perubahan.[11]
Pembangunan sering diartikan
sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena
perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula,
tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga
pertumbuhan. Seiring de-ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan
adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat
membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa
pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan
terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat
berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement)
dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
b.
Peranan
Seseorang hanya mungkin dapat
melaksanakan pekerjaannya secara efektif, jika mereka telah mengetahui secara
pasti tentang perannya di dalam sebuah organisasi tempat kerjanya. Kata peranan
berasal dari kata peran. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Dari arti ini
dapat dimaknai bahwa peran di sini adalah tindakan seseorang yang melakukan
tugas-tugasnya terhadap tugas yang diamanatkan. Lebih spesifik lagi adalah
tindakan seseorang yang melakukan tugas fasilitas pada sebuah unit atau
instansi.[12]
Pengertian peranan adalah sebagai
berikut: “Peranan merupakan aspek
dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.”[13]
Konsep tentang peran (role) dalam buku “Ensiklopedia Manajemen”
mengungkapkan sebagai berikut:[14]
1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen.
2. Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
3. Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.
4. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik
yang ada padanya.
5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian
bahwa peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian
dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran yang
mengenai hubungan dua variabel yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Pajak mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai
semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka
pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:[15]
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan
negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak
digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur
pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri
maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam
rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang
tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak,
pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan
stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan
antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut
oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk
juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
c.
Pengertian Pajak
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas
negara (peralihan kekayaan dari sector partikelir kesector pemerintahan)
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal
(tegen prestatie) untuk membiayai pengeluaran umum, dan digunakan sebagai
alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar keuangan.[16]
Pajak adalah iuran wajib yang
dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi
pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat
ditunjuk secara langsung.
Pengetian pajak menurut beberapa ahli :
1. Prof Dr Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang
dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan
umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk secara langsung.[17]
2. Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH., pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan
undang-undang) dapat dipaksakan dengan
tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.[18]
Dari definisi definisi
tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak, sebagai berikut :
a. Iuran rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah
negara/pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b. Berdasarkan Undang Undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan Undang Undang serta aturan pelaksanaannya. Oleh karena itu pemungutan
pajak bisa dipaksakan. Sekalipun demikian walaupun negara mempunyai hak untuk
memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya
melalui Undang Undang.
c. Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi secara individual dari
negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam arti bahwa jasa timbal atau
kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya tidak dapat
dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.
d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah. Dan jika masih surplus
digunakan untuk “public saving” dan public saving ini yang akan
digunakan untuk membiayai “public
invesment”.
Dari ke-4 ( empat ) ciri
tersebut diatas, ciri ke-2 ( dua ) merupakan ciri yang paling menonjol dalam suatu negara modern karena pengalihan
sumber-sumber (resources) dari sektor swasta ke sektor pemerintah harus selalu
berdasarkan peraturan atau Undang Undang, yang mana peraturan atau
Undang-Undang tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui
wakil-wakilnya. Hal ini telah memunculkan sebuah slogan di negara-negara maju
bahwa dalam pemungutan pajak berlaku istilah “no taxation without representation”
yang artinya tidak ada pajak tanpa persetujuan dari wakil rakyat.
Indonesia sebagai negara
hukum telah menempatkan landasan pemungutan pajak dalam Undang Undang Dasar
nya, yaitu Pasal 23 ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi bahwa “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan
Undang Undang”. Hal ini dipertegas dalam penjelasan dari pasal 23 ayat (2)
tersebut, yaitu “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup harus
ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya.
Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya”.
e.
Pengertian Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, Pajak Daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan daerah.
Dengan demkian, pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai
pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan didaerah. Karena pemerintah daerah di Indonesia terbagi menjadi
dua, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka wewenang
pemungutannya ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing yang diatur dalam
undang-undang.
Disamping pemungutan berbagai macam pajak,
pemerintah masih dapat kewenangan untuk malakukan berbagai pungutan lain,
antara lain :
1.
Retribusi, retribusi menurut
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang daerah dan Retribusi adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan kepada pemerintah daerah. Berbeda dengan pajak pusat seperti
Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak, Retribusi yang dapat di sebut sebagai pajak Pajak Daerah
dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
Jenis Pos retribusi daerah dapat dikelompokan
menjadi tiga yaitu :
a. Retribusi Jasa Umum
Ø Retribusi Pelayanan Kesehatan
Ø Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
Ø Retribusi Penggantian Biaya Cetak
Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
Ø Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
Ø Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Ø Retribusi Pelayanan Pasar
Ø Retribusi Pengujian
Kendaraan Bermotor
Ø Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
Ø Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
Ø Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
Ø Retribusi Pengolahan Limbah Cair
Ø Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
Ø Retribusi Pelayanan Pendidikan
Ø Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
b. Retribusi Jasa Usaha
Ø Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
Ø Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
Ø Retribusi Tempat Pelelangan
Ø Retribusi Terminal
Ø Retribusi Tempat Khusus Parkir
Ø Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Ø Retribusi Rumah Potong Hewan
Ø Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
Ø Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
Ø Retribusi Penyebranga di Air
Ø Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
c. Retribusi Perizinan
Ø Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Ø Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
Ø Retribusi Izin Gangguan
Ø Retribusi Izin Trayek
Ø Retribusi Izin Usaha Perikanan.
2. Sumbangan atau iuran yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan
sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan pemerintah secara langsung dan nyata
kepada sekelompok atau golongan pembayarnya atau golongan tertentu. Misalnya :
SWP3D (Sumbangan Wajib Pembangunan dan Pemeliharaan Prasarana Daerah).
3. Cukai yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu.
Misalnya : cukai terhadap tembakau, cukai gula, cukai bensin, cukai minuman
keras.
4. Bea Meterai yaitu pajak yang dikenakan atas dokumen dengan
menggunakan benda meterai ataupun cara lainnya (menggunakan mesin teraan atau
pemeteraian kemudian).
Sesuai Undang - Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis
Pajak Daerah:
1. Pajak Provinsi terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dari pengertian pajak daerah tersebut diatas maka dapat
dimaknai bahwa pajak daerah merupakan wewenang daerah yang diatur dalam
undang-undang dan hasilnya digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah itu
sendiri.
f.
Sistem Perpajakan Daerah
Perpajakan daerah adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem dan permasalahan pelaksanaan
pajak-pajak. Masalah perpajakan dapat ditinjau dari berbagai perspektif yaitu
hukum, politik, sosial, ekonomi, administrasi dan akuntansi. Namun, di banyak
negara pada dasarnya perspektif yang digunakan untuk melihat masalah perpajakan
ada 2 (dua) yaitu perspektif hukum dan perspektif ekonomi.
Pajak dari perspektif hukum
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan
uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Perspektif ini juga sering disebut dengan aspek legalitas.[19]
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber
daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran
bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama,
berkurangya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara
dalam penyediaan barang dan jasa publik
yang merupakan kebutuhan masyarakat. Perspektif ini juga sering disebut
pendekatan aspek keuangan daerah.
Sistem perpajakan daerah (tax
system) adalah pola pelaksanaan perpajakan yang terkoordinasi secara serasi
meliputi tax policy, tax law, dan tax administration. Ketiga
faktor tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk mewujudkan
sistem perpajakan daerah yang baik dan sehat, maka ketiga faktor tersebut harus
berjalan secara seimbang dan harmonis (sinergis). Sehingga dalam pelaksanaannya
dapat menunjang penerimaan daerah.
Tax Policy adalah kebijakan mengenai
perubahan sistem perpajakan yang berlakusesuai perkembangan, tujuan ekonomi,
politik, dan sosial pemerintah. Tax policy hanyalah merupakan bagian
dari fiscal policy, misalnya tax reform yang dilakukan tahun
1983. Adanya tax reform ini pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan
penerimaan negara dari sektor pajak, dalam rangka untuk mencapai kemandirian
pembiayaan dan pembangunan negara dan bangsa.
Tax Reform pajak daerah merupakan bagian
dari tax reform secara nasional,
terjadi pada tahun 1983. Karena pada tahun 1983 ini terjadi perubahan yang
sangat mendasar dari sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia, dari official
assessment system (berlaku sampai dengan tahun 1984). Tujuan utama tax
reform adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pajak, pajak
untuk menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional. Upaya
kebijakan pajak yang ditempuh menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain:
a. Penyederhanaan struktur perpajakan meliputi jenis, tarif dan tata
cara pembayaran.
b. Pemerataan pengenaan dan pembebanan pajak yang makin adil dan
wajar.
c. Mengusahakan adanya kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun
fiskus.
d. Pembenahan aparatur perpajakan baik prosedur, tata kerja,
disiplin, penyelundupan maupun penyalahgunaan wewenang.
Tindak lanjut tax reform untuk pajak daerah terjadi di tahun 1997,
yaitu ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Sampai akhir tahun 1997,
pungutan pajak daerah dan retribusi daerah masih menggunakan Undang-Undang
Pajak Undang-Undang Pajak Daerah No. 11 Darurat (Drt) 1957 dan Undang-Undang
Retribusi Daerah No. 12 Darurat (Drt) tahun 1957, untuk menyempurnakan
Undang-Undang Pajak Daerah No. 11 Darurat (Drt) 1957 dan Undang-Undang
Retribusi Daerah No. 12 Darurat (Drt) tahun 1957, maka Pemerintah menyusun
Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu:
a. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
b. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yaitu perubahan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
c. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu perubahan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemungutan pajak daerah saat ini
menggunakan tiga sistem pemungutan pajak, sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1. Official Assessment adalah sistem perpajakan dimana yang berperan
aktif dalam proses perpajakan adalah fiskus, fiskus yang mengatur, menghitung
dan menetapkan pajak dari suatu wajib pajak. Wajib pajak hanya menunggu adanya
surat perintah membayar pajak untuk membayar pajak. Sistem ini di gunakan
sebelum tax reform 1983.
2. Self Assessment adalah sistem perpajakan dimana wajib pajak
diberikan kepercayaan penuh untuk mendaftarkan, menghitung, dan melaporkan
pajaknya. Disini fiskus lebih pasif dan wp aktif. Sistem ini digunakan setelah
adanya tax reform 1983.
3. Witholding System, sistem ini sebenarnya hanyalah
pembantu/melengkapi proses-prose yang berada dalam self assessment. Dimana
proses perpajakan dipungun dan/atau dipotong oleh pihak ketiga misalnya
bendahara.
g. Dasar Hukum Pajak Daerah
Dalam sistem dan struktur
perpajakan daerah dan retribusi yang lama, dasar hukum pemungutannya diatur
dalam berbagai undang-undang/ordonansi, antara lain:
a. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;
b. Ordonansi Pajak Potong 1936;
c. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
d. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;
e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara
Negara dan Daerah-Daerah yang berhak bengurus rumah rangganya sendiri;
f. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Pajak Daerah;
g. Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Retribusi Daerah;
h. Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
i. Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor;
j. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak
Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio
kepada Daerah.
Peraturan perundang-undangan
yang lama tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi pada waktu itu yang
sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai
bidang dan lebih-lebih lagi peraturan perundang-undangan tersebut tidak mungkin
dapat menampung ataupun mengantisipasi perkembangan sosial dan ekonomi
masyarakat pada masa yang akan datang.
Dalam pembentukan Undang-undang tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan
undang-undang lainnya, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3684);
Untuk pelaksanaan pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah, setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota
menerbitkan peraturan daerah untuk masing-masing pajak daerah dan retribusi daerah.
h.
Prinsip dan Kriteria
Perpajakan Daerah
Kemandirian suatu daerah
sangat ditentukan oleh upaya daerah dalam menggali dan meningkatkan
sumber-sumber keuangan sendiri. Salah satu masalah yang dihadapi daerah dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah adalah kelemahan dalam pengukuran atau
penilaian atas pungutan daerah. Untuk mendukung upaya-upaya peningkatan PAD
perlu diadakan pengukuran atau penilaian dan penetapan kriteria-kriteria
penetapan sumber-sumber PAD khususnya pajak daerah dan retribusi daerah agar
dapat dipungut secara berkesinambungan tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor
produksi dan keadilan.
Prinsip dan kriteria
perpajakan daerah tidak jauh berbeda dengan kriteria pajak secara umum, yang
membedakan keduanya adalah pihak pemungutnya. Pajak umum yang memungutnya
adalah Pemerintah Pusat, sedangkan pajak daerah yang memungutnya adalah
Pemerintah Daerah.
Prinsip-prinsip umum
perpajakan daerah pada dasarnya sama dengan sistem perpajakan yang dianut oleh
kebanyakan negara di dunia, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan sebagai berikut:[20]
1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya
dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya pendapatan masyarakat.
2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkat
kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,
pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. Secara politis dapat ditermia oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan
yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian.
Pada dasarnya setiap pajak
atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen.
Jangan sampaisuatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra
burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat serta
menyeluruh (dead-weight loss).
Kriteria pajak daerah secara spesifik yang terdiri
dari 4 (empat) hal yaitu :
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan
dari daerah sendiri
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat tetapi
penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah
3. Pajak yang ditetapkan atau dipungut oleh pemerintah daerah
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat
tetapi hasil pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan kriteria-kriteria pajak daerah sebagai
berikut:
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi, artinya bahwa pajak yang
ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak.
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah
serta hanya melayanai masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, artinya bahwa pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan
bersama yang lebih luas anatara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan
aspek ketentraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
dan keamanan.
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek
pajak pusat.
e. Potensi memadai, artinta bahwa hasil pajak cukup besar sebagai
salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan
sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, artinya bahwa pajak
tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak
merintangi arus sumber daya ekonomi anat daerah maupun kegiatan ekspor impor.
g. Memeperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, antara
lain objek dan subjek pajak harus jelas
sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat
diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan
dengan memperhatikan keadaan wajib pajak. Sedangkan kemampuan masyarakat
maksudnya adalah kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak.
h. Menjaga kelestarian lingkungan, artinya bahwa pajak harus bersifat
netral terhadap lingkungan, yang berarti pengenaan pajak tidah memberikan
peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang
akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
2. Penelitian
yang relevan
a. Sri
sahayu dan I. Wahyudi, analisis efisiensi dan efektifitas penerimaan pajak
daerah provinsi jambi ( studu pada dinas pendadapatan daerah propinsi jambi)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkembangan penerimaan pajak
daerah selama kurun waktu 2002 – 2009 mengalami peningkatan. 2. Kategori tingkat efektivitas penerimaan
pajak daerah masing-masing sector secara umum masuk kedalam kategori sangat
efektif, begitu juga dengan tingkat efisiensi yang masuk pada kategori sangat
efisien. 3. Jenis pajak daerah yang paling efisien dan efektif berdasarkan
hasil penelitian adalah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
b. Heriberta,
analisis penerimaan pajak penerangan jalan kota jambi 2001-2009, dalam
penelitian ini menemukan 1.Rata-rata perkembangan penerimaan parkir dalam
kawasan di Kota Jambi selama periode 2001-2009 yatiu 3,38 persen dan luar kawasan
sebesar 13,20 persen. Ratarata perkembangan penerimaan parkir luar kawasan
selama periode 2001-2009 sebesar 5,19 persen. 2. Rata-rata rasio penerimaan
pajak penerangan jalandalam kawasan terhadap penerimaan pajak daerahadalah
sebesar 6,41 persen. Tetapi jika dilihat dari rasionya ternyata selama tahun
2001-2009 kontribusi penerimaan parkir dalam kawasan terhadap pajak
daerahmengalami penurunan tiap tahunnya sebesar 6,8 persen.
Dalam penelitain ini peneliti mengkaji
seberapa besar potensi yang dihasilkan dari pajak daerah dalam upaya
pembangunan daerah tersebut dan juga potensi pajak dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah. Dalam hal ini peneliti berasumsi semakin besarnya
potensi pajak daerah maka semakin besar pula tingkat pembangunan daerah
tersebut, baik dalam segi meningkatkan sumber daya manusia untuk kemajuan
pendidikan, maupun sumber daya alam dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
BAB III
Metodologi penelitian
1. jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, karena sifat penelitiannya adalah
deskriptif yang menjelaskan data-data yang diperoleh apa adanya secara
sistematis.
teknik penelitian yang dilakukan yaitu penelitian lapangan (field
research), dimana penulis langsung terjun ke objek penelitian yaitu pada dinas
pendapatan daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi
dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a.
Interview
yaitu dengan melakukan
wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
b.
Dokumentasi
yaitu mengumpulkan data
berdasarkan laporan yang di terima dari perusahaan yang diteliti dan laporan
lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
2. Sumber Data
Dalam penyusunan tesis
ini, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil pertanyaan
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dari yang bersangkutan.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen,
literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya yang
berkaitan dengan materi penulisan tesis ini.
3. teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka dalam pengumpulan data tesis
ini penulis menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
4. Teknik Analisa Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara terhadap pegawai dinas
pendapatan daerah dan dinas perencanaan dan pembangunan daerah muaro jambi, dan
juga melihat laporan tahunan.
Pendekatan deskriptif
yaitu data penelitian yang berupa kata-kata, berupa wawancara,
catatan-lapangan, dokumen resmi. Setelah itu data dikumpulkan, diolah, dan
dijelaskan sesuai apa adanya. Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali
mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban
atau informasi yang biasa disebut editing.
DAFTAR PUSTAKA
Josepri wukaho,prospek
otonomi daerah di negara republic Indonesia. Jakarta.rajawali pers. 2012
Komarudin. Ensiklopedia
Manajemen.1994.
Mardiasmo. Perpajakan.Yogyakarta;
Penerbit Andi. 2008
Raina damar sari, dkk.kinerja pembangun adaerah kabupaten/kota provinsi
jambi. Jurnal perspektif pembiayaan dan pembangunan daerah Vol.2 No.3.Januari-maret 2015.
Nurmah.starategi pembangunan daerah. jakarta: raja garafindo
persada. 2015
Nugroho dan Rochmin Dahuri. Pembangunan
Wilayah. Perspektif Ekonomi. Sosial dan Lingkungan. Jakarta; LP3ES. 2004
Poerwodarminto, W.J.S. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 2001
Riyadi dan Deddy Supriyadi
Bratakusumah. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta; PT.Gramedia
Pustaka Utama. 2005
Soerjono Soekanto. Sosiologi
Suatu Pengantar.Jakarta PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Soemitro. Asas-asas
PerpajakanBandung; PT. Eresco 2003
Sidik, Machmut. Strategi
Meningkatkan Kemampuan Keuangan DaerahMelaluiPenggalian Potensi Daerah Dalam
Rangka Otonomi Daerah.Bandung; Makalah Seminar. 2002
Thomas Sumarsan. Perpajakan
Indonesia. Jakarta; Esia Media 2009
Waluyo dan Wirawan.Perpajakan
Indonesia : Pembahasan sesuai
dengan ketentuan pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan. Jakarta.
2002
Wijaya, penyelenggaraan otonomi di indonesia. jakarta; raja
grafindo persada. 2007
|
Muhammad
Wasitho Abu Fawaz, https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html.
|
[1] Gusfahmi, http://www.pajak.go.id/content/article/pajak-menurut-syariah
diakses 17 juni 2016
[2] Muhammad Wasitho Abu Fawaz, https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html. Diakses 17 juni 2016
[3] Ibid.
[4] Nurmah, starategi pembangunan daerah, ( jakarta: raja
garafindo persada, 2015), hlm. 189
[5] Wijaya, penyelenggaraan otonomi di indonesia, ( jakarta;
raja grafindo persada, 2007) hlm.56
[7]Raina damarsari, dkk, kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota provinsi
jambi, jurnal perspektif pembiayaan dan pembangunan daerah Vol.2 No.3,
Januari-maret 2015.
[10]Nugroho dan Rochmin Dahuri,. Pembangunan
Wilayah, PerspektifEkonomi, Sosial dan Lingkungan. (Jakarta; LP3ES, 2004)
hal. 78
[11]Riyadi dan Deddy Supriyadi
Bratakusumah,. Perencanaan Pembangunan Daerah. (Jakarta; PT.Gramedia
Pustaka Utama. 2005) hal. 275)
[13]Soerjono Soekanto,. Sosiologi
Suatu Pengantar. (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003) hal 243
[14]Komarudin,. Ensiklopedia
Manajemen,1994. Hal 768
[15]Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia : Pembahasan
sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan, (Jakarta. 2002) hal. 8
[16]Josepri wukaho,prospek otonomi daerah di negara republic
Indonesia, (Jakarta, rajawali pers, 2007) hal. 143
[17]Thomas Sumarsan,. Perpajakan
Indonesia. (Jakarta; Esia Media, 2009) hal.3
[18]Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta; Penerbit Andi,
2008) hal.1
[19]Soemitro,. Asas-asas
Perpajakan, (Bandung; PT. Eresco, 2003) hal.38
[20]Sidik, Machmut,. Strategi
Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam
Rangka Otonomi Daerah, (Bandung; Makalah Seminar.2002) hal. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar